Sesal

1.6K 215 12
                                    

Lorong sekolah yang cukup sepi, hanya suara langkah yang menjadi teman seorang remaja pria menuju ke ruang kelasnya.

Pintu kelas sudah nampak di depan matanya, sampai seseorang mendorong bahunya kasar dan membuat punggungnya menghantam tembok cukup kencang.

"Astaga..... apakah itu sakit?" Jimin si remaja yang menjadi korban menatap nyalang tiga siswa di hadapannya.

Ia tak begitu mengingat satu-persatu dari mereka, namun karena hal ini. Jimin akan benar-benar mengingat wajah para berandal itu.

"Apa yang kalian inginkan sebenarnya?" Jimin menepis kasar tangan salah satu siswa yang ada di bahunya.

"Yak.... kau pikir dengan tatapanmu itu kami akan takut?" Siswa dengan name tage choi Yeonjun kembali mendorong Jimin beberapa kali.

"Aku bertanya apa sebenarnya masalah kalian?" Masih berusaha menahan emosinya, Jimin sungguh tak ingin berkelahi.

"Kau masih bertanya apa masalah kami? Seharusnya kau itu sadar diri Kim. Keberadaanmu saja sudah membuatku muak." Yeonjun mendekatkan wajahnya ke arah Jimin sembari menaikkan nada bicaranya.

"Aku tak melakukan apapun karena sikap sombongmu itu, tapi ternyata kau hanya remaja penyakitan" Kening Jimin mengernyit, menatap Yoenjun dengan nyalang.

"Yak, lebih baik kau turunkan pandanganmu itu." Tanpa takut, remaja itu menepuk pipi kiri Jimin cukup kuat beberapa kali hingga membuat remaja Kim itu membuang napas kasar.

"Hentikan sebelum kau menyesali hal ini." Jimin menepis tangan Yoenjun kasar dan membenahi letal ranselnya.

"Ku pikir ayahmu itu sangat bodoh karena menghabiskan banyak uang untuk putranya yang akan segera mati." Jimin masih tak mau mencari masalah, terutama ini pertama kalinya siswa ber nama Yeonjun itu mengusik dirinya.

"Terserah padamu." Tak memperdulikan Yeonjun, Jimin beranjak dari sana dengan langkah ringan.

"Hah... kau takut, anak payah dari seorang ayah yang bodoh, bukankahkau........" sebelum Yeonjun menyelesaikan ucapannya, rahangnya terlebih dulu mendapat pukulan dari Jimin yang membuat remaja itu tersungkur dan menghantam dinding di belakangnya.

Kedua remaja yang lain nampak panik dan berusaha membalas perbuatan Jimin. Namun, nampaknya mereka salah memilih lawan. Kemampuan takwondo Jimin tak berkurang sama sekali.

Tak perlu waktu lama, kedua remaja itu tak lagi memiliki keberanian mendekati Jimin. Untung saja sekolah masih sepi, jika tidak mungkin mereka sudah menjadi tontonan siswa yang lain.

Belum puas dengan Yeonjun, Jimin kembali mendekati remaja itu dan menarik kerah bajunya yang membuat Yeonjun berdiri. Tangan kanan Jimin mencekik leher remaja itu cukup kuat hingga sang empu kesulitan mengeluarkan suaranya.

"Kau bisa menghinaku, tapi tidak dengan ayahku. Kau mengerti?" Bisikan pelan yang Jimin berikan membuat suasana menjadi menyeramkan. Jimin bahkan tak memperdulikan smartwatchnya yang mulai mengeluarkan suara nyaring.

"Sebaiknya kau bersihkan mulutmu itu agar tak mengeluarkan bau busuk. Ataukah aku harus memberimu uang untuk itu." Cengraman Jimin pada leher Yeonjun tak berkurang sedikitpun.

"Kau pikir hanya dirimu yang mengetahui rahasiaku, sebenarnya aku tak ingin mengatakannya. Tetapi kau yang memulainya, haruskah ku tunjukkan seberapa berkuasa ayahku, hal yang mudah baginya jika hanya menggusur kedai di ujung jalan sana."

"Ah.... dan satu lagi, jika kau masih ingin hidup lebih baik menjauhlah dariku. Tapi jika kau ingin mencobanya aku dengan senang hati melayaninya." Jimin masih menatap Yeonjun tajam sembari melepaskan cengranya dan mendorong tubuh siswa itu ke tengah lorong.

Jimin beranjak setelah memungut ranselnya yang sengaja ia lepas tadi, remaja itu berjalan ringan menyusuri lorong sembari melepas benda yang melingkar di pergelangan tangannya.

Ia hanya ingin sekolah dengan tenang hari ini, bukan mencari masalah ataupun membuat kegaduhan.

Seharusnya Jimin sudah mendudukkan tubuhnya dengan nyaman di dalam kelas, jika saja Yeonjun tak melaporkan perbuatannya pagi ini pada Sera dan guru piket.

"Jadi Kim Jimin, bagaimana caramu menjelaskan mengenai ruam di leher Yeonjun." Seorang guru pria dengan kacamata yang bertengger di hidungnya menatap Jimin yang duduk di hadapannya.

"Astaga, bukankah dia terlalu melebih-lebihkan." Jimin mendengus sembari menatap Yeonjun yang juga duduk di sampingnya.

"Jawab pertanyaanku Kim!" Tegas kembali guru itu.

"Saem, dia tadi mengeluarkan bau busuk dari mulutnya. Aku hanya membantunya mengurangi bau itu." Sera yang mendengar hal itu ingin sekali membungkam mulut Jimin, bagaimana bisa ia mengucapkan hal itu begitu lancar.

"Apapun alasanmu, tak pernah dibenarkan untuk melalukan kekerasan di area sekolah. Untuk Yeonjun pergilah keruang kesehatan dan Jimin pergi ke kelasmu."

Jimin menatap geram Yeonjun selama di lorong, ingin sekali ia memberi beberapa bogeman di wajah remaja itu.

"Oy... Kim Jimin." Perhatian Jimin teralihkan begitu saja, saat mendengar panggilan dari ujung lorong.

Taehyung berada di sana sembari melambaikan tangannya ke arah Jimin.

"Mau membolos?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Jimin membuat raut wajah Taehyung berubah seketika.

"Apakah kau baru saja mengatakan ingin mengajakku membolos?" Taehyung menatap Jimin tanpa berkedip, memastikan Jika dirinya tak salah mendengar.

"Ya.... bukankah sekarang kelas olahraga? Appa tak mengijinkanku mengikutinya."

"Ei... aku akan dapat masalah jika membolos di kelas olahraga, tapi tenang saja aku akan mencari cara agar kau tetap bisa mengikuti kelas olahraga."

Jimin hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, ia tak terlalu peduli dengan apa yang akan di lakukan Taehyung setelahnya.

***
Matahari tak terlali panas karena hari masih cukup pagi, namun Jimin benar-benar sudah merasa sangat panas.

"Jimin-ah, kau baik-baik saja bukan?" Taehyung yang berteriak dari tengah lapangan bola mendapar tatapan tajam dari Jimin.

"Kurasa kau bisa melihatnya sendiri!" Sungguh Jimin rasa pura-pura pingsan adalah hal yang paling bagus.

"Hei.... Jimin akan mentraktir pemenang pertandingan hari ini." Seorang siswi yang melihat tulisan pada kertas yang dibawa Jimin berseru kencang pada para siswa di tengah lapangan.

Sial memang, black card Jimin dalam masalah saat ini.

"Kim Taehyung sialan kau!"

"Aku juga mencintaimu Jimin-ah!"

.
.
.
.
.
.
.
.
'Seharusnya aku menuruti perkataan appa dengan tidak berangkat hari ini'
-kim jimin-





Bersambung

This Is My AnpanmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang