29. Impian Luka

3.1K 146 33
                                    

Eca mendatangi rumah lamanya, menghadap Bunda sekaligus Papanya. Jujur, Eca lebih takut hari ini ketimbang saat ia terciduk berbadan dua.

"Kamu dan Reno udah cerai?" tanya Papa dengan suara tinggi. Meningat Papa adalah pria tegas dan emosinya. Jantung Eca berpacu dua kali lebih cepat.

"Iya, Pa."

"Kenapa nggak diskusi dulu sama Bunda dan Papa?" tanya Bunda menahan agar Papa tidak meledak.

"Maafin Eca," lirih Eca.

"Pernah nggak sih kamu Ca, nggak berbuat kesalahan fatal sekali aja?!"

"Udah-udah Pa.... " Bunda dengan sabar menenangkan Papa.

Eca menunduk, berat rasanya mengatakan fakta. "Besok sidang terakhir perceraian Eca dan Reno akan disahkan-"

"Papa nggak mau dengar lagi cerita kamu! Lalu Sera bagaimana nasibnya?"

"Sera ikut sama Eca, Pa."

"Besarkan dan urus anakmu sendiri, kamu pikir mudah jadi single parents. Sebagai Ibu muda harusnya kamu berpikir dua kali, Ca. Apa konsekuensi besar yang akan kamu tanggung sebagai Ibu tunggal. Setiap rumah tangga, pasti ada masalah. Kamu terlalu kekanak-kanakan, harusnya kamu berjuang demi pernikahan dan anakmu!" ucap Papa penuh amarah.

Eca menahan matanya yang memanas, ia menjilati bibirnya yang terasa kering. Dengan sekuat tenaga Eca mencengkram erat ujung kaus yang ia kenakan.

"Maafin Eca, Pa."

"Ca, lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Bunda mendekap putrinya. Memeluk Eca, sebagai seorang wanita Bunda jauh lebih mengerti perasaan Eca.

"Eca akan jadi orangtua yang hebat buat Sera, Bun. Doain Eca--"

Bunda mengangguk perlahan. "Bunda berharap yang terbaik buat kamu, Ca. Kali ini mulailah hidup yang baru, jangan sampai salah pilih jalan lagi."

***

Menatap dirinya di cermin, benar-benar membuat Eca jenuh dengan parasnya sendiri.

Wajahnya benar-benar membosankan, dengan mata bengkak plus kantung mata yang terlihat jelas.

Sidang terakhir memberi putusan, bahwa Eca dan Reno bukanlah suami istri lagi. Pernikahan meraka telah berakhir di meja hijau persidangan.

Jujur, dari lubuk hati terdalam. Eca masih mengharap kehadiran Reno dalam sidang kemarin. Namun, lagi-lagi harapan Eca berbuah nol besar.

Dengan gunting di tangannya, Eca mendekatkan benda tersebut ke wajahnya.

Dengan cepat Eca memotong rambutnya, menampakan wajah baru yang terlihat berbeda di depan cermin.

Eca dengan rambut barunya, berarti Eca telah siap memulai kembali hidupnya.

***

Eca menatap kerumunan orang-orang, sementara Sera terlelap di gendongannya. Dengan koper mungil di tangan kananya, menuju tempat check in.

Hari ini adalah hari keberangkatan Eca ke Jepang. Ia benar-benar tidak bisa melepaskan impiannya kali ini.

Wanita berambut pendek itu bangkit dari kursinya, ketika terdengar bahwa penumpang pesawat penerbangan dari Jakarta ke Tokyo diharapkan menuju pesawat.

Eca berjalan dengan langkah ringan, matanya beralih pada liontin hijau yang ia kenakan.

Sudah dua bulan semenjak pertemuan mereka di pantai hari itu. Eca masih merasa sesak jika mengingat moment tersebut. Masih ada sosok Reno di dalam hatinya. Seberapa kuat Eca melupakan mantan suaminya itu, namun nampaknya tidak mudah.

Eca berada di lapangan pesawat berbaris rapi bersama penumpang lainnya.

Drrrtttt~

Eca merogoh sakunya, mengambil ponselnya. Entah ada angin apa, Ken menghubungi dirinya.

"Ca!" Ken bersuara.

"Iya, Ken?" tanya Eca.

"Lo dimana, ada suara mesin itu berisik banget."

"Eca lagi di depan pesawat soalnya." Eca mendekatkan ponsel ke mulutnya ketika berbicara.

"Lo beneran jadi ngambil beasiswa ke Jepang itu?"

"Iya, Ken."

"Ca, gue mau ngomong sesuatu."

"Ngomong apa, Ken?"

"Gue rasa lo perlu tahu, Ca."

"Tahu apa, Ken?"

"Mama Reno meninggal, Ca."

"Meninggal?" Kaki Eca tiba-tiba lemas, beruntung ia berhasil bertumpu pada kopernya.

"Eca harus ke sana sekarang!" kata Eca cemas, tanpa sadar ia berucap hal itu di bawah akal sadarnya.

"Ken! Reno dimana sekarang? Eca harus ada di sisi, Reno!!!" teriak Eca, ia menarik kopernya meninggalkan barisan.

"Ca, jangan panik!" Ken ikut berteriak dari seberang telepon.

"Ken, jawab Eca. Reno dimana sekarang?!"

"Di Amerika, Ca. Mamanya meninggal setelah dirawat lebih dari dua bulan di sana."

Eca mematikan panggilan telepon tanpa sadar, raut terkejut sekaligus terpukul di wajahnya tidak bisa dibohongi.

Nafas Eca memburu, kakinya benar-benar lemah hingga ia jatuh terduduk begitu saja. Beberapa orang petugas bandara berlari ke arah Eca.

"Bu, Ibu baik-baik aja?"

Eca menatap wajah asing berseragam khas petugas bandara. Kepala Eca menggeleng perlahan.

"Ibu Mertua saya meninggal, Pak. Pesawat ini harus ke Amerika, Pak." Eca menunjuk pesawat besar di belakangnya.

Beberapa detik setelahmya, tangis Eca pecah. Petugas bandara nampak bingung menenangkan Ibu Muda satu ini.

Biasanya bayi akan lebih rewel dari sang Ibu, tapi ini kebalikannya.

Tatapan mata Eca kosong, ia disuguhkan air mineral, Eca meneguk air itu tidak sabaran.

Ia memejamkan matanya rapat-rapat, dengan bodohnya Eca tidak tahu bahwa alasan Reno meninggalkannya karena Ny. Linda sakit parah.

"Kenapa Reno nggak cerita sama Eca?" Eca menatap liontin yang tergantung di lehernya.

"Bu, mau diantar ke rumah sakit?"

Kesadaran Eca kembali, ia bangkit dari sendirinya. Menjadi penumpang terakhir yang naik pesawat benar-benar membuat Eca jadi tatapan banyak orang.

"Bunda dan Sera harus lupakan Daddy," kata Eca duduk di salah satu kursi, ia mengusap pelan matanya yang masih berair.

SELAMAT TINGGAL MASA LALU🦅

30 KOMEN yaa, KEMARIN NOTIP BAHKAN GAK SAMPAI SETENGAH TAPI AKU NEXT. KALI INI, DIPERKETAT YA. SESUAI TARGET BARU AKU LANJUT.

komen "next kak, next, semangat kak, lanjut kak" tidak dihitung.

Sampai jumpa di 30 komen, makasih.

SLEEPING WITH SENIOR (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang