VERONICA
“NGGAK!” Jeritku dengan suara yang cukup kencang. Dan akibatnya semua pandangan terarah padaku. Tapi aku tidak peduli. Sejauh ini kesialan sepertinya belum cukup menimpa hidupku. Saat pesta berakhir, aku tak dapat menemukan keberadaan cowok yang tadi-tadinya bersamaku. Keasyikan mendiskusikan soal liburan bersama Nessa dan Missy yang ikut-ikutan membawa seorang lagi teman lamanya membuatku lupa akan Tristan. Dan tanpa Tristan, aku takkan bisa pulang dengan aman.
Missy telah menyiapkan mobilnya, tetapi bukan untuk memberiku tumpangan. Dia sudah sepakat untuk mengantarkan pacarnya dan teman pacarnya itu. Dua orang menyebalkan bernama Bram dan Fortunio. Mereka adalah orang-orang yang selalu bersama sepupuku. Seakan belum cukup, Nessa juga tak dapat mengantarku karena sudah dijemput mobil papanya.
Alternatif yang ada hanyalah pulang bersama Milo. Namun itu bukan konsep yang kusetujui. Tidak. Terlepas dari ketidaksukaanku pada adik kandungku, aku tetap menghargai tawarannya walaupun harus bersihtegang dengan teman-temannya. Sesama anggota band. Apalagi vokalisnya yang bernama Jeffrey, meledekku karena dress yang kukenakan.
“Gue tanya sekali lagi, lu mau ikut atau gue pulang duluan nih.” Tawaran terakhir Milo tidak lagi selembut sebelumnya. Mungkin karena aku sudah menghentak-hentakkan kaki sejak tadi, dia ikut-ikutan kesal.
“Nggak! Kalo lo mau duluan sana. Gue bakalan nunggu taksi aja disini.”
Milo menundukkan kepala sambil menahan tawa disudut bibirnya. “Jangan bilang kalo lo bakalan semalaman disini buat tungguin cowok lu itu.”
“Dia bukan cowok gue. . .”
“Pantesan.”
Tenggorokanku mendadak sesak. Aku ingin memukul kepalanya tapi sayang sudah terhalangi helm putihnya. Kenapa sih dia tidak pergi saja supaya berhenti menggangguku disini. Satu per satu teman-temannya sudah menyingkir dengan kendaraan mereka selagi pintu café ditutup oleh salah seorang pegawai.
“Kalau nanti dia jadi cowok lu, bilangin gue! Gue nggak bakalan biarin dia buat lo nungguin lo kayak gini.”
Bibirku tak tahan untuk mendesis jijik. Seorang Milo, yang dikenal suka mengumbar banyak pesona diatas panggung bilang tidak akan membiarkan cewek sepertiku menunggu dalam keadaan seperti ini. Oke itu terdengar menyentuh. Dan menjadi kalimat paling tulus dari bibir seorang cowok manapun didunia ini, kecuali Milo. Karena aku tahu itu mustahil.
“Oke karena lu diam aja, gue pulang duluan. Jangan nyesal kalo terjadi apa-apa sama lo. Dan Mami bakalan nyalahin lo karena gue bakalan bilang lo telat gara-gara hang over abis-abisan ama teman-teman lo. Bye!”
Aku menggeram dan nyaris melemparkan sepatuku kepadanya kalau saja dia tidak segera menancap gas dan berlalu dari hadapanku. Bocah sialan. Bisa-bisanya dia mengaduhkanku pada Mami. Aku bakalan balas lapor ke Papi kalau dia masih juga keluyuran.
Hembusan angin malam menyentuh kulitku. Argh! Dingin banget. Tanpa blazer, rasanya tubuhku seperti hanya mengenakan handuk. Kepalaku menengok kanan kiri, menyadari kalau lampu-lampu café sudah gelap dan menyisakanku seorang diri dibawah payung tenda depan café.
Harusnya aku mengikuti saran Milo. Apa aku menghubunginya saja yah? Tapi itu sama saja menjilat kembali ludahku. Satu-satunya alasan terbesarku tidak naik motor Milo, karena adikku selalu ugal-ugalan dijalan. Ditambah lagi dengan red dress yang baru saja kuangsurkan dari butik tempat Mami. Mana mau aku merusaknya begitu saja.
Tanganku sibuk mencari nomor telepon dari kontak ketika bunyi beep terdengar dan layar ponsel langsung gelap. Great! Jalanan mulai terlihat remang dan tak satupun taksi lewat. Thanks to God. Aku akan berakhir semalaman disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Attack [END]
Teen FictionNichole Tienna - Dalam keluarga dikenal sebagai troublemaker, (sebagian mewarisi sifat ibunya dimasa lalu). Di atas jalanan, dikenal sebagai juara bertahan. Di mata teman-teman, tak lebih dari anak rumahan yang suka mencari perhatian. Cewek seperti...