FACT

451 38 7
                                    

VERONICA


Kakiku pegal. Tubuhku lengket oleh keringat yang mengering. Aku merasa seperti telah terkurung selama seabad dalam tempat pengap ini. Dimana sebenarnya aku berada sekarang?

Ponsel, GPS? Emilio...

Oh please.

Memikirkan ponsel disaat tangan terikat dibelakang. Kaki pun bernasib serupa. Jangankan GPS, kemungkinan selamatpun sangat kecil. Mengapa nama Emilio terlintas dibenakku, sebab dibalik semua sifat menyebalkannya bahkan kadang membuatku tak ingin berhenti menghukumnya adalah kekhawatirannya. Dia akan mencariku. Aku tahu itu.

Tapi tunggu dulu, bukankah dia menolak berbicara denganku. Dia masih menyalahkanku atas kejadian yang menimpa Nichole. Dan aku tidak bisa membela diriku sendiri karena kenyataannya semua itu terjadi karena ulahku. Aku mengakuinya dan sekarang aku menyesalinya.

Mataku mengerjap sekali lagi, tempat ini bukan seperti tempat-tempat menyeramkan dalam tv. Beberapa meter dari tempat ini suara bising kendaraan masih terdengar. Sepertinya ini sebuah... garasi?

Tanpa menunggu lama aku mencoba berteriak sebisaku. Penjahat-penjahat bodoh itu seakan lupa untuk menyumpal mulutku dengan tali atau semacamnya. Bukannya aku mau diperlakukan seperti itu tetapi...

"Shut up!... Lo bisa bikin mereka balik..."

Tubuhku menegang. Peringatan itu dari belakang. Seketika itu juga aku sadar ada oranglain dibelakangku. Lebih parahnya punggung kami hampir menyatu dalam posisi seperti ini.

Dan orang itu, Tristan.

Aku menggigit bibirku sambil berupaya melepas jeratan tanganku namun Tristan mendadak menegakkan tubuhnya sehingga tubuhku otomatis tertarik ke arahnya.

"Jangan berisik Licia. Orang-orang itu bisa balik dan bunuh kita..."

"Diam. Kalo pun gue mati, lebih baik gue mati sendiri dibanding harus sama orang kayak lo."

Bahu Tristan bergetar. Bukannya marah dia terlihat seperti menahan tawanya sendiri.

"Apa yang lucu, Tristan Pearce?!" Bentakku tak tahan. Tristan berhenti tertawa. Dia melemaskan tubuhnya dan tiba-tiba saja kepalanya terjatuh diatas bahuku.

"Daritadi gue berusaha lindungin lo, dan kayaknya lo nggak sadar tiap kali lo bergerak, baju lo semakin panjang robekannya. Kalo lo emang kepingin mati, silahkan tapi nggak perlu juga kan jadi santapan mereka."

Mataku beralih pada ujung bajuku. Tak satupun dari perkataan Tristan yang mengada-ada. Dressku memang sudah nyaris tak berbentuk bagian bawahnya. Persis hari pertama ketika kami bertemu, aku sudah berjanji untuk berhenti menggunakan pakaian pendek semacam rok. Biasanya juga yang kukenakan legging tapi kali ini berbeda. Suasana hatiku sedang kacau, berimbas pada semua. Andai dewa fashion benar-benar ada, mungkin aku sudah ditenggelamkannya ke dalam lautan neraka saking bodohnya dalam memilih outfit.

"Tenang saja, kalo pun kita berdua selamat gue nggak bakalan biarin mereka ngeliat tubuh lo kayak gitu."

Kadang aku bingung bagaimana caranya agar bisa terlepas dari neraka macam ini. Terikat bersama cowok yang tak ingin kulihat dan mendengarnya berkata seakan kami tengah duduk kencan membuat isi perutku bergolak.

"Licia, lo baik-baik aja?"

"Diam. Gue nggak ada urusan ama lo."

Tak ada balasan. Kini kami sama-sama diam. Dalam ruang bercahaya minim dengan kadar oksigen yang semakin menipis. Tristan tak bicara bahkan ketika aku sudah hampir mati bosan menghitung dalam kepalaku. Harusnya ada jalan keluar dari sini. Lagipula aku tidak tahu bagaimana bisa dia juga ikut dibawah bersamaku. Ingatan terakhirku hanya saat dia berkelahi dengan penculik-penculik itu. Selebihnya aku tak ingat lagi.

Princess Attack [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang