VERONICA
Ini benar-benar terlihat bodoh. Aku memandangi diriku sendiri dalam balutan gaun pengantin yang ujungnya menjuntai hingga lantai. Berulang kali aku bertanya pada diriku sendiri mengenai keputusanku ini. Tepatkah atau hanya karena aku sudah bosan dengan hidupku.
Masalahnya hari ini, adalah hari pernikahanku. Pasanganku masih yang sama Tristan Pearce. Tidak ada perubahan. Entah mengapa aku mulai panik dan ingin berlari ke toilet. Mungkin disana pikiranku bisa sedikit lebih tenang.
Nessa menahan tanganku tepat sebelum aku keluar dari kamar rias. Hari ini dia terlihat cantik dalam gaun bridesmaid yang senada juga dengan milik Missy. Nichole juga seharusnya mengenakan gaun itu tetapi entahlah sepupuku itu anomali. Datang ke pernikahanku juga aku tidak yakin. Setidaknya Nichole sudah menyempatkan diri untuk menghadiri pertunanganku. Walau harus dihubungi berulangkali oleh kedua orangtuaku. Bahkan aku mengancam tidak akan bertunangan kalau dia tidak datang.
"Mo kemana lagi sih Ver."
"Toilet."
Nessa berdecak, "Lo udah bilang alasan yang sama 15 menit yang lalu. Masa sekarang lo pengen ngacir kesana juga. Jangan ngaco deh."
"Serius gue mau pipis. Lo mau gue pipis disini?!" desakku karena Nessa tak kunjung mengurai pegangannya.
Missy tahu-tahu muncul dan langsung mendorongku masuk lagi ke kamar rias. "Sebentar lagi mobil pengiring datang. Lo jangan aneh-aneh deh, Veronica. Liat tuh muka udah pucat aja. Balapan aja nggak ada pucat-pucatnya, udah mo nikah gini malah jadi kek orang nggak waras." Omelnya sambil mengambil spons untuk meratakan bedak diwajahku.
"Guys, sumpah gue beneran pengen pipis nih, kalo kalian nggak ijinin gue keluar gue nangis disini." Kataku tak tahan lagi. Nessa dengan panik langsung mengambil kipas cantik dari tas tangannya dan mengipasiku tanpa diminta. Tangannya mengusap punggungku.
"Udahlah Ver. Santai aja, menikah nggak seburuk itu kok. Lagian Tristan ama keluarganya udah siap di gereja. Lo mau ini semua batal gara-gara lo kayak gini." Nessa bersuara lembut kali ini. Mereka berdua memang sahabat terbaikku. Mau-maunya saja ketika aku ajak menginap hari terakhir sebelum melepas masa lajangku. Nichole menawarkan diri untuk menemaniku juga tetapi aku tolak. Aku belum siap sama sekali berhadapan dengannya dan tatapan pura-pura bahagia diwajahnya. Waktu pertunangan berlangsung aku melihat bagaimana Nichole tersenyum dan sempat mengejekku. Kami sama-sama tertawa tetapi ketika acara terus berlangsung Nichole kudapati sudah pulang duluan tanpa sempat menyentuh makanan.
Emilio adikku memiliki reaksi berbeda mengetahui tentang pernikahanku. Dia tidak lagi menggangguku selama persiapan menjelang pernikahanku. Kata dia, beberapa waktu itu sempat berantem dulu sama Tristan. Tristan mengingatkan dia supaya tidak menggangguku karena aku sudah jadi miliknya. Otomatis Emilio juga harus hormat padanya. Mereka benar-benar bertengkar. Itu tidak bohong. Rahang Tristan membiru sedang sudut mata kanan Emilio bengkak. Dua orang itu memang sinting.
"Udah tenang?" tanya Missy sambil meremas jemariku. Aku mengangguk sebelum akhirnya digandeng oleh mereka berdua menuju mobil diparkiran. Setidaknya hidup baruku dimulai dari sejak hari ini berlalu.
*
"Ny. Pearce..." bisik Tristan ketika aku baru ingin duduk setelah berjabatan dengan orang-orang. Aku menahan geram, sepertinya dia senang sekali karena bisa menikahiku. Dasar bodoh. Aku melirik ke arah sudut ruangan dan menemukan tatapan mematikan tante Hesty membuatku terpaksa berdiri lagi. Memasang senyum sebelum melanjutkan aksi ramah tamah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Attack [END]
Teen FictionNichole Tienna - Dalam keluarga dikenal sebagai troublemaker, (sebagian mewarisi sifat ibunya dimasa lalu). Di atas jalanan, dikenal sebagai juara bertahan. Di mata teman-teman, tak lebih dari anak rumahan yang suka mencari perhatian. Cewek seperti...