Agam menatap punggung ramping Cita sendu, ia sempat menangkap air mata itu jatuh bersamaan dengan terpejamnya mata gadis yang selama ini diam-diam singgah di hatinya.
Gadis itu mengusap air mata, berjalan keluar lewat pintu awal dia masuk tadi. Di tengah pintu tak sengaja ia berpapasan dengan Haikal, mereka berhenti sejenak. Terdiam, saling tatap tanpa suara.
Cita dengan tatapan yang sulit di artikan, sedang Haikal sendiri melayangkan tatapan bingung melihat wajah merah, sembab, di banjiri air mata.
Melihat itu, entah kenapa lidah Haikal terasa kelu tak mampu melontarkan suara yang tersangkut di pangkal tenggorokan.
Bibir Cita tertarik, melempar senyuman yang tak mampu di tangkap oleh siapapun. Setelah itu ia benar-benar pergi dari hadapan mereka semua. Kepalanya menunduk, membekap mulutnya dengan punggung tangan. Mengabaikan panggilan dari beberapa orang.
Di sepanjang jalan, tatapan, sapaan. Sama sekali tak di hiraukan. Cita berjalan tertatih, ia tak peduli dengan rasa sakit dari pecahan beling yang semakin lama kian masuk menembus telapak kakinya.
Sandal yang di kenakan menjadi licin akibat darah yang banjir tak mau berhenti. Bukan hanya itu, beberapa sayatan turut menandai telapak tangan yang sedari tadi ia sembunyikan dari mereka.
Cita menatap tangan penuh darah. Tangan itu bergetar seimbang dengan seluruh tubuhnya. Sesekali kaki pincangnya tersandung batu kecil maupun besar.
"Astagfirullah, Mbak Cita!" pekik Sari mendapati Cita berjalan layaknya tak kuat membawa badan. Lantas Sari segera memapahnya.
Dari ekor mata, Cita bergumam tepat di depan telinga Sari karena memang wajahnya dekat dengan bahu gadis satu tahun lebih muda darinya itu.
"Bawa gue ke tempat yang gak ada orang," gumamnya pelan. Sangat pelan, bahkan seandainya bibir Cita tidak tepat di telinga Sari. Gadis itu tak mampu menangkap gumaman lemah Cita.
Sari hanya mampu mengangguk, membawa Cita ke tempat biasa Cita menyendiri. Ia sudah paham akan tempat yang di maksud Cita.
Beberapa kali Sari mengajak Cita agar mengobati lukanya terlebih dahulu, akan tetapi gadis itu tetap kukuh pada pendiriannya. Yang dia inginkan hanyalah tempat yang tak di jamah orang.
"Mbak, gak usah naik ya. Belingnya dicabut dulu." Rasanya Sari ingin menangis, meringis melihat pecahan kaca semakin masuk kedalam daging bagian telapak Cita.
Kepala Cita menggeleng. "Enggak, gue mau ke atas," ujarnya lemah.
"Mbak, itu lantai tiga. Tenaga Mbak juga udah lemah, disini aja ya?" Suara Sari sudah bergetar, ia tak sanggup melihat keadaan kakak yang di sayang seperti ini. Baru kali ini ia melihat Cita selemah ini.
"Gue mohon Sar, gue mohon. Hiks." Runtuh sudah pertahan yang sedari tadi ia bendung. Satu isakan keluar, hanya satu. Sedang yang lain, masih ia sembunyikan. Di tahan sebisa mungkin agar tak pecah.
Dimana Cita yang tegar? Dimana Cita yang kuat? Dimana Cita yang tak kenal lemah? Sekarang semua itu hilang, melayang entah kemana.
"Iya, Sari antar. Tapi kalau Mbak gak kuat harus bilang ke Sari." Akhirnya dengan berat hati Sari memapah, membawa Cita menaiki anak tangga satu persatu.
Begitu sampai Cita menjatuhkan tubuhnya, terduduk di atas lantai berdebu. Mengerti dengan keadaan Cita, ingin sendiri. Sari memundurkan kakinya beberapa langkah, memberi jarak dua meter.
"Kenapa? Kenapa harus Nara? Kenapa harus kembaran gue sendiri?" Air mata Cita mulai bercucuran seiring otaknya berputar dengan kejadian yang belum lama ini ia alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, ust Agam! [SUDAH TERBIT]
Chick-LitCERITA INI SUDAH TERBIT, TERUS SEDIA DI TOKO OREN DAN TOKOPEDIA. "Hi, ustad Agam," sapa Cita kala matanya menangkap sosok Agam turun dari serambi masjid. Agam-pun menjawab dengan nada biasa. "Bukankah Rasulullah mengajarkan kita untuk mengucap sal...