Waiting - Closer

863 54 4
                                    

WAITING - CLOSER

NICHOLE

Helm hitam dikepalaku segera kulepas begitu motor sport yang membawaku berhenti disebuah rumah sakit kecil berlokasi tak begitu jauh dari Five Club’s.

“Mau gue temanin nggak?”

Aku menggeleng dan mengulurkan kembali helm tersebut pada pemiliknya yang menatapku ragu. “Tugas gue selesai kan? Atau perlu gue tungguin lo disini. . .”

“Lo mending pulang gih, ini urusan gue. Tugas lo hanya nganterin, ok.”

Milo mendengus lantas menghidupkan kendaraannya dan pergi begitu saja. Aku tersenyum melihat kepergiannya. Sepupu yang dapat diandalkan. Setidaknya disaat teman-temanku sedang tak berada disampingku dan supirku sudah menghilang entah kemana, hanya dia yang bisa kuhubungi. Bukan berarti aku tak punya oranglain yang bisa kuhubungi tetapi aku sedang tak mau ambil resiko saat ini.

Sesuai dengan petunjuk Eddie, aku bergerak menuju lantai tiga tempat Bram terawat. Dilorong panjang aku dapat melihat sosok Fortunio baru meninggalkan salah satu ruangan. Dan itu pasti ruang perawatan Bram.

“Fortunio!”

Fortunio mengangkat wajah dan memandangku dengan mata membulat sempurna. “Hai.”

“Wow. . . ada apa, ah apa yang terjadi? Gimana keadaan Bram. . . dia,”

“Jangan kesana, mending lo ikut gue.” Potong Fortune sambil menarik lenganku tetapi aku berkeras mengintip melalui celah jendela persegi dipintu perawatan. Didalam sana terlihat tubuh Bram terbaring diatas ranjang berselimut putih dengan seorang cewek berambut sebahu duduk dihadapannya. Kedua orang itu tampak sedang berkomunikasi intens.

“Lo kok nggak bilang kalo. . .”

“Makanya, dengarin gue sekali aja kenapa sih, Nichole!”

Aku terkesiap mendengar teriakan frustasi itu. Tak pernah Fortunio bersikap demikian. Sepertinya dia sedang kesal. Atau mungkin marah. Tetapi pada siapa, aku? Apa karena Bram dirumah sakit dan tantangan waktu itu.

Sebelum menemukan jawabannya aku terpaksa mengekorinya menuju sebuah café yang terletak dilantai dasar rumah sakit.

Setelah memesan kopi, dia kembali menatapku dengan tatapan tak bersahabat. Begitu pesanan datang barulah sosok bertubuh kecil itu menghela napas. “Nick, gue punya banyak pertanyaan buat lo.”

“Sama. Gue juga.”

Ekspresi Fortunio kembali mengeras membuatku terpaksa bungkam dan mau tak mau menunggu reaksinya. “Kemana lo malam itu?”

“Urusan keluarga, For. Gue kepengen banget kasih tau lo tapi mendadak gue nggak bisa pergi begitu aja. Semua keluarga gue. . .”

“Oke. Gue ngerti.” Potong Fortunio dengan tenang tetapi matanya kembali memandangiku dengan tajam dari balik kacamatanya, “Kenapa lo nggak bisa hubungin salah satu dari gue ato Bram minimal?”

Aku teringat malam itu saat dipertengahan jalan menuju rumah sakit ponselku malah tertinggal dikamar. Setiba dirumah sakit, aku mencoba mencari ponsel dari beberapa orang yang kutemui namun tatapan curiga yang dilayangkan Bunda membuatku sadar aku memang tak bisa meninggalkan rumah sakit begitu saja.

“Lo nggak bakalan percaya kalo gue bilang gue udah coba segala cara biar bisa hubungin lo atau Bram.” Jawabku apa adanya.

Fortunio terdiam lama sebelum mendesah. “Gue rasa mereka sudah tau malam itu lo nggak bakalan datang.”

Satu alisku terangkat saat Fortunio mulai membuka mulut untuk menguraikan kejadian disaat aku tidak sedang bersama mereka. “Gue dan Bram tiba pas jam sebelas itu tetapi tempat udah rame banget. Gue bilang ke Bram, sepertinya malam itu bukan hanya tantangan biasa. Soalnya banyak orang disana yang nggak gue kenal. Nggak seperti biasanya, tetapi penantang lo itu kayaknya bawa semua orang dia kenal.

Princess Attack [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang