Origami

1.2K 199 36
                                    

Toko perlengkapan sekolah yang paling sering dikunjungi pada tahun ajaran baru, banyak hal menarik disana seperti contohnya saja seorang siswa tengah sibuk memilih origami di salah satu rak. Ia sepertinya sudah berdiri di sana sekitar lima menit, namun belum mengambil keputusan. Hingga seseorang datang dari arah belakang menarik salah satu paket origami.

"Oh, Haejun apa yang kau lakukan disini?" remaja yang berdiri di depan rak itu menatap seseorang di belakangnya.

"Buku harianku habis, paman mengantarku untuk membeli yang baru. Kau sendiri mengapa butuh waktu sangat lama untuk memilih origami?" Jimin si remaja yang memakan waktu di depan rak hanya untuk memilih kertas berwarnya itu menggaruk tengguknya.

"Hanya tak tau harus ku ambil yang mana, mau ku traktir? anggap saja ucapan terimakasih karena membantuku memilih origami." Jimin membenahi letak ranselnya dan menarik lengan Haejun pelan penuju kasir.

Pada awalnya Haejun menolak niat baik Pemuda Kim itu, sampai Jimin memberanikan diri meminta ijin pada paman Haejun yang menunggunya di luar. Setelah mendapat beberapa peringatan tentang makanan, keduanya kini menuju kafe yang tak jauh dari sana. Jimin kali ini membawa sepeda motornya, bukankah itu cukup aneh ketika sang ayah yang biasanya begitu cerewet mengijinkannya membawa sepeda motor kali ini.

Kafe tak cukup ramai dan membuat keduanya mudah mencari kursi kosong, Jimin sesekali melirik Haejun yang nampak kesulita menelan makanannya. Rasa cemas mulai menghantui Jimin, dengan penuh hati-hati Jimin mendekatkan tubuhnya.

"Perlu sesuatu yang lain?"

"Tidak perlu, ini hal biasa saat aku mulai makan. Akan baik-baik saja setelah suapan kedua." Jimin mengangguk, ia tak begitu paham tentang hal itu, ia memang pernah merasa mual saat makan, namun bukan karena efek penyakitnya hanya karena ia merasa tak selera.

"Eum.... aku membeca beberapa buku, dan sepertinya pendonor tak harus orang yang sudah tiada." Pertanyaan itu membuat Haejun mengangkat kepalanya menatap Jimin.

"Kau benar, tapi aku tak punya siapapun untuk itu. Kau beruntung memiliki seorang ayah yang begitu perhatian." Suasana yang tiba-tiba berubah, membuat Jimin menyesali pertanyaannya. Ia tak bermaksud melukai perasaan Haejun.

"Maksudku bukan seperti itu, maaf jika itu menyinggungmu."

"Santai saja Jimin-ah, aku baik-baik saja. Aku juga jarang kambuh beberapa hari ini, itu sebabnya paman mengijinkanku untuk keluar hari ini." Jimin mengangguk singkat, memang mencari alasan untuk keluar dari rumah sakit begitu sulit.

"Tapi, aku tak menyangka jika pamanmu adalah seorang dokter, itu sangat keren." Haejun tersenyum kecil ketika Jimin mengacungkan ibu jarinya.

Hal yang benar-benar jarang terjadi di hidup Haejun, mungkin ia akan menulis hal indah di halaman pertama buku hariannya.

"Apakah kau ada tugas sekolah dengan origami itu? Mau ku bantu?" Jimin menggeleng singkat, tak ada urusan sekolah dengan origami yang ia beli.

"Tidak ada, aku hanya ingin menyelesaikan koleksi burung kertasku."

"Kau mengoleksinya? seberapa banyak itu?" Haejun mulai penasaran dengan hal itu, mengapa ia tak pernah tau Jimin membuat burung-burung kertas itu sebelumnya.

"Kurasa sekitar 900 buah, apakah itu terlalu sedikit untuk dibilang koleksi?" Hal itu membuat Haejun mengedipkan mata beberapa kali, ia tak percaya jika Jimin membuat semua itu seorang diri.

"Kau membuat itu sendirian?"

"Awalnya aku membuatnya bersama teman sekamarku di rumah sakit, kurasa usiaku 7 tahun saat itu. Kami membuatnya setiap hari selama 6 tahun, dan terkadang kami menulis beberapa kata di dalam origami." Jimin berujar sembari memainkan kunci gelas coklat hangat di hadapannya.

This Is My AnpanmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang