HUA tujuh belas🍓

61.6K 10.1K 875
                                    

"Mbak Cita, mohon di jelaskan kenapa disini hanya ada dua paragraph saja?" tanya moderator.

Cita menerima uluran mikrofon dari salah satu ustadzah. "Kayaknya gue gak perlu jawab banyak. Intinya gue lagi males," jujur Cita tanpa sungkan.

Entah apa penyebabnya setiap kali ada Cita, maka di situ ada aura ketegangan tersendiri. Hanya Cita seorang yang berani berbicara santai dengan ustad dan ustadzah, jangankan mereka. Tiga putra dari pengasuh saja ia permainkan.

"Mungkin kalau di luar kamu masih bisa beralasan malas, tapi tidak dengan di pesantren. Kalau gak bisa menyelesaikan maka kamu harus siap di hukum," tekan moderator yang memiliki nama Fuji.

"Di hukum?" Cita menangkap sosok laki-laki yang kemarin sempat memakinya, sebelah bibir tertarik menunjukkan sebuah smirk kecil. "Lo mau hukum gue? Hukum aja."

Dia berbicara kepada si moderator namun matanya terpaku pada satu titik dimana Haydar berada. "Tapi lo ingat! Gak semua orang bisa berubah hanya dengan hukuman."

"Baiklah. Sekarang saya tanya, dengan tulisan dua paragraph ini apa kamu bisa menjelaskan isi dari buku yang kamu pinjam? Kalau kamu bisa menjelaskan dan menjawabnya maka hukuman kamu akan diringankan," ujar Fuji.

Tanpa mengangguk Cita mulai mengucap salam dan menjelaskan dengan lanyah inti dari buku yang berjudul KECINTAAN TERHADAP RASULLULLAH DAN AGAMA ISLAM.

Cita memang tak menulis begitu banyak di kertas folio tersebut, namun ia cukup memahami isi bukunya. Awal mula, ia hanya iseng membaca beberapa bait tapi setelah membaca lebih dalam lagi Ia mulai tertarik dengan kisah-kisahnya. Terlebih kisah Rasulullah yang menurutnya sama sekali tidak ada hal membosankan.

Tak sedikit yang kagum dengan cara penyampaian Cita yang bisa di bilang sangat mudah di tangkap dan di nikmati. Dari gerakan-pun sama sekali tidak memperlihatkan bahwa gadis itu tengah sakit.

Hal itu tak luput dari pandangan Agam Maulana selaku putra sulung pengasuh pondok pesantren ini. Sedangkan Haydar memperhatikan lekat gerak-gerik Cita, meresapi.

Beda halnya dengan Haikal, bibirnya tak berhenti komat kamit. "Paling juga di hafalin," cibirnya.

Dua detik sebelum kalimat terakhir, Cita sempat memejamkan mata merasakan denyutan yang semakin lama kian menjadi.

"Sudah?" tanya Fuji, di balas anggukan.

Fuji kembali bersuara, "Silahkan bagi yang mau bertanya."

Salah satu ustadzah yang duduk paling belakang mengangkat satu tangannya.

"Silahkan berdiri Ustadzah," seru Fuji.

Si ustadzah-pun berdiri. "Baik, Assalamualaikum. Saya akan bertanya, Kapan pintu langit itu di kunci atau di gembok oleh Allah, dan kapan pula pintu langit akan di buka kembali? Terimakasih, wassalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Jika bisa silahkan Mbak Cita di jawab," suruh Fuji.

Sejenak Cita diam. Ini adalah pertanyaan yang di berikan oleh tiga pendeta untuk Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, dan Cita sempat membaca juga memahami kisah tersebut dari buku yang di pinjam.

Meskipun baru pertama kali dengan mantap dia mulai berujar, "ASSYIRKU LILLAH. Syirik kepada Allah. Jika kalian mempersekutukan Allah, seluruh amalan gak naik ke langit, itulah makna langit terkunci. Jadi jika kalian melakukan kesyirikan, amalan gak bisa naik karena pintu langit terkunci."

"Pertanyaan selanjutnya, lalu kapan pintu langit itu akan di buka kembali oleh Allah?" Fuji mengulang pertanyaan selanjutnya.

"Disaat engkau mengucapkan LAILAHAILLALLAH, tiada Tuhan selain Allah. Ketika engkau tidak menyekutukan Allah, dan mengakui bahwa Allah itu satu. Pintu langit akan terbuka." Itulah jawaban Cita.

Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang