VERONICA
"Aduh..." jeritku tanpa sadar saat perawat menyelesaikan tugasnya membersihkan luka ditubuhku. Perawat itu tersenyum Memang sih tidak terlalu sakit atau gimana, hanya saja terasa perih. Beberapa jam sebelum ini, hidupku juga mengalami hal yang lebih perih.Aku beruntung. Emilio bisa diandalkan. Dia mendadak muncul membawa pasukan polisi dan mengakhiri drama mencekam dalam hidupku. Tidak itu saja ada teman-teman Nichole, bahkan Papi juga datang bersamaan tante Alexa dan Om Julio.
Aku bersyukur memiliki keluarga besar yang utuh. Papi segera menghampiriku dan mengangkat tubuhku ketika polisi berhasil membebaskan kami. Emilio sibuk menghajar orang-orang di ruangan itu tanpa bisa dicegah. Padahal sudah ada polisi, dia tetap menunjukkan kemampuan bela dirinya. Kalau bukan karena situasi, aku yakin dia hanya ingin menyombongkan diri didepan Papa yang selama ini tahu tingkah badungnya diluar rumah.
Suara-suara perbincangan terdengar dari luar ruang perawatan. Aku dapat merasakan aura perdebatan Papa, Om Julio dan pengawal-pengawal mereka. Tante Alexa tidak berada bersama mereka karena Ibu Nichole itu sementara menemaniku. Dia memelukku dan mengusap rambutku yang acak-acakan. Dia mengatakan maaf yang sama sekali tidak kupahami.
Aku bertanya mengapa Mamaku tidak datang. Dia bilang Mamaku tidak cukup kuat berhadapan dengan hal yang menimpaku. Makanya baru saat tiba di UGD, Mama dihubungi. Tante Alexa sekali lagi mengatakan maaf sebelum menyusul Om Julio dan Papa.
"Tante..." tahanku sebelum tante Alexa menjauh.
"Ya, sayang?"
"Dimana Nichole?"
Tatapan tante Alexa berubah. Wajahnya terlihat sedikit tegang, bahkan aku cukup yakin helaan napas beratnya itu cuma pengalihan semata karena dia tidak ingin menangis dihadapanku saat ini.
"Tante..."
Tante Alexa mencoba tersenyum. "Nichole baik-baik saja sayang, jangan cemas. Istirahatlah, sayang. Tante keluar sebentar."
Aku memandangi punggung wanita itu dan tak tahan untuk menangis. Aku tahu dia pasti bisa mendengar isakanku tapi aku tidak peduli. Aku bahkan belum meminta maaf pada puterinya. Pada satu-satunya sepupu yang hampir saja mati karena keegoisanku.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada Nichole setelah terpisah dari ruangan penyekapan itu.
Erangan terdengar dari tempat tidur sebelahku. Suara itu otomatis membuatku bergerak memanjat turun dari ranjang. Aku tidak begitu terkejut ketika pakaianku diganti dengan pakaian rumah sakit. Tadi-tadinya aku berpikir sudah bernasib seperti korban pemerkosaan yang bajunya awut-awutan.
Tirai kusibak pelan, terlihat tubuh Tristan terbaring disana. Matanya tertutup rapat sementara mulutnya tidak berhenti mengeluarkan ringisan.
"Tristan."
Sapaku pelan-pelan mendekati ranjangnya, Tristan berhenti meringis.
"Licia," katanya tanpa membuka mata.
"Udah nggak usah kok kuat. Gue tahu lo sakit, ga usah banyak gerak." Tristan mengalah. Dia menurutiku. Dia diam dan aku tersenyum melihatnya. Walau wajahnya babak belur, tubuhnya kesakitan parah tetapi tidak mengurangi sedikitpun ketampanannya. Aku tidak peduli kalau setelah ini aku dicap gila karena mengagumi ketampanan lelaki ini. Apa yang telah diperbuatnya cukup menyadarkanku bahwa tidak seharusnya aku egois.
Tidak seharusnya, aku bertindak bagai peri jahat.
"Aku harap kamu dengerin aku baik-baik, Tristan Pearce." Kataku sambil meremas ujung baju rumah sakit yang kukenakan ini. Oke, Veronica lakukan sekarang atau kau akan menyesali sisa hidupmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Attack [END]
Teen FictionNichole Tienna - Dalam keluarga dikenal sebagai troublemaker, (sebagian mewarisi sifat ibunya dimasa lalu). Di atas jalanan, dikenal sebagai juara bertahan. Di mata teman-teman, tak lebih dari anak rumahan yang suka mencari perhatian. Cewek seperti...