VERONICA
“Kakek baik-baik saja kan?” Tanyaku memandangi kakek yang terus menghembuskan napas secara perlahan. Kakek mengangguk lantas meneguk obat yang diresepkan begitu selesai menyantap makan malamnya.
“Ngomong-ngomong apa sih yang dilakukan cowok nggak jelas tadi, Kek?!” Tanganku tergerak memberi piring kosong pada pelayan yang hendak membereskan meja. Aku dan kakek baru saja selesai menikmati hidangan makan malam berdua diruang makan yang tak begitu luas tetapi sangat menyenangkan.
Kakek memandangku diseberang meja dengan raut wajah yang tak kupahami sebelum mengulum senyumnya.
“Licia suka yah sama dia?!”
Hampir saja aku menghempaskan gelas berisi larutan obat milik kakek ke lantai sebelum dapat menaruhnya kembali ke atas meja. Aku menahan napas sebentar lalu menggiring kakek menuju kamarnya. Aku heran mengapa kakek bisa berasumsi kalau aku suka dengan cowok itu.
Suka dan kesal itu dua hal yang berbeda. Kalau aku suka padanya aku pasti bela-belain untuk mengenalnya secara langsung. Atau bisa dipastikan aku akan mengejarnya sejak dari parkiran depan supermarket tanpa perlu menendang kakinya dengan ujung bagian depan heels-ku lalu berlalu begitu saja dari hadapannya. Aku pasti akan tersenyum-senyum persis cewek sinting kalau mengingat kembali tentang wajah penuh pesonanya dan berakhir stress di rumah sakit jiwa, pada akhirnya. Semua itu terjadi kalau aku suka padanya.
Kalau aku, suka.
Kenyataannya aku kesal padanya. Kesal minta ampun. Seenaknya dia menuduhku yang tidak-tidak. Bilang aku sampai harus mengikutinya segala dan momen terakhir sebelum dia meninggalkan rumah kakek sangatlah mengesalkan.
Ketika itu aku baru selesai dari kamar dan hendak mengecek mobilku, dia tahu-tahu muncul dibelakangku. Dan tanpa pernah kutahu sebelumnya ditangannya heels yang terakhir kukenakan sudah diangkatnya didepan wajahku.
Mungkin dia masih kesal saat kutendang waktu diparkiran. Siapa yang tidak kesal kalau ada cowok asing berdiri menghalangimu untuk masuk ke mobilmu sendiri.
Dan akhirnya aku harus mati-matian mengejarnya demi mendapatkan kembali alas kakiku. Sepatuku itu tidak sembarangan kudapat dipasaran. Aku harus menunggu selama seminggu untuk waktu pengirimannya. Belum lagi baik Nessa dan Missy sama-sama juga mengincar sepatu itu. Kalau kulepas begitu saja, sayang disayangkan.
Aku kira bagian konyol dari aksi kejar mengejarku dengan cowok itu yang membuat kakek bisa mengambil kesimpulan kalau aku suka padanya. Mungkin.
“Tristan anak yang baik, Licia. Kalau Kakek lihat. Mungkin dia cocok dengan Licia.”
Aku memutar bola mata dengan kesal dan menyalakan lampu duduk saat tiba dikamar Kakek. Jadi namanya Tristan. Bagus. Kapan-kapan aku akan menyewa pembunuh bayaran untuk memberinya pelajaran.
“Apa maksud Kakek? Licia mana mungkin suka padanya, Kek. Dan dia nggak cocok dengan Licia. Sama sekali.”
Kakek ingin membantah tetapi hanya mendesah lantas menyandarkan punggungnya dikepala tempat tidur. “Kau tahu Licia, dulu juga Papimu melakukan hal yang sama. Saat aku mengatakan bahwa dia sudah seharunya mencari gadis yang tepat untuk bersama dengannya, dia tak mendengarku. Dia hidup menurut kemauannya. Ketika aku akhirnya memutuskan untuk membawakan jodoh pada kakaknya, Om-mu, dia malah berulah.
Belakangan baru kutahu kalau dia mencintai Mamimu yang waktu itu sudah kujodohkan dengan Julio, ayah Nicky. Aku hanya tak mau hal itu terulang kembali padamu, sayang. Sudahlah lebih baik kau istirahat.” Kata Kakek sebelum merebahkan tubuh rentanya diatas ranjang. Aku pun akhirnya berjalan meninggalkan kamarnya dan menutup pintu dengan pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess Attack [END]
Teen FictionNichole Tienna - Dalam keluarga dikenal sebagai troublemaker, (sebagian mewarisi sifat ibunya dimasa lalu). Di atas jalanan, dikenal sebagai juara bertahan. Di mata teman-teman, tak lebih dari anak rumahan yang suka mencari perhatian. Cewek seperti...