HEARTBREAK - PLAN A (I)

833 50 5
                                    

VERONICA

Malam itu, tak ada hujan. Langit cerah seingatku. Tak ada gerimis seperti yang selalu terjadi dalam novel. Tidak ada situasi canggung ataupun kikuk antara dua manusia. Tidak ada janji pertemuan sebelumnya. Apalagi air mata dari sang perempuan atau penjelasan panjang lebar dari sang lelaki. Itu dramatis sekali.

Semua baik-baik saja.

Dua paper bag dari mall berisikan syal dan cardigan berbahan rajutan yang baru kubeli bahkan masih kutenteng dengan antusias saat memasuki mobil dan berpisah dari Nessa dan Missy. Mereka sempat memaksa untuk mengajak dinner bareng Tristan dan Missy bilang akan membawa Bram juga. Walaupun aku tetap tak setuju dan Nessa memasang tampang seperti cewek desperate gara-gara belum memiliki satupun pasangan. Jangankan itu, gebetan saja belum ada hingga detik ini.

Aku dan Missy balik menertawakannya tanpa bermaksud mengejeknya atau apa. Tapi dia tetap saja cemberut total. Lucu sekali.

Semua baik-baik saja.

Saat sedang menyetir menuju rumah, sebuah notifikasi dari Tristan mengejutkanku. Seingatku dia sedang ikut balapan. Tampaknya itu sudah selesai karena dia ingin bertemu denganku. Aku jadi penasaran. Karena dipesan terakhirnya dia bilang urgent. Maka aku tau aku harus menemuinya.

Semua masih baik-baik saja.

Aku tak jadi ke rumah tetapi sudah memberi tahu Mami lewat SMS kalau aku terlambat pulang, biar adikku tidak mendapatkan satu celah pun untuk mengadukan yang tidak-tidak pada Mami dan Papi. Cukup sudah dia berulah, tapi selama ini berhasil kuatasi. Kemudian aku menyetir menuju kawasan apartemen alamat cowok itu. Aku sendiri tak menduga kalau Tristan tidak lagi menempati rumah yang dibelinya dekat kediaman kakek. Mungkin dengan apartemen dikawasan perkotaan memudahkan aksesnya ke perusahannya. Gaya hidup seorang CEO memang membuat siapa saja pasti iri.

Lalu semua berubah dalam sekejap,

"Lo ngak papa Tris? Kok babak belur gini. Jangan bilang kalo Lo kecelakaan. Kenapa ngga hubungin Kak Cornely aja. Atau ke rumah sakit sekalian?!" Cecarku tanpa jeda ketika menemukan tubuh Tristan terkulai di atas sofa.

Dia berusaha menutupi wajahnya dengan satu tangannya tetapi saat kusentuh dia akhirnya menegakkan tubuhnya dan tersenyum menatapku yang memandangnya dengan khawatir.

"Sorry Licia. Harusnya gue nggak hubungin lo."

Aku menggeleng lantas melempar tas belanjaanku ke lantai dan berpencar mencari kotak obat. Apartemen Tristan tak begitu luas seperti rumah yang dibelinya disebelah rumah kakek. Rumah lama orangtuanya sedang direnovasi, jadi untuk sementara dia memutuskan mencari sendiri tempat tinggalnya. Padahal rumah dipuncak itu juga tak kalah mewahnya.

Tristan langsung meraih kotak obat dari tanganku saat aku kembali duduk disebelahnya.

"Biar gue aja."

"Trus apa artinya lo hubungin gue, Tris. Lo juga belum jawab pertanyaan gue." Protesku selagi membasahi kassa dengan alkohol yang kurebut kembali dari tangannya. Mana biasa kubiarkan dia mengobati dirinya sendiri.

"Pertanyaan yang mana dulu nih, otak gue ngga bisa ingat semuanya."

"Udah lo diam deh." Kataku sambil menepis tangannya yang berusaha menjauhkan wajahnya agar bisa kulihat lalu membersihkan tepi bibirnya yang sedikit bengkak oleh sisa darah. Luka ini mengundang satu pertanyaan dibenakku. Benarkah itu karena tabrakan? Kok terlihat seperti luka yang sering Milo dapat sehabis berkelahi sih? Ah sudahlah.

"Tahu nggak, kalo nggak pelan-pelan pesona diwajah gue bisa berkurang Licia. Siapa lagi yang bakal terpesona sampe salah kira waktu ketemu gue kalo gue nggak tampan lagi?!"

Princess Attack [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang