Pagi berikutnya Cita datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Bahkan di kelasnya belum ada satu orang pun selain dirinya. Di lirik jam yang ada di atas papan tulis masih menunjukkan pukul 05.59 sedangkan Cita sudah duduk di mejanya dari dua puluh menit yang lalu. Seniat itu demi ketemu dan bicara dengan Meri.
Seumur-umur baru kali ini Cita datang ke sekolah pagi buta. Rena saja terheran kenapa anaknya datang ke sekolah sepagi ini. Ketika di tanya gadis itu hanya menjawab sudah mulai bimbel. Untuk sekedar mencomot roti selai kacang kesukaannya saja ia tak sempat sangking terburu-buru.
Kemarin sudah tiga kali Cita bolak-balik ke rumah Meri tapi nihil kata ibunya Meri tak ada di rumah. Meri juga tidak datang ke musholah. Semarah itukah Meri terhadap dirinya? Jika benar lantas Cita harus melakukan cara apa lagi agar Meri mau mendengar penjelasannya. Jangankan mendengar, sekedar menatap saja enggan.
Tampak satu persatu murid sudah berdatangan. Entah kenapa firasat Cita sedikit tak enak, ada yang mengganjal di hatinya.
Kelas Cita bisa di bilang rukun tidak seperti kelas yang lain. Sangat jarang ada yang bertengkar hebat, dan mereka paling tidak suka jika ada pelakor di kelas ini.
Tanggapan Cita langsung menjurus ke situ melihat semua teman hanya melewatinya tanpa menyapa. Ada juga yang meliriknya sinis.
Ada sekitar sepuluh anak yang sudah datang. Mereka bersenda gurau tepat di belakang Cita namun tak satu-pun dari mereka yang mengajaknya.
Gadis itu sudah berusaha menyapa dan mengajak bicara namun yang di dapat hanya lirikan sinis.
Cita adalah tipe gadis yang tidak mudah mengeluarkan air mata. Akan tetapi bukan berarti dia tidak sakit dengan perlakuan mereka.
Dadanya terasa sesak ketika dengan terang dan jelasnya mereka membicarakan dirinya. Gadis ity memilih untuk menelungkupkan kepalanya di atas lipatan kedua tangan.
"Eh. Lo pada tau gak sih kalau di kelas kita ada pelakor, murahan lagi," kata Tina matanya melirik Cita.
"Kalau gue jadi dia sih udah malu tingkat ubun-ubun, gak mau lagi gue nginjekin kaki ke sekolah," sahut Vita.
"Asli, nama sekolah kita tercemar gara-gara dia doang." Kali ini Dewi turut serta.
"Widih, pada ngomongin ape nih?" tanya Roni baru tiba, ikut nimbrung di antara mereka.
"Lah emang situ gak tau berita panas yang ada di group chat semalem?" tanya Tina.
Roni nyengir. "Haha ikut sih, cuma baca doang gue. Emang beneran?"
"Ya benar lah, orang udah ada videonya juga," tambah Vita.
Hani bergidik. "Jijik gue, bisa-bisanya mau sama om-om."
Cita sendiri tak mau menanggapi, sebab ia tak merasa ada yang salah.
"Gak ada hotel, di gang pun jadi cuyy," teriak Geri datang dari pintu.
Giliran Prasetyo mempouse game, meletakkan ponselnya kasar. "Pacar temen sendiri di embat, masih belum cukup om-om pun turut andil. Gue paling benci sama cewek kayak gitu. Dia cakep tapi mainnya kek pelacur."
DEG
Masih posisi yang sama mata Cita terbuka. Entah kenapa dia merasa bahwa mereka tengah membicarakannya. Sebenarnya dari awal mereka mengganti tentang topik itu hati Cita sudah resah tak karuan, namun hati kecilnya mencoba untuk positif thinking.
"Emang dia gak di masukin group?" tanya Hani.
"Kagak lah," jawab Tina.
"Ah harusnya di masukin biar seru," tambah Roni
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
Chick-LitCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...