Kembali

1.9K 233 18
                                    

Ruangan putih dengan aroma berbagai jenis obat menjadi hal yang ada di sekitar Jimin saat ini, seorang dokter tengah sibuk dengan kain kasa ditangannya dan seorang perawat di belakang dokter itu disibukkan dengan kapas yang sudah di kotori dengan cairan merah. Sang dokter nampak serius dengan pasiennya, remaja dengan gips di kaki kirinya.

"Walimu akan segera datang bukan? kalau begitu tetaplah di sini dan jangan banyak bergerak." Dokter berpakaian rapi itu sedikit berpesan sebelum ia pergi, diikuti suster yang menutup tirai.

"Gomawo hyung." Jimin yang tengah duduk di kursi dekat brankar mengangkat kepalanya.

"Bukan masalah, lain kali berhati-hatilah saat menaiki skateboard. Beruntung kau hanya menabrakku, bayangkan jika kau menghantam mobil." Remaja yang tengah duduk di atas brankar itu hanya dapat menundukkan kepalanya.

"Maaf, aku akan mengganti ponselmu." Cicit remaja itu pelan sembari memainkan ujung jaketnya.

"Sudahlah, biarkan saja. Apakah kau baik-baik saja jika aku tinggal disini? Aku harus pulang sekarang." Jimin bangkit dari kursinya dan memasukkan benda pipih tak berbentuk kedalam sakunya.

"Tapi, bagaimana dengan ponselnya."

"Sudah kukatakan biarkan saja."

"Tapi....." Nampaknya rasa tak enak hati masih menyelimuti remaja itu, bagaimanapun ia telah membuat seseorang rugi.

"Begini saja, lain kali jika kita bertemu lagi kau bisa membelikanku makanan. Sekarang aku harus pulang."

"Baiklah, namaku Jungkook.... Jeon Jungkook."

"Kim Jimin, kalau begitu aku pergi." Jimin beranjak dari UGD dan Jungkook juga masih menatap remaja itu.

"Seoul Senior High School." Gumam Jungkook sembari membaca logo sekolah di dasi Jimin yang tertinggal di atas nakas, Jimin sempat menggunakan dasinya untuk mengikat kaki Jungkook tadi saat ia membawa remaja ceroboh itu ke rumah sakit.

***

"Astaga....... uang dari Yoongi hyung sudah habis untuk membayar taxi." Jimin yang tengah berdiri di depan halte, mengusak rambutnya kasar. Bagaiman ia bisa pulang sekarang, jarak rumahnya dan rumah sakit sejauh 8 km, apakah ia harus berjalan?

Tak ada pilihan lain selain itu, Jimin berjala ringan sempari mengotak-ataik ponselnya. Remaja itu melepaskan kartu memori dan juga kartu sim dari dalam ponsel hancur itu sebelum benda pipih itu berpindah tempat ke tempat sampah.

"Oh.... apakah tak ada orang yang berniat membantu ku." Jimin terus saja merutuk di sepanjang trotoar hingga sebuah mobil berhenti disampingnya.

Seseorang dari dalam mobil itu keluar dan langsung merengkuk tubuh remaja Kim itu, pelukan yang begitu erat hingga membuat sang empu merasa sesak dibuatnya.

"Kemana saja kau hah....? Astaga Kim Jimin, appa sangat menghawatirkanmu." Jika kalian menebak orang itu adalan Namjoon, maka tebakan kalian benar. Pria yang notabenenya menjadi ayah tunggal seorang Jimin.

"Jangan berlebiahan appa, kau seperti kakek-kakek."

"Tapi, semua baik-baik saja bukan? mengapa kau mengakhiri panggilan dan mematikan ponselmu?" Belum puas melepas kekhawatiranya, Namjoon masih saja mendesak Jimin dengan berbagai pertanyaannya.

"Aku menjatuhkan poselku tadi, hanya itu."

Namjoon tak langsung percaya, tatapan memindainya mulai ia berikan ke pada sang putra yang nampak tak memiliki kelainan apapun.

"Baiklah, kita pulang sekarang." Namjoon menarik lengan Jimin menuju mobil, seakan Jimin akan kembali hilang jika ia melepaskan genggamannya.

Perjalanan pulang begitu hening, Jimin nampak tertidur dengan cepat. Namjoon tak tau pasti dimana putranya semalaman, tapi setidaknya Jimin telah kembali saat ini.

Setibanya Namjoon di kediamannya, ia sudah di sambut oleh seorang wanita dengan dress biru langitnya.

"Aku tak bisa ke kantor hari ini, tolong kau batalkan semua pertemuan hari ini." Namjoon yang baru saja keluar dari mobil sembari mengendong Jimin di punggungnya, berpesan pada wanita yang menyandang gelar sekretaris pribadinya itu.

"Ne.... presdir. Lalu bagaimana dengan perilisan gamenya?"

"Kita bahas itu nanti, aku harus membawa Jimin ke kamarnya." Namjoon melewati wanita itu dan berjalan menjauh.

Jimin terdengar mendengkur halus saat Namjoon meletakkannya di atas ranjang, rasa khawatir pria itu seakan telah luntur dan hanyut menghilang.

Namjoon juga lelah, ia tak dapat tidur semalam. Pria berlesung pipi itu turut merebahkan tubuhnya di samping sang putra dan segera terlelap.

Entah kapan terakhir kali ia dapat tidur bersama dengan Jimin, seingatnya saat itu Jimin masih berusia 5 tahun.

Sejak pria kecilnya berusia 6 tahun, Namjoon sudah sangat disibukkan dengan pekerjaannya. Tanpa ia sadari Jimin tumbuh begitu cepat.

Jimin lah yang menjadikan Namjoon seperti saat ini, ia yang menjadi hal berharga dan satu-satunya untuk seorang Kim Namjoon.

***
"Euh........." Entah sudah berapa lama Jimin tertidur, sampai akhirnya ia terusik dengan suara ponsel yang terus berdering.

Tangannya meraih ponsel di atas meja disamping ranjang, tanpa sadar ponsel siapa yang ia ambil. Sebuah panggilan masuk di ponsel itu, dengan mudahnya Jimin terima.

"Hallo." Jimin meregangkan badanya dengan mata yang masih setengah terpejam.

"Tuan Kim, apakah anda sudah menemukan Jimin?" Tenyata panggilan itu dari Sera, ia sejak kemarin juga masih mencari keberadaan salah satu siswanya itu hingga saat ini.

"Ne?" Jimin bangkit dari posisi berbaringnya dan menatap layar ponsel yang menyala.

'Cha Sera'

"Oh.... saem ini aku siswa tampanmu, appa masih tidur apakah harus kubangunkan?" Sera tak dapat mengatakan apapun, untunglah Jimin sudah pulang kini ia dapat bernapas lega.

"Tidak perlu, aku hanya ingin tau kondisimu. Syukurlah jika kau baik-baik saja."

"Tentu saja aku baik, bukankah Saem mengkhawatirkanku?" Jimin mulai terkikik di akhir ucapannya, Sera sebenarnya sedikit jengkel tetapi rasa jengkelnya terkalahkan dengan rasa senangnya.

"Jangan mulai menggodaku Kim Jimin!" Tegas Sera dan membuat Jimin diam cukup lama.

"Tapi Saem, terimakasih karena mengkhawatirkanku." Entah mengapa Sera merasa ucapan Jimin begitu tulus, ini kali pertama ia mendengar Jimin berbicara seperti ini.

"Eum.... kalau begitu beristirahatlah, aku tutup telphonnya."

"Sampai jumpa besok Saem."

.
.
.
.
.
.
.

"Senangnya ada yang mengkhawatirkanku, terutama Sera Saem."

-kim jimin-

Bersambung..............

This Is My AnpanmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang