Cintai Aku!

136 16 1
                                    

Aidar membuang foto fotonya dengan Jelita. Mengumpulkan barang pemberian lalu dilempar ke tong sampah. Ia tidak sungguhan mencintai Jelita, saat itu Aidar butuh pelampiasan. Terpukul karna memutuskan Asa. Membuka nakas, Aidar mengontak atik isinya. Melempar asal hingga berceceran dilantai. Ia benar benar merasa bodoh, Aidar tega menyimpan kenangannya bersama Jelita. Padahal, kini Asa telah menjadi istri sah.

"Astagaa kak Aidar!" Pekik Asa dari arah pintu. Asa menuding Aidar, menepuk dahi frustasi. Bagaimana tidak? Kamar mereka sudah tidak berwujud kamar. Barang berserakan dimana mana. Buku buku lari dari tempatnya.

"Apaan sih Sa?!"

"Itu kenapa pada dikeluarin? Itu juga, poto poto kenapa dibuangin?" Tanyanya bertubi tubi.

Laki laki berjambul cetar membanting boneka beruang. Menoleh ke Asa dengan wajah tak suka. "Gue udah putus dari Jelita." Lirih Aidar.

Apa?! Putus? Asa membeku. Hatinya menghangat dibuatnya. Pernyataan dari sang suami, Asa jadikan sebagai hadiah terindah. Yang ia cita citakan terwujud. Asa tersenyum lebar. Mendekati nya, mata Aidar ia kunci. Dan...

Cupp

Aidar tak kalah kaget dengan Asa. Kecupan itu, hangat!. Baru ia rasakan, jadi begini. Rasanya dikecup oleh istri sendiri. Lebih nikmat dari apapun itu. Asa terkekeh melihat pipi merah Aidar. "Kak." Panggil pelan Asa.

"Ya?"

Mereka duduk bersisihan, menyingkirkan barang barang Aidar. Asa kelewat girang, meraih pipi suaminya. Ia memandang dalam wajah Aidar. Kulit putih, hidungnya yang mancung, dan sedikit jerawat di dahi. Asa takjub dengan Aidar. Namun sayang, suaminya itu kalau tidur suka ngorok. "Cintai Asa kak!" Pintanya.

"Gue emang cinta sama lo Asa."

"Tapi, kenapa dulu kakak mutusin Asa?"

Aidar meraih tangan Asa yang ada dipipinya. Mengusap lembut, dan mengecup pelan. Pandangan mereka bertemu.  "Karena taruhan." Singkat Aidar.

"HA? TARUHAN?!" Teriak Asa. Ia menepis tangan Aidar. Menatap nyalang sang suami. Perempuan macam apa Asa, yang bisa bisanya dijadikan Aidar bahan taruhan.

"Kok bisa?" Lirihnya.

"Lo akan tau alasan gue nanti Asa. Ini bukan seperti yang lo kira. Percaya sama gue." Ucap Aidar. Ia bangkit, jongkok dihadapan Asa.

"Asa kangen ayah."

Tiba tiba saja, Asa teringat ayah. Menghiraukan permintaan Aidar. Jujur, batinnya sakit. Taruhan apa? Ia merasa harga dirinya turun begitu saja. Pasti, ia dicemooh. Jika semua teman mengetahui itu. Aidar menghela nafas panjang. Kembali mendekap tubuh mungil Asa. Mengusap lembut punggungnya. Menghirup aroma lavender ditubuh sang istri. Andai saja, Asa tau masa lalu keluarga Aidar. Bisa dipastikan Asa akan marah besar kepadanya. Terlebih kesalahan mereka terlampau fatal.

"Ya. Besok kita ke makam Papa."

❤❤❤

Malam ini, pemain sepak bola kebanggan Papa Wirama main. Beliau duduk anteng didepan tv. Tak lupa sang istri turut menemani. Aneka camilan tersaji apik, kopi panas menyemarakkan. Siaran belum dimulai, tapi semangat Wirama sudah menggebu gebu. Mengetuk sandaran sofa.

Jenuh menunggu, ia menengok ke Rini. Istrinya asyik bermain hp. Cekikikan hingga menutup mulutnya. Wirama menghela nafas. Kembali teringat, tanda lahir Nevan yang mirip anak pertama Wirama. "Mah," panggilnya.

"Ya pah?" Jawab Rini. Pandangan Rini masih fokus pada Hp.

"Alvaro sekarang pasti udah besar ya ma," Wirama melamun, membayangkan betapa serunya rumah ini.

Rini tersentak, ia meletakkan hp pelan. Menatap kosong kopi susu miliknya. Diam merenungi kesalahan, lagi lagi dia menyesal akan perbuatannya. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua telah sirna dan tidak mungkin akan kembali. "Iya, pasti dia sudah besar. Satu tingkat diatas Aidar," lirihnya.

"Papa liat tanda lahir yang persis dengan Alvaro ma," ucap Wirama mendekat pada Rini. Merengkuh pinggang erat.

"Dimana pa," desak Rini.

Wirama mengusap lembut lengan sang istri. Tersenyum tulus kepadanya. "Di tangan Nevan,"

Wanita paruh baya menggeser tubuh menjauh dari Wirama. Menaikkan alis seraya membeo. Rini mengangkat tangan kekanan kiri. Tidak setuju dengan pendapat suami. "Nggak mungkin pa,"

"Tapi papa liat sendiri ma!" sentak Wirama tak kalah sengit.

"Alvaro udah tenang disana," tutur Rini.

Ia sesegukan, menundukkan kepala dalam. Tidak ada satu pun seorang ibu. Yang rela anaknya pergi dari sisinya. Jiwa keibuan Rini mencuat. Semakin tersiksa atas kesalahan masa silam. Menggerutuki kebodohan diri. Sifat egois Rini kala itu belum bisa terkontrol baik. Berani menanam, maka berani juga memanennya.

"Nggak ma! Anak kita masih hidup. Papa tau itu. Hanya saja kita tidak mau berusaha lagi mencarinya," teriak suami.

"Kita sudah berusaha semaksimal mungkin," lirih Rini dibawah tangisannya.

"Itu dulu, ma! Ayo kita coba lagi cari anak kita. Mama nggak kangen?" ucapan Wirama melemah, ia meraih remot tv dan mengganti channel.

"Aidar punya abang pah, mah?" Teriak anak laki laki berjambul cetar dari tangga.

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang