HUA dua puluh dua🍓

63.1K 10.6K 1.4K
                                    

"Saya gak akan pernah mengizinkan kamu masuk kedalam hati saya, karena hati berbolak-balik sifatnya. Tapi saya akan mengukir namamu disetiap do'a saya, karena do'a tercatat di langit selamanya."

-:Agam Maulana

=========================

"Ustadzah Nara, di panggil mamanya Ustadzah. Beliau ada di depan ndalem," ucap Gadis berjilbab biru.

"Oh, iya makasih," kata Nara seraya tersenyum ramah.

Gadis itu bangkit dari duduknya, bergegas pergi guna memenuhi panggilan dari sang Mami. Sedangkan gadis yang juga memiliki rupa sama dengan Nara tampak heran dan penasaran.

"Mbak mau kemana?" tanya Sari begitu melihat Cita bangkit dari rebahannya. Iya, posisi mereka saat ini ada di dalam asrama.

"Gue mau nguping dulu."

"Hah! Ngupil?"

Cita memutar bola mata malas. "Gue kalau cuma mau ngupil gak bakal keluar, disini juga bisa. Entar elu yang gue suruh buang upil gue."

Sari bergidik ngeri. "Ih, Mbak Cita jorok."

"Kuping lu yang jorok. Sono dikorek dulu biar kagak bolot," kesal Cita meninggalkan Sari yang ternyata masih tidak mudeng juga atau tidak faham dengan bahasa Cita.

"Mbak Cita gak jelas kalau ngomong. Di ajak ngomong ke barat malah nyahut ke timur," desah Sari.

"Gue denger Sar. Awas lu, gue balik siap-siap kempes badan lu gue pites," sahut Cita dari ambang pintu membuat sang empu menahan napas.

Selama ini Cita memang lebih dekat dengan Sari daripada santri yang lain. Bukan tanpa alasan, meski memiliki pola pikir sedikit lemot namun Sari tak seperti santri lain.

Intinya gadis satu tahun lebih muda darinya itu sangat loyal, bahkan Cita sangat jarang melihat Sari marah. Kalau ngambek jangan ditanya, sudah pasti sering karena ulah jail Cita. Itupun tak bertahan lama, lima belas menit sudah lupa dengan perkara.

Cita kebingungan saat melihat tiga orang tengah berjalan kearahnya. Mobil, Cita masuk kedalam mobil orang tuanya. Lebih tepatnya sembunyi di balik bagasi. Kebetulan ia berdiri tak jauh dari situ.

Ternyata benar. Kedua orang tuanya, beserta Nara masuk kedalam mobil.

"Ada apa Mi?" tanya Nara sopan.

"Sebelumnya Mami mau tanya. Kamu mau gak nurutin permintaan Mami sama Papi?"

"Mami kayak sama siapa aja. Selagi Nara bisa, insyaallah."

"Meskipun menikah?"

Nara terdiam. Sungguh, selama ini ia tak pernah sekalipun terbesit untuk menikah muda. Di satu sisi ia masih ingin menuntut ilmu, tapi disisi lain ia juga tak mau mengecewakan kedua orang tuanya. "Menikah?"

Rena mengangguk. "Kamu tenang aja, pilihan Papi sama Mami pasti baik dan sholeh."

"Maaf sebelumnya Mi. Tapi bukankah Mami sama Papi tahu kalau Nara masih sekolah?"

"Itu sudah di atur. Bagaimana? Kamu mau atau tidak?" cercah Raka yang duduk di kursi kemudi.

Nara memejamkan mata. Ini adalah keputusan terberat dalam hidupnya. "Apa Mami yakin dia laki-laki sholeh yang bisa menuntun Nara?"

"Kamu gak percaya sama pilihan Mami sama Papi? Sayang dengerin." Rena menggenggam kedua tangan putri sulungnya. "Gak ada orang tua yang rela mengorbankan anaknya untuk laki-laki yang gak bener. Semua orang tua ingin anaknya bahagia."

Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang