NICHOLE
"Selamat pagi, Nichole."
Suara itu menyentakku dari tidur panjangku semalaman. Sumpah, tubuhku sangat lelah. Padahal kalau membandingkan dengan kebiasaanku dulu rasanya tidak ada bedanya kalau aku sampai harus lelah seperti ini.
Bunda sudah menyiapkan pakaianku dan meletakkannya diatas meja rias dalam kamar. Beberapa perubahan jelas terjadi dalam hidupku. Dan aku tidak dapat menyangkalnya.
Aku bukan lagi juara bertahan yang kerjaannya menghabiskan waktu dijalan dengan beradu kecepatan diatas jalan. Aku sudah meninggalkan semua sejak beberapa tahun silam.
Tampaknya hidupku saat ini lebih terarah. Aku lulus kuliah, mulai merangkak masuk pada bisnis ayah dan lebih suka mengembangkan usahaku sendiri dibidang konseling. Hal paling simpel adalah aku berhenti merokok dan menutup diri.
Hari ini aku memiliki jadwal untuk membuka peresmian gedung baru lembaga konseling perempuan. Lembaga itu memiliki perijinan yang cukup repot karena berdiri sendiri diluar dari wewenang pemerintah. Akibatnya usahaku tidaklah semudah yang dibayangkan. Beruntung ayah dan bunda mendukungku. Meski beberapa kali aku harus berurusan dengan media karena berita seputar kabar pelecehan pernah menghampiriku. Tapi itu semua sudah berlalu.
Nichole Aleana Tienna sudah baik-baik saja.
"Semoga kamu tidak terlambat. Oh yah, apa kamu mau Deno yang supir atau Bunda ikut menemani?"
Aku tersenyum sebelum memeluk pundak bundaku yang tidak muda lagi. "Nggak papa Bun, aku sudah bisa nyetir kok."
"Kamu yakin?"
Kadang aku ingin sekali ikut balapan liar kembali hanya demi membuktikan kalau kakiku aman dan mentalku sudah lebih sehat untuk sekedar berkendara dijalanan. Tapi rasanya itu hanya akan berakhir dengan kebodohan. Jadi percuma.
"Tenang saja, Bun. Aku berjanji, aku akan baik-baik saja."
Bunda mengangguk sebelum mengelus puncak kepalaku. Sesudah itu dia beranjak keluar dan memberiku privasi. Aku melirik sebentar pada figura yang terpajang indah disudut kamarku.
Rasanya ingin tertawa menyaksikan kembali wajah keluarga besar kami yang bertambah satu anggota, tidak lain adalah Tristan. Seingatku memajang foto keluarga besar biasanya adalah wanita yang masuk ke keluarga besar lelaki saat mereka menikah. Dalam kasus kami sebaliknya. Tristan terpaksa ikut masuk berfoto dalam potret keluarga besar kami. Memang ada maksud baik dibalik pembuatan potret itu karena kakek tidak lama meninggalkan kami semua dalam kesedihan yang teramat sangat.
Ah, kelamaan menatap foto itu malah membuatku makin lupa waktu.
*
"Jangan lupa mampir ke rumah sakit ibu dan anak, Nick. Anak pertama gue sebentar lagi mau lahir."
Aku terkikik mendengar suara lemah Bram. Videocall pun kuakhiri karena lampu hijau sudah menyala. Kulajukan mobilku seiring mobil-mobil lain. Pada akhirnya aku boleh menyetir.
Sambil melirik sisi kanan, sebelum menyalakan lampu sein aku menimbang untuk membeli hadiah apa yang bagus untuk menyambut kehadiran seorang bayi. Bram memang sangat mantap dalam urusan percintaan hingga urusan anak. Fortunio saja masih betah melajang.
Bram sempat menyentilku waktu hari pernikahannya. Bisa jadi dia nungguin lo, Nick.
Kata-kata itu sempat membuatku menjauh dari Fortunio. Tapi aku sadar semakin aku menjauhinya itu malah membuat keadaan persahabatan kami makin rusak. Cukup Bram yang sudah duluan meninggalkan kami, jangan Fortunio juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Attack [END]
Teen FictionNichole Tienna - Dalam keluarga dikenal sebagai troublemaker, (sebagian mewarisi sifat ibunya dimasa lalu). Di atas jalanan, dikenal sebagai juara bertahan. Di mata teman-teman, tak lebih dari anak rumahan yang suka mencari perhatian. Cewek seperti...