VERONICA
Drtttt... drttt...
Aku merasakan getaran dipaha kananku. Mataku menatap langit-langit awalnya sebelum meraih benda bergetar itu. Jam berapa ini?
Rasanya kepalaku sedikit pusing. Oh tidak.
Kamarku bernuansa pink cerah dengan karpet bulu berwarna putih dilantainya. Ada lemari pakaian disalah satu sisi dinding juga meja rias disebelahnya. Tapi pagi ini, bukan itu yang kulihat.
"Selamat pagi."
"Oh Tuhan!" jeritku ketika tubuh Tristan melintasi depan ranjang hanya mengenakan handuk dan singlet putih.
"Kenapa histeris begitu. Kamu mimpi buruk?" tanya selagi membuka lemari dan meraih stelan jas dari dalamnya. Kemudian ada pasangan celana yang dibentangkan begitu saja diatas kasur. Persis disebelahku.
"Kamu tidak ingin pakai itu disini kan?" bisikku mengamati gerak-gerik tangannya yang berhenti pada simpul handuknya.
"Tadinya begitu, tapi karena kamu sudah bangun jadi bingung harus gimana. Aku tidak masalah berpakaian dimana saja tetapi kamu sepertinya tidak begitu..."
"Berhenti!" teriakku ketika Tristan hendak menurunkan handuknya ke lantai. Aku memejamkan mata sambil menurunkan kakiku dari ranjang. Mengingat-ingat letak pintu, aku segera menyambar gagangnya tapi karena karpet cokelat sialan dilantai yang tidak kusadari tubuhku malah terhuyung ke belakang.
"A..." teriakku terhenti saat sepasang tangan hangat menahan punggungku.
"Kamu tidak apa-apa kan?"
"Lepasin aku, Tris. Aku harus keluar dari sini."
Napas hangat Tristan terasa dileherku. "Iya, kamu bakalan keluar tapi kamu mana bisa jalan kalau kamu tutup mata begitu."
Aku menggeram kesal. "Aku tidak bisa buka mata kalau kamu masih belum pake baju sialan!" makiku sambil menyingkirkan tangannya.
"Memangnya kenapa sih, sebentar lagi kamu juga bakalan lihat semuanya kenapa harus ditutupin coba?"
"TRISTAN!"
*
Aku menghirup aroma teh yang kubuat dan memandangi teh yang kubuatkan juga untuk Tristan. Aku merasa benar-benar bodoh sampai harus menginap segala di apartemennya. Semalam banyak yang aku maupun Tristan bicarakan sampai tidak sadar waktu sudah terlalu larut. Aku berkeras akan pulang namun Tristan melarang.
Aku benar-benar tidak tahu harus menjelaskan apa pada Mami dan terutama Papi. Tristan dengan beraninya menghubungi kedua orangtuaku dan menyatakan kalau aku menginap di apartemennya. Papi awalnya tidak mengijinkan tetapi entah apa yang Tristan kemukakan sampai akhirnya Papi setuju.
Dan aku? Jangan ditanya.
Ketahuan menginap diapartemen cowok seumur hidupku bukanlah hal yang benar. Sebagian diriku merasa aku sudah melakukan skandal besar.
Ponsel ditanganku berbunyi, nama Emilio lagi-lagi tertera disana.
"Halo?"
"Kak lo dimana sih, kenapa semalam lo nggak pulang? Gue udah mo lapor polisi tapi kata Mami lo ada rumah temen. Tumben lo mo nginap dirumah orang. Lo nggak apa-apa kan? Nggak ada masalah kan?!"
Aku menghela napas. Pertanyaan Emilio tidak bisa apa diurutkan dulu apa, aku bingung harus menjawab semuanya. Faktanya aku cukup tenang Mami tidak cerita kalau aku berada di apartemen Tristan, kalau tidak anak ini pasti sudah meledekku habis-habisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Attack [END]
Teen FictionNichole Tienna - Dalam keluarga dikenal sebagai troublemaker, (sebagian mewarisi sifat ibunya dimasa lalu). Di atas jalanan, dikenal sebagai juara bertahan. Di mata teman-teman, tak lebih dari anak rumahan yang suka mencari perhatian. Cewek seperti...