Dua hari berlalu sejak kejadian yang dimana harga diri Cita sudah tak ada lagi, sudah di anggap layaknya sampah tak berharga yang harus di basmi dari sekolah.
Kemarin seharian penuh Raka turun tangan sendiri mengurus surat kepindahan sekolah Cita. Sudah cukup dia tahu bahwa orang dalam lah yang menjebak putrinya, untuk sekarang Raka masih diam. Nanti jika Cita sudah pindah dia akan melakukan apa yang seharusnya di lakukan sebagai ayah dari anak yang sudah di lecehkan.
Ternyata teman dekat putrinya sendiri yang melakukan hal sekeji itu. Raka tak habis pikir, yang melakukan bukan hanya laki-laki tapi juga perempuan.
Raka masih cukup hapal dengan satu-persatu teman putrinya, sebab mereka kerap kali main kerumahnya. Bisa dibilang rumah adalah salah satu tempat favorit untuk mereka nongkrong, jadi setiap ada tugas rumah Cita-lah yang menjadi tujuan berkumpul.
Secara pribadi Raka cukup berat berpisah dengan putrinya. Sudah cukup dia berpisah rumah dengan Nara, hampir delapan tahun lamanya.
Tapi dia juga tak punya pilihan lain. Melepas putri bungsunya adalah hal yang sudah benar. Dia tak ingin kejadian yang lebih buruk lagi menimpa Cita.
Di lain tempat, tepatnya di dalam kamar bernuansa monokrom dengan poster-poster oppa korea yang hampir memenuhi dinding. Duduk di atas ranjang single dengan layar tv yang menyala. Wajahnya cemberut, tatapannya-pun tampak sayu.
Sudah dua hari ini ia di kurung di rumah tanpa melakukan aktivitas apapun selain makan, mandi, nonton tv, keliling kolam rumah. Itu sangat membosankan.
Niat hati ingin membuka room chat, data baru di aktifkan sudah ada banyak deretan pesan-pesan misterius yang terus menerus menerornya. Sejak saat itu juga Cita tidak berani menyalakan data, dia cukup terauma membaca salah satu pesan yang tak sengaja kepencet.
Matanya melirik satu koper berukuran sedang yang sangat mencolok di samping lemari baju. Entah kenapa setiap kali matanya tak sengaja menangkap benda itu membuatnya kesal, gelisah, kadang tiba-tiba murung.
Ingin rasanya dia membuang koper tersebut. Sudah terkurung, di tambah teringat jika dia akan di pindahkan ke pesantren tentunya akan jauh dari kebebasan yang semakin membuatnya gila.
Cita memang sedih karena semua teman-temannya membenci dirinya, namun bukan berarti Cita juga melakukan hal yang sama. Dia sudah menganggap mereka layaknya keluarga sendiri.
Jika boleh jujur yang sangat mengganggu pikirannya saat ini adalah kenapa dia harus satu pesantren dengan Nara? Selama ini Cita sangat jarang mau ikut kala orang tuanya membesuk Nara.
Gadis itu lebih memilih tinggal di rumah. Bahkan ketika Nara pulang, Cita juga jarang mau di ajak jalan-jalan bareng. Ada banyak alasan untuk menghindarinya.
Bukan karena kesal juga bukan karena benci, sebab setiap kali mereka jalan berdua Cita selalu di banding-bandingkan oleh tetangga melihat bagaimana perbedaan mencolok dari keduanya. Nara yang notabenya santri senior sudah dapat di pastikan akhlaknya baik, sedangkan Cita sangat jauh dari kata alim.
Insecure dengan kembaran sendiri lebih menyakitkan daripada insecure melihat kecantikan orang lain. Kalau jelek bisa jadi glowing karena skincare, sedangkan cantik akhlak mah susah harus di didik dari kecil.
Cita cuma menang di tinggi badan saja, untuk solehah sangat beda jauh. Terkadang Cita diam-diam meminjam salah satu gamis milik Nara, hanya ia coba di depan cermin lalu di lepas kembali karena tak tahan gerah.
"AArrrrgggghh!"
Cita mengacak rambut kesal, mengingat besok dirinya akan berangkat ke pesantren. "Apa jadinya kalau gue di sana pake gamis. Baru lima belas menit aja udah gerah. Ini apa lagi di kekepin tiap pagi, siang, sore, malam. Bisa gila gue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
ChickLitCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...