HUA dua belas🍓

63.8K 9.9K 540
                                    

Ternyata rasa nyaman itu sesederhana ini, dengan adanya kamu di dekatku. Kapanpun dan dimanapun aku berada pasti akan betah juga.

-:Nacita Arya Salika

=========================

Seorang gadis bergamis ungu muda tengah duduk sendirian di depan aula dengan kaki sila juga satu tangan menopang dagu. Dua hari sudah gadis itu menetap di pondok pesantren, dan selama dua hari pula otaknya tak pernah berhenti mencari ide agar bisa keluar dari sini.

"Penjara suci udah kek neraka bagi gue. Udah sumpek tambah sumpek liat cewek-cewek mulu. Masa liat cowok pas sholat jamaah doang, mana betah gue."

Jadi di pesantren ini hanya terdapat satu masjid yang sangat besar. Para santriwan baik santri wati akan sholat berjamaah bersama, namun ketika ngaji mereka berada di aula masing-masing.

Masjid At-Ta'aruf ini berada di tengah-tengah pembatas tembok antara asrama putra dan asrama putri. Di belakang lima meter dari situ ada rumah Kyai yang terdiri dari dua teras.

Rumah kyai hanya ada latar depan. Di bagian kanan teras langsung menuju asrama putra, sedangkan teras sebelah kiri terdapat asrama putri. Namun baik di masjid ataupun rumah Kyai terdapat pagar yang terbentang luas dari bujur barat hingga bujur timur. Jadi baik santri putri maupun santri putra tidak dapat masuk ke wilayah yang sudah di haramkan.

Santri putri haram masuk ke wilayah asrama putra begitu juga dengan santri putra haram masuk kedalam wilayah asrama putri terkecuali ada titah dari Kyai sendiri.

"Sebenarnya siapa sih yang ngejebak gue. Gara-gara dia jadi kayak gini kan hidup gua." Ingin rasanya berteriak sekeras mungkin. "Kata papi teman gue sendiri. Cewek?" Cita berfikir keras. "Perasaan gue gak punya musuh cewek. Terakhir kali sih hubungan gue sama Meri gak baik. Ah tapi gak mungkin Meri, masa dia setega itu."

"Mami... Cita mau pulang...."
Gadis itu menundukkan kepalanya, pusing akan hidupnya yang sekarang. "Gue harus bisa kabur dari penjara suci ini."

"Mbak Cita. Mbak di tugasin piket bareng aku di kamar mandi," ujar gadis bergamis merah maroon.

Yang di panggil mendongak. "Piket?"

"Iya, itu yang lain udah pada piket. Ayo, keburu di tegur petugas keamanan."

"Gak mau ah, males," tolak Cita.

"Nanti kalau gak mau Mbak Cita bisa di hukum," ucap Sari.

"Ckk. Dikit-dikit dihukum, dikit-dikit dihukum. Apasih disini yang gak di hukum. Bodo amat gak peduli gue! Dah lah, lo aja gue gak mau." Cita mendorong panggung Sari agar pergi menjauh darinya.

"Tapi Mbak-"

"Udah sono! Oh atau lo mau temenin gue di hukum? Kalau iya sih sok atuh."

Sontak kepala Sari menggeleng kuat, segera pergi agar tidak mendapat hukuman jika nanti Cita di hukum.

Setelah menyaksikan kepergian Sari, Cita-pun kembali dengan posisinya. Belum sempat dagunya di topang datanglah seorang perempuan dengan membawa sapu lidi juga skop di kedua sisi tangan. Wajahnya tampak merah padam, judes bukan main. Itu adalah perempuan yang menghukumnya kemarin, Ajeng si ketua petugas keamanan.

Cita menghela napas lelah. "Ini orang keknya sensi mulu sama gue. Belum nyampek aja mukanya udah kayak orang kesurupan," gumam Cita menatap nyata Ajeng.

"Daripada kamu diam, nih!" Mengulurkan dua benda yang berada di kedua sisi tangannya. "Kamu sapu depan aula sampai bersih."

"Lo siapa gue? Gue siapa lo? Berani nyuruh gue," ucap Cita sinis. Dia tak peduli perempuan di hadapannya ini tiga tahun lebih tua darinya.

Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang