HUA dua puluh sembilan🍓

68K 10.4K 873
                                    

FLASHBACK ON

Sari memeluk Cita. Dua gadis itu terisak tanpa suara. Cukup lama hingga Sari tak merasakan gerakan dan mulai merasa berat. Awalnya ia berfikir Cita tertidur, hingga pada akhirnya ia membiarkannya.

Membenahi posisi agar gadis itu nyaman dalam tidurnya. Akan tetapi ada yang aneh, Cita sama sekali tak terusik kala tangan mungil Sari menepuk pelan pipinya.

Yang membuat Sari semakin panik, suhu tubuh Cita naik lebih tinggi dari sebelumnya. Cita pingsan. Sari bingung, sangat tidak mungkin jika ia memapah Cita yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Terlebih mereka berada di bangunan kosong lantai tiga.

"Mbak bangun. Mbak." Sari masih berusaha mengembalikan kesadaran Cita namun usahanya sia-sia, lima belas menit berlalu Cita masih enggan untuk membuka mata. Jangankan membuka mata, sekedar menggerakkan jari saja tak sanggup.

Mata Sari terbelalak lebar mendapati darah di kaki Cita terus mengalir tak mau berhenti, menembus kain yang sudah di ikat.

Ini tidak bisa di biarkan! Bisa-bisa Cita kehabisan darah. Akhirnya Sari memutuskan untuk turun mencari bantuan.

Di lantai dua Sari dikagetkan oleh kedatangan wanita dan pria muda dengan wajah panik. "Kamu Sari?" tanya Raka.

Kepala Sari mengangguk kuat. "Dimana Cita?" tanya kembali.

Sari tak mampu berkata, ia tergagap. Sama halnya dengan kedua orang tua Cita, napas Sari juga tersenggal antara panik, capek, semua teraduk menjadi satu.

Tangannya menunjuk lantai atas. "Mbak Cita pingsan-"

Sontak kedua orang tua Cita kaget, berlari dengan wajah panik.

"CITA!" pekik Rena berlari mengikuti sang suami.

Tangisnya pecah, kepala Cita yang di pangku Raka di pindah di atas pangkuan sang ibu. "Dek bangun. Astagfirullah, kamu kenapa dek."

"Pi angkat Pi! Ayo kerumah sakit!"

Tanpa babibu Raka mengangkat tubuh lemah Cita. Di sepanjang jalan tatapan kaget para santri putri menyambut mereka. Terlebih melihat kondisi Cita yang tak sadarkan diri di sertai darah di bagian tubuh dan bercak yang menempel di gamis. Rambut acak-acakan tanpa hijab.

Dan pada saat itu juga Sari lah yang menjadi sasaran pertanyaan. Namun, gadis itu sama sekali tak menanggapi pertanyaan mereka, karena ini bukan hak nya.

FLASHBACK OFF

Sari mengakhiri ceritanya tentang kejadian kemarin. Sedang Cita menghela napas dalam. Jujur ia sama sekali tak ingat akan kejadian setelah ia tak sadarkan diri. Jadi pusat perhatian adalah hal yang memang bukan hal aneh lagi bagi Cita, tapi kali ini berbeda.

Gadis itu tampak risih dengan pertanyaan setiap orang yang berpapasan dengannya. Tapi setidaknya ia dapat sedikit bernapas lega karena berita dirinya masuk rumah sakit tak sampai di telinga orang ndalem.

"Gue pikir Mami sama Papi gak peduli, ternyata mereka nyariin gue," batin Cita menyesal karena sempat berprasangka buruk terhadap orang tuanya sendiri.

Cita menyentuh bahu Sari. "Makasih ya Sar. Lo selalu ada buat gue."

"Itulah keluarga. Meskipun kita gak ada ikatan darah tapi kita masih terikat agama. Semua umat muslim adalah saudara," kata Sari.

Deretan gigi Cita nampak sempurna tanpa ada kikikan. Lantas Sari bingung, ada apa gerangan sampai membuat Cita menampakkan gigi putihnya. "Kok Mbak Cita ketawa?"

"Pengen tau?" tanya Cita di angguki oleh sang empu. "Gue heran aja gitu. Kok adek gue ini tiba-tiba jadi bijak, kagak lemot kayak biasanya."

Senyum Sari pudar. "Mbak mah gitu."

Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang