Seorang gadis dengan rok plisket kuning yang di padukan dengan kaos senada tengah bingung mencari orang yang akhir-akhir ini semakin membuat hatinya berdesir, serta jantung yang terus berdetak kencang.
Pikirannya selalu di hantui oleh laki-laki yang dari kemarin hingga sekarang tak di ketahui keberadaannya. Kemana dia? Kenapa seakan hilang ditelan bumi setelah mengutarakan kalimat bak panah yang mampu menembus relung hatinya.
Cita berdecak seraya berkacak pinggang. "Ckk, gak bertanggung jawab banget sih jadi cowok. Tau gitu gak usah ngomong sekalian biar hati gue kagak jedag-jedug mulu. Kan susah cemberut kalau kayak gini kejadiannya, bawaannya pengen senyum mulu. Hehe."
Cita bicara, mesem-mesem sendiri menimbulkan tatapan aneh dari sebagian orang. Bahkan tak jarang yang bertanya langsung karena penasaran. Bagaimana tidak bingung, baru beberapa menit wajah gadis itu masam namun setelah mulutnya komat-kamit wajahnya berubah ceria.
"Kamu gak papa kan, Cit?" tanya salah satu teman satu kamar Cita yang kebetulan lewat juga memperhatikan gerak-gerik Cita.
Bukannya menjawab, Cita justru balik bertanya. "Emangnya gue kenapa?"
Salah satu teman sekamar Cita yang umurnya sebaya itu pun turut bingung. "Kamu sedikit aneh aja. Tadi marah-marah, gak lama senyum-senyum sendiri," ujarnya.
"Kalau gue marah ya berarti lagi kesel, kalau senyum berarti lagi seneng. Apanya yang aneh coba?" balas Cita memancing helaan napas dari sang empu.
"Kalau itu aku juga tau Cita. Ya udah aku pamit aja. Assalamualaikum."
Cita menatap aneh punggung ramping gadis yang baru saja berpamitan. "Yee, nyolot dia nya. Waalaikumsalam!"
Tunggu sebentar! Sepertinya sekarang Cita merasa ada yang aneh dengan dirinya. Setiap santri wati yang berpapasan dengannya tampak memperhatikan, kepala mereka menunduk begitu kepergok oleh Cita. "Ini yang aneh gue apa mereka? Hadeehh, pada gak bisa liat orang seneng dikit."
Tak lama datang lah Sari menghampirinya. "Mbak Cita kemana aja sih? Dari tadi di cariin juga, malah nongkrong disini. Gak boleh tau masjid di tongkrongi, gak baik."
Gigi-gigi Cita saling beradu, menggertat satu sama lain. "Lo hobi amat gue semprot. Itu mata you gak liat kalau gue berdiri di halaman masjid? Sekarang gue nanya, nongkrong itu apa?"
"Sekumpulan orang yang duduk, ngobrol-"
Cita menyela kalimat Sari. "Nah, sekarang gue lagi apa?"
"Berdiri?"
"Sama siapa?"
"Sama Sari?"
"Ngapain?"
"Lagi ngobrol."
"Sekarang lo buat dua kopi bawa kesini," seru Cita.
"Buat apa Mbak?" tanya Sari bingung.
"Kita nongkrong di serambi masjid. Biar sekalian lo yang tanggung dosa gue karena lo penyebab gue nongkrong di masjid! Bikin kesel aja, udah tau gue lagi cari orang," semprot Cita.
Sari memejamkan mata mendapat semprotan rohani dari Cita. "Sari kan gak tau Mbak. Mbak juga aneh, dari tadi disini banyak orang tapi masih di cari."
Sebegitu polosnya Sari, hingga mampu membuat otak Cita mendidih. Tapi anehnya, meski begitu Cita sama sekali tidak mempermasalahkan. Bagi Cita, Sari adalah gadis pertama yang selalu berusaha berteman dengannya dari ia masih baru di pesantren ini, tak pernah marah meski beberapakali di semprot oleh mulut lemesnya.
Tak jarang Cita merasa insecure dengan kesabaran yang Sari Miliki. Walaupun kelewat polos tapi Cita sangat sayang dengan Sari. Ia sudah menganggap Sari sebagai adik kandungnya sendiri, sedang Ajeng kakak keduanya sesudah Nara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
Chick-LitCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...