Adopsi

1.7K 235 44
                                    

Siang yang tak terlalu terik, Namjoon baru saja meninggalkan rumah sakit setelah memastikan sang putra menghabiskan sarapannya. Jimin harus berdebat sepanjang pagi karena Namjoon merusakkan lego pemberian Hoseok yang baru saja ia susun.

Dokter muda itu berinisiatif memberi lego pada Jimin agar remaja hiperaktif itu tak membuat masalah ataupun sampai membakar rumah sakit.

Sepertinya rencana Hoseok berjalan baik, ia belum mendapat laporan apapun dari para perawat. Karena Jimin tengah sibuk dengan lego barunya yang ia hamburkan di atas karpet.

"Jimin-ah." Sekali lagi Jimin harus mendongakkan kepalanya setelah beberapa perawat datang mengganti cairan infus.

Seseorang yang nampak familiar berdiri di ambang pintu ruang rawat sembari menenteng kantung plastik.

"Oh.... bukankah kau Haejun?" Jimin menarik senyum dan menyingkirkan lego yang ia hamburkan di atas karpet.

"Aku membawa buah untukmu, kupikir kau pegi sekolah pagi ini." Haejun menyilangkan kakinya dan duduk di samping Jimin yang kini tengah membuka kantung plastik berwarna merah itu.

"Gomawo, eum... appa melarangku pergi. Mungkin aku akan berangkat besok atau... tidak." Jimin menggidikkan bahunya dan mulai menyuapkan sepotong jeruk yang berhasil ia buka.

"Mau membuat sesuatu?" Jimin menyodorkan sekotak lego yang masih utuh ke arah teman barunya itu.

"Banyak sekali, appamu yang memberikannya?" Tangan Haejun sibuk menarik segel dari kotak lego itu, sembari sesekali melirik Jimin yang sibuk dengan kulit jeruk.

"Dokter Jung yang memberikannya, mungkin saja ia mau mengadopsiku." Haejun menarik senyum tipis, keduanya sibuk dengan lego masing-masing. Haejun maupun Jimin tak membuka suara, pandangan mereka tertuju pada lego berbentuk robot yang sudah setengah jadi.

"Jimin-ah?" Haejun menengok cepat ke arah Jimin saat lego remaja Park itu roboh begitu saja. Jimin yang berada di sampingnya nampak meringkuk sembari berusaha menahan rintihannya.

"Ka...kau baik-baik saja? Aku akan memanggil perawat." Jimin tak menjawab apapun, remaja itu sibuk mengatur napasnya sendiri yang mulai tersenggal.

Haejun dengan sigab bangkit dari posisinya daan mendekari tombol emergensi yang terletak di samping brankar.

Tak lama Hoseok bersama beberapa perawat datang dan segera memindahkan tubuh Jimin ke atas brankar, sementara Haejun ia harus keluar dari ruang rawat dan menunggu sahabat barunya itu dari balik pintu.

"Haejun-ah?" Remaja berpakaian pasien itu membalikkan badannya saat seseorang memanggil namanya, seorang pria paruh baya berjas putih berjalan mendekat sembari menarik senyum tipis.

"Paman, Jimin........"

"Aku mengerti, kembalilah ke ruanganmu. Jimin akan baik-baik saja, ayo... paman akan mengantamu." Pria ber jas putih itu menarik pelan lengan Haejun dan mengiring si remaja meninggalkan bangsal VIP.

***

"Jangan seperti itu, duduk dengan benar." Suara Hoseok kembali memenuhi ruangan karena tingkah Jimin. Beberapa saat lalu remaja itu nampak sekarat, namun saat ini Hoseoklah yang seperti hampir sekarat.

Jimin yang tengah duduk di atas brankarnya itu, beberapa kali hampir terjatuh karena terus saja bergerak kesana kemari mencari posisi nyaman agar ia dapat meletakkan lego hasil karyanya.

"Kemarikan lego itu, akan ku letakkan di atas meja." Tangan Hoseok baru saja terulur untuk mengambil lego di samping kaki Jimin, namun dengan cepat kaki remaja itu menepis tangan Hoseok tanpa rasa berdosa.

"Jangan sentuh."

"Baiklah, aku tak menyentuhnya." Hoseok memilih mengalah, dokter muda itu beranjak mendekati nakas dan mengambil beberapa obat.

"Minum obatmu terlebih dulu." Jimin menolehkan kepalanya, menatap beberapa tabung obat yang Hoseok sodorkan kearahnya.

Beberapa menit yang lalu, Hoseok memaksanya untuk melahab semua bubur lembek dan sekarang masih ada beberapa obat yang harus ia telan.

"Tidak bisakah paman memasukkannya ke dalam infus?"

"Tidak, jangan membantah dan cepat minum obatmu." Jimin menekuk wajahnya, ia belum menerima tabung obat yang Hoseok sodorkan kearahnya.

"Aku tidak mau."

"Minum sekarang atau ku hubungi ayahmu dan mengatakan jika kau membuat kekacauan, sehingga Namjoon tak akan mengijinkanmu berangkat sekolah dan kau harus menghabiskan satu bulan kedepan dirumah sakit." Ancaman yang terdengar tak main-main di telinga Jimin.

"Dasar tukang mengadu." Rutukan Jimin yang terasa menggelikan bagi Hoseok, nampaknya ancamannya kali ini sukses besar. Jimin tanpa melawan segera meminum semua obatnya dengan baik.

"Sekarang istirahatlah, jangan banyak bergerak atau turun dari brankarmu." Hoseok yang tengah merapikan lego Jimin, harus menghela napas berat saat Jimin menarik-narik ujung jas putihnya.

"Apa lagi kali ini?"

"Bolehkah aku ke sekolah besok? Aku janji akan tidur cepat malam ini." Hoseok menatap lamat Jimin, sangat sulit memahan remaja itu di rumah sakit. Pasti ada saja kelakuan Jimin yang membuatnya mau tak mau harus membiarkan remaja itu berangkat sekolah.

"Baiklah, tapi janji untuk tidak macam-macam. Tak ada keributan tak ada kegiatan di luar nalar." Tak ada bantahan dari Jimin, karena ia tau akan semakin sulit syarat yang diberikan Hoseok jika ia melawan.

"Dokter Jung!"

"Wae?" Jimin tak kunjung melanjutkan ucapannya, membuat Hoseok harus berdiri cukup lama di ambang pintu.

"Menurutmu apakah akan bagus jika appa menikah kembali?" Hoseok yang tadinya menggenggam gagang pintu melepaskan tangannya begitu saja.

"Mengapa tiba-tiba?"

"Maksudku, mungkin apa akan sendirian nantinya. Bukankan akan bagus jika ada seseorang yang bersamanya." Alasan Jimin mendapat tatapan yang sedikit tak mengenakkan dari Hoseok, dokter muda itu mendekati pasiennya dan mulai menyentuh kening Jimin.

"Suhumu normal, tapi ada apa dengan kepalamu? Memangnya mengapa Namjoon akan sendirian, dia memiliki putra di atas rata-rata sepertimu saja sudah membuat seisi dunia berantakan."

"Mungkin saja anda ingin mengadopsiku, kurasa marga Jung Jimin bukanlah hal yang buruk." Hoseok menjauhkan tubuhnya dari Jimin sembari mengidikkan bahunya.

"Maaf, aku tak berminat memiliki putra sepertimu. Sudah cukup hidupku berantakan jadi aku tak membutuhkanmu sebagai penambah penderitaan." Hoseok berjalan menjauh, ia tak ingin lagi mendengar omong kosong Jimin yang kian tak masuk akal.

"Dokter Jung, adopsilah aku!" Tangan Jimin berhasil meraihnya dan kembali membuat Hoseok tertahan.

"Tidak!"

"Jika mengadopsiku kau mendapat bonus otak pintarku dan wajah tampanku ini."

"Kubilang tidak."

"Ayolah, selagi ada promo dan potongan harga ditambah gratis jasa pengiriman!"

"Tidak akan pernah!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
'Jangankan mengadopsi, aku sudah cukup pusing karena bocah itu'
-jung hoseok-








Bersambung........

This Is My AnpanmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang