Hampir Ketahuan

126 15 2
                                    

"Kak, Kak Aidar tunggu disini aja ya,"

Kali ini, sesuai permintaan Asa. Aidar mengantarkan ke pemakaman orang tuanya. Semburat jingga membuat langit sore cukup cerah. Tidak seperti biasa, yang menampilkan mendung. Asa meminta pada Aidar untuk menunggu di gapura. Sekalian menjaga motor mereka. Aidar hanya mengangguk menanggapi. Namun, bukan Aidar namanya jika tidak menguntit Asa dibelakangnya.

Berjalan santai seraya menenteng bunga, Asa menatap segerumbul awan putih. Mendongak keatas menahan air mata. Semenjak Mama Nur tiada, baru kali ini Asa datang lagi ke makam. Ia masih kecewa dengan kepergian Ayah yang mendadak. Kecelakaan tragis itu membuat Asa tanpa sadar menangis. Bahkan sampai saat ini, pelakunya belum juga mendapat balasan. Asa berharap, orang itu akan dihukum seberat beratnya.

"Ayah, Asa datang lagi," Asa meletakkan sepaket bunga mawar putih diatas gundukan tanah sang Ayah. Mengusap lembut batu nisan yang mulai berlumut. Bulir bening itu membasahi pipi cantik Asa. Turun mengalir mengenai bunga itu. "Maafin Asa, sampai saat ini. Asa belum menemukan pelakunya, ayah,"

"Ayah tahu, Asa kangen banget sama Ayah. Kangen main sama Ayah, ngerecokin Mama masak. Kangen segalanya tentang Ayah. Andai, Asa bisa memutar waktu,"

Gadis berlesung pipi menangis sesegukan. Suasana di pemakaman lumayan sepi. Orang yang belalu lalang bisa dihitung jari. Asa merengkuh nisan Ayah. Membayangkan, jikalau ia sedang memeluknya. Mata elang Ayah, kulit sedikit coklat, badan tegapnya terlintas dibenak Asa. Tentang pengorbanan, ketulusan, dan cinta yang diberikan seorang Ayah kepada putri kecilnya.

"Asa janji Yah! Asa akan cari tau siapa pelakunya. Asa masih tidak terima. Dan Asa mau, orang itu akan menerima balasan yang setimpal. Atau Ayah mau? Nyawa dibalas nyawa? Asa akan lakuin itu jika Ayah mau,"

Ia meremas kasar gundukan tanah, nafas Asa memburu. Mengingat Ayah berlumur darah ditengah jalan raya. Bagaimana Asa menangis tak karuan, berteriak meminta tolong. Bahkan, saat itu pelaku kecelakaan Ayah. Berlalu pergi tanpa menghiraukan Ayah yang sedang sekarat.

Disatu sisi, Aidar berusaha mengontrol keterkejutan. Kalimat yang diucapkan Asa serasa bom yang ditujukan kepada keluarga Aidar.

Nyawa dibalas nyawa.

Apakah tega, Asa memerlakukan itu kepadanya? Tapi ia tidak pernah main main dengan ucapan. Aidar baru mengerti.  Asa periang itu, ternyata seorang pendendam. Wajar jika begitu, kekecewaan Asa terlalu dalam hingga menembus relung hati.

❤❤❤

Selepas itu, Asa menarik Aidar untuk mengajaknya jalan jalan. Bercengkerama ria mengingat kenakalan Aidar dimasa lalu. Mereka yang dipertemukan sebagai partner les. Hingga semesta menyatukan mereka sebagai suami istri. Asa terkekeh sepanjang perjalanan. Motornya mereka titipkan diparkiran.

Rambut Asa tergerai dengan indah. Ikut menari mengikuti alunan angin senja. Aidar menoleh, terpaku dengan tawa renyah dari Asa. Bulu mata lentik terayun apik saat berkedip. Bibir pink tipis yang terus mengoceh. Aidar bersyukur dalam hati, hubungannya dengan Jelita sudah kandas. Sekarang, tinggal menyingkirkan Nevan. Dan dia akan bahagia selamanya bersama Asa.

Jengah dengan ocehan sang istri, Aidar mengapit tangan Asa. Menggenggam erat, ditampilkannya senyuman lebar. Asa tersentak, menatap dalam netra coklat Aidar. Beralih memandang tangannya yang terasa hangat. Dalam hati timbul pertanyaan, apakah Aidar mulai mencintainya lagi?

"Istri gue kecil, nanti diculik om om," ucap Aidar memahami raut Asa.

Asa mendengkus, melengos menghadap depan. Disamping kiri banyak jajanan yang disuguhkan. Lalu lalang orang cukup ramai. Maklum, weekend kali ini cukup cerah. Muda mudi mengambil kesempatan untuk jalan jalan  bersama pasangannya. Termasuk juga, Asa dan Aidar."Gak doyan gue sama om om," balas sengit Asa.

"Kalo sama gue, doyan gak?" Aidar menaikkan alis menantang, berniat menggoda Asa.

"Doyan," jawab Asa cepat.

Dan lima detik kemudian..

"Eh, Asa gak doyan sama kak Aidar,"

Aidar tersenyum menang, rupanya sang istri itu keceplosan. Ia melepas genggaman, mendekat pada wajah Asa yang sudah merah padam. Menjawil pipi gembul Asa. "Halah, ngaku aja sama gue. Aslinya lo doyan kan? Kalo nggak, gak mungkin kita nikah,"

"Iya in aja lah biar cepet," jawab Asa pasrah.

Mereka kembali menikmati jalanan. Aidar tak kalah, ia merengkuh pinggang Asa. Mengabaikan tatapan tajam para pengunjung. Asa sempat terlonjak kaget, merintih minta dilepas. Tapi tetap saja, suami angkuh itu tidak mau melepaskan. Sedetik setelahnya, Asa membiarkan Aidar. Membuang jauh jauh rasa malu. Rentetan jajan membuat perut Asa meraung, sempat meminta kepada Aidar. Namun, ia berkata tidak baik untuk kesehatan. Alhasil, Asa hanya bisa menelan ludah.

"Eh, Asa!" Asa menghempas tangan Aidar, raut terkejit ia tampilkan. Panggilan itu terngiang digendang telinga Asa. Terlebih, itu suara Risma. Yang notabene adalah sahabatnya. Ia takut semisal Risma tahu tentang pernikahannya.

"Ri Risma," sapa balik Asa bernada gugup.

Risma meneliti Asa dari bawah hingga atas. Bola matanya membesar. Menelisik salah satu sahabatnya ini. "Loh, kok lo sama Kak Aidar? Bukannya udah putus ya Sa? Lo balikan lagi?"

Banyaknya pertanyaan yang Risma ajukan semakin membuat Asa kelabakan. Menautkan antara satu jari ke jari lain. Menatap melas kearah Aidar. Suami jambul cetar itu mesam mesem tak jelas. Memasukkan kedua tangan ke kantong celana samping. Memperhatikan Risma dan Asa tenang. "Eh, anu Ris. Itu tadi gue,"

"Lo kenapa?" Risma kembali melontarkan pertanyaan yang membuat Asa gemetar ketakutan.

Saat ingin menjawab Risma, tak sengaja Nevan bergabung antara mereka. Bibir Asa yang ingin membeo, ia tutup rapat. Berpikir senang, untuk jadikan Nevan alasan. Lelaki itu menautkan alis risih ketika pandangan Asa mengarah. Jaket merah maroon dan celana jeans menghipnotis netra Asa. Seakan lupa dengan Aidar, sang suami.  Rambut belah tengah Nevan, kulit putih bersih, serta hidung mancungnya membuat Asa gemas. Aidar melihat itupun, serasa gerah seketika.

"Ini, gue tadi sama Nevan ke sini. Ya kan Van?" Asa bergerak maju mendekati Nevan. Langsung menyambar lengan Nevan dengan cepat. Mengaitkan jari mereka bersama. Laki laki itu mematung, melihat tingkah Asa hari ini. Kesambet apa gadis ini? Pikirnya.

"Ini Ris, gue tadi jalan jalan sama Nevan. Terus Nevan ijin ke toilet, eh ketemu sama Kak Aidar disini," jawab Asa tertawa sumbang.

"Loh Sa, gue kan baru-"

Belum tuntas Nevan bicara, Asa segera membungkam mulut Nevan dengan tangannya. Mengkode Nevan agar tak buku suara. Melotot garang sampai mencubit lengan belakang. "Ihh, iya! Kita kan baru aja jalan jalan. Nanti dilanjut lagi kok Van. Tenang aja,"

Nevan merintih lirih atas cubitan Asa. Diam selepas Asa berbicara demikian. Baru sadar apa maksudnya. Risma pun hanya mengangguk paham tanpa ada keraguan. Namun, beda lagi dengan Aidar. Ia tengah menetralkan amarah. Naik darah karena polah sang istri. Mengepal tangan kuat hingga otot tercetak jelas. Membelalakkan mata ketika Asa dengan lancang meraih tangan Nevan dan menggenggam.

"Asa! Tunggu hukuman dari gue," lirihnya.

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang