Kolam

1.6K 217 64
                                    

Jimin, remaja 18 tahun itu tengah duduk di rooftop sembari menikmati sekotak susu strawberry yang di berikan Namjoon pagi tadi. Tak ada niat baginya untuk pergi ke kelas walau suara bel telah terdengar.

Remaja Kim itu berjalan mendekati pembatas dan mulai mengeluarkan sebuah catatan medis yang ia dapat dari ruang kerja sang ayah.

Selama ini Namjoon tak pernah mengatakan apapun tentang hasil pemeriksaan padanya.

"Pantas saja appa selalu panik." Jimin menarik senyum tipis dan kembali memasukkan benda itu kedalam saku jas almamaternya.

Helaan napas terdengar seirama dengan hembusan angin, pandangannya lurus ke depan dengan tatapan yang tak tentu.

Pintu rooftop terbuka menimbulkan derik yang cukup kencang. Jimin mengalihkan pandangannya dan menatap Sera yang baru saja tiba.

"Pelajaran sudah dimulai, sebaiknya kau pergi ke kelas." Jimin mengerutkan keningnya, bagaimana Sera bisa tau jika ia ada di sini. Namun, bahkan kedatangan Sera tak membuat senyum di bibir remaja itu terukir.

Pikiran Jimin terlampau berat untuk dapat membuat senyuman.

"Aku akan segera pergi." Jimin berjalan melalui Sera, tanpa mengucapkan apapun lagi.

Remaja itu berharap semua akan kembali seperti pada awalnya, jauh sebelum ia berharap Sera menjadi pengganti ibu di hidupnya.

***

"Appa!" Jimin melambaikan tangan saat Namjoon mencarinya di antara lalu lalang para siswa yang berhamburan keluar dari sekolah.

"Dokter Jung memintamu datang hari ini, appa akan mengantarmu ke sana." Ucapan Namjoon yang tak di balas dengan bantahan ataupun rengekan dari Jimin.

Remaja Kim itu memilih menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya.

Namjoon menatap Jimin beberapa kali di perjalanan menuju rumah sakit, apakah putranya baik-baik saja? Jimin lebih pendiam dari biasanya.

Bahkan di rumah sakit, Jimin memilih untuk segera tidur. Tanpa berucap sepatah katapun pada Namjoon maupun Hoseok.

"Hyung, apakah menurutmu Jimin nampak berbeda?" Namjoon berujar setelah meneguk kopinya. Hoseok juga tak terlalu yakin akan hal itu.

"Remaja sering mengalami perubahan emosi, Jimin pasti akan kembali seperti biasa." Pria dengan jas dokter itu melepas arloji pada pergelangan tangannya dan memasukkan benda itu kedalam saku jasnya.

"Eum..... tentang donor, apakah ada kemajuan hyung?" Tatapan Namjoon berubah, dari serius menjadi lebih seperti putus asa. Hoseok paham benar, sangat sulit mencari pendonor untuk Jimin.

Melihat lebih banyak pasien dengan kondisi lebih serius dari remaja itu, banyak dokter bedah yang mengalihkan pada pasien yang lebih membutuhkan. Walaupun kenyataannya Jimin juga membutuhkannya.

"Mianhae Namjoon-ah, sangat sulit meletakkan nama Jimin di posisi pertama penerima donor organ. Sampai saat itu, kita hanya menggantungkan pada semua obat-obatan itu. Jimin akan baik-baik saja selama ia rutin melalukan kontrol dan mengkonsumsi obatnya." Hal itu, sangat tak membantu Namjoon, rasa takut yang menghantuinya tetap sama tak ada yang berkurang sedikitpun.

"Apakah dosa besar, karena setiap saat aku berharap kematian orang lain agar putraku mendapat pendonor?" Hoseok terdiam, menatap lamat Namjoon yang tak menunjukkan sebuah kebohongan di matanya.

"Namjoon-ah....."

"Aku harus pergi ke kantor, mungkin malam nanti aku baru bisa kembali. Hyung, ku titipkan Jimin padamu." Namjoon melangkah menjauh, meniggalkan Hoseok dengan rasa sesalnya. Tak banyak yang dapat ia lalukan untuk Jimin ataupun sahabatnya itu.

This Is My AnpanmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang