Cemas

1.8K 226 18
                                    

"Bagaimana hyung? Apakah Jimin baik-baik saja?" Dengan gurat khawatir yang tak dapat disembunyikan, Namjoon menyambut Hoseok yang baru saja keluar dari ruang rawat.

"Jimin baik-baik saja untuk saat ini, hanya saja aku khawatir karena napasnya yang tak teratur. Ia juga menolak untuk menggunakan nasal canula, jadi jika Jimin mengalami sesak segera panggil kami." Namjoon mengangguk paham, tanpa menunggu lagi pria itu segera masuk kedalam ruang rawat.

Hanya tiga puluh menit Hoseok melakukan pemeriksaan, namun bagi Namjoon itu sungguh waktu yang lama.

"Apakah terasa sesak?" Baru saja kakinya menginjak ke dalam ruang rawat, namun pertanyaan sudah terlontar begitu saja dari mulut Namjoon teruntuk sang putra.

"Tidak, kurasa Dokter Jung melebih-lebihkan masalah." Jawaban yang tak terdengar serius dari Jimin membuat helaan napas panjang keluar dari mulut Namjoon.

Sera yang kini juga sudah berada di samping brankar, menarik kursi dan duduk di samping Jimin yang tengah berbaring menatap sang ayah.

Tatapan tajam Namjoon nampak menginterogasi Jimin, seakan pria itu tau semua yang di sembunyikan putra semata wayangnya itu.

Jimin yang mulai tak nyaman dengan tatapan itu, mulai merengek ke arah Sera. Mungkin saja hal ini akan membuat sang ayah berhenti mencurigainya.

"Saem, lihatlah appa. Tatapannya seakan ingin membunuhku." Sera maupun Namjoon yang mendengar itu mulai saling melempar pandangan. Keduanya bertatapan beberapa saat, sampai Sera berbalik menatap Jimin.

"Tuan Kim hanya khawatir padamu, bukankah itu hal yang wajar. Jadi berhenti membuatnya khawatir, kau mengerti?"

"Kalau begitu appa harus kembali ke kantor, jadi jangan membuat masalah. Kau mengerti Kim?" Namjoon mengusap puncak kepala Jimin sebelum memberikan kecupan disana.

"Semangat bekerja appa, bawa uang yang banyak sebelum Dokter Jung mengadopsiku." Ucapan penyangat dari sang putra yang sangat diluar perkiraan dan diatas kepandaian seorang Kim Namjoon.

"Jangan mengada-ada, appa pergi dulu." Pintu ruang rawat tertutup rapat setelah Namjoon meninggalkan ruangan. Kini hanya ada Jimin dan Sera yang hanya saling pandang.

"Istirahatlah, dengarkan ucapan Tuan Kim." Jimin menggeleng cepat, menolak perintah sang wali kelas.

"Aku sudah bosan tidur dan berbaring setiap hari."

"Jadi apakah kau ingin belajar sekarang." Lagi-lagi Jimin menggeleng, tatapannya tertuju pada Sera yang berada di sampingnya.

Sejenak Jimin menarik napas, sebelum ia memberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan.

"Bolehkan aku bertanya beberapa hal Saem?" Berbeda dengan Jimin yang nampak ragu, Sera menganggukkan kepalanya pasti.

"Saem, menurut anda mengapa orang-orang mengatakan jika banyak orang baik yang meninggal terlebih dulu?" Pertanyaan Jimin yang berhasil membuat Sera mengernyit.

"Orang tuaku sudah tiada saat usiaku tujuh tahun, saat itu nenek mengatakan padaku jika mereka harus pergi karena dunia tak lagi pantas untuk mereka yang berhati baik." Sera menarik senyum, mengingat bagaimana neneknya bercerita jika siapapun yang sudah tiada akan menghiasi langit sebagai bintang.

"Jadi anda percaya hal itu Saem?"

"Eum... saat itu aku percaya, setiap malam aku akan menatap langit berharap dapat melihat kedua orang tuaku. Tapi kurasa itu bukan karena mereka orang baik ataupun buruk, namun aku lebih percaya jika itu memang sudah takdir untukku."

Jimin memgangguk paham, mencoba mencerna semua perkataan Sera di kepala dengan otak ajaib itu. Sampai senyuman Jimin membuat Sera menatap siswanya itu.

"Mengapa kau tersenyum seperti itu?"

"Ah.... begini, dari kesimpulan yang berhasil kubuat. Kurasa aku tak akan tiada dalam waktu dekat, karena banyak dosa yang kubuat pada Dokter Jung. Jadi sudah takdirku untuk menebusnya." Kesimpulan tak masuk akal Jimin yang disertai kikikan dari remaja itu membuat Sera membulatkan matanya.

"Jangan bicara sembarangan, Tuan Kim begitu menyayangimu. Satu hal yang ku yakin pasti, Tuan Kim tak akan membiarkan sesuatu yang buruk menimpa putranya." Jimin benar-benar tersentuh dengan ucapan Sera. Hingga suara Hoseok membuat situasi menjadi menyebalkan bagi Jimin.

"Sudah tau banyak salah, tapi mengapa masih menambahnya?" Hoseok meletakkan semangkuk sup ayam di atas meja samping brankar, Jimin menatap sup itu dengan mata berbinar. Nampaknya ia tak lagi peduli dengan sindiran halus Hoseok.

"Woah.... Dokter Jung memang yang terbaik." Hoseok menepis tangan Jimin yang akan menyentuh mangkuk. Tatapannya berubah tajam mengarah pada Jimin.

"Wae?"

"Biarkan aku memasang nasal cannula, wajahmu pucat dan itu bukan hal yang bagus. Wajahmu itu sudah jelek, nampak makin mengerikan saat pucat seperti itu." Jimin hanya pasrah kali ini, membiarkan Hoseok melakukan tugasnya. Hinaan yang sangat tepat sasaran membuat Jimin memajukan bibirnya.

Sera sedikit menyingkir memberi ruang leluasa untuk Hoseok.

"Apa ada masalah?" Pintu ruang rawat terbuka, membuat Jimin menarik cepat tangannya yang ingin meraih mangkuk sup.

"Astaga appa kau membuatku terkejut." Ujar Jimin sembari menatap sang ayah yang tengah berdiri di ambang pintu ruang rawat.

Tak hanya sampai disitu, Hoseok kembali dibuat terkejut karena suara nyaring yang ditimbulkan oleh mesin EKG.

Tak hanya Hoseok, namun Namjoon, Sera dan Jimin juga menatap layar monitor yang menunjukkan garis lurus disana.

"Apakah aku sudah mati?" Jimin dengan mata polosnya menatap Hoseok yang masih terpaku di tempatnya.

"Wah.... dimana malaikat mautnya?" Lanjut Jimin sembari mengedarkan pandangannya mengikuti langkah Hoseok.

"Jangan mengada-ada, bahkan iblispun enggan mendekatimu apalagi malaikat maut." Hoseok berjalan mengitari brankar, memegang tangan kiri remaja itu dan kembali memasangkan pulse oximeter yang terlepas dari jari Jimin.

"Aku hanya bertanya." Tatapan Jimin masih terpaku pada Hoseok, dokter muda itu sibuk membenarkan selang infus di punggung tangan pasiennya.

Namjoon menghela napas lega, sedikit menarik senyum tipis di bibirnya sembari menatap sang putra.

"Jangan banyak bergerak, atau ku ikat kau di sini." Hoseok beranjak setelah selesai dengan kegiatannya, menarik lengan Namjoon cepat agar pria itu mengikuti langkahnya.

"Semua baik-baik saja bukan?" Pertanyaan Namjoon membuat Hoseok menghela napas.

"Astaga, sudah berapa kali kau menanyakan hal itu hari ini." Hening, beberapa saat. Namjoon hanya tertunduk mendengar ucapan Hosoek.

"Eum... aku ingin menyampaikan kabar yang cukup bagus." Ucapan Hoseok membuat Pria Kim itu mengangkat kepalanya, menatap Hoseok penuh harap akan hal yang akan dispaikan.

"Apa itu?"

"Beberapa hari lalu ada seorang remaja korban kecelakan, dia mengalami mati otak dan orang tuanya berencana akan mendonorkan organ putranya itu." Mata Namjoon berbinar, namun hal itu tak berlangsung lama.

"Mengapa aku merasa seperti orang jahat, bagaimana bisa aku merasa bahagia saat orang lain akan kehilangan putra mereka." Hoseok mengerti benar perasaan Namjoon, ia sendiri juga tak tau harus mengatakan apa lagi.

"Jadi untuk besok, aku akan melakukan beberapa tes pada Jimin. Semoga saja jantung itu cocok padanya."

Namjoon beranjak, menjauhkan tubuhnya dari hadapan Hoseok. Ia memilih mendukkan tubuhnya di salah satu kursi tunggu.

"Tapi Namjoon-ah, bukankah kau berencana pergi ke kantor?"

"Ah..... itu, aku merasa tak enak untuk meninggalkan Jimin hari ini. Mungkin untuk beberapa hari, aku tak akan mengambil cuti."

"Namjoon-ah, semua akan baik-baik saja."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Aku tak ingin hal lain, selain putraku."
Kim namjoon








Bersambung........

This Is My AnpanmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang