Kekecewaan Aidar

106 9 1
                                    

Batin Asa bergejolak, memandang jam dinding sudah menunjuk pukul sembilan. Namun suaminya tak kunjung datang. Pesan singkat dan panggilan berkali kali Asa tekan. Sampai suara operator yang menyahutnya. Gadis piyama hello kitty merebahkan tubuh kesofa, sejenak menyejukkan pikirannya yang kalut. Kenapa Aidar belum juga pulang? Apakah ada sesuatu hingga menghambat jalan? Asa ingin menelpon para teman Aidar. Tapi pulsanya sudah habis tak tersisa.

Asa menggigit jari gelisah, bangkit kembali menuju pintu. Mama Rini dan papa Wirama sedang tak ada dirumah. Beliau ijin sebentar memenuhi acara diluar. Asa memegang gagang pintu berwarna emas. Mengusap perlahan berharap sang suami segera pulang. Ia menghela
nafas sebantar, dan duduk termenung disofa.

BRAKK

Ia tersentak dengan dobrakan pintu. Hati Asa menghangat melihat Aidar yang membukakan pintu . Ia berdiri menghampiri suami, senyum Asa merekah. Tanpa terduga, Aidar meraih kasar tangan Asa. Menyeret gadis berlesung pipit dengan cepat. Kilatan cahaya merah nampak disekitar tubuh Aidar. Guratan emosi menghiasi wajah. Asa tercengang, mengerang sakit minta dilepaskan. Ia berusaha melepaskan, tetapi genggaman Aidar terlalu kuat. Alhasil, Asa hanya pasrah diseret Aidar bagai hewan peliharaan.

Sampai dikamar, Aidar dengan tega menghempaskan tubuh mungil Asa diatas kasur. Punggung Asa sedikit sakit, ia menatap dalam ke Aidar. Kerlingan tajam Aidar ia layangkan pada Asa. Deru nafas terdengar menakutkan.

"Sejak kenal Nevan, lo makin gak tau diri ya Sa?!"

Asa menautkan alis bingung. Belingsatan menjawab Aidar. Lagi lagi, ia bertanya pada dirinya sendiri. Ada apa Aidar hari ini?. "Maksud kakak? Jujur Asa nggak paham," tanyanya.

"Lo tertekan nikah sama gue?" tanya balik Aidar.

Ia semakin tak paham atas lontaran Aidar. Asa menegakkan tubuh dari ranjang dan segera meraih lengan kokoh Aidar. Tetapi, lelaki berjambul cetar memalingkan muka. "Demi apapun kak, Asa ikhlas lahir batin nikah sama kak Aidar,"

Aidar yang menghadap cermin itu berdecih lirih. Seolah perkataan Asa adalah dusta belaka. Tetap pada posisi, Aidar berteriak menusuk afeksi Asa.

"KALO IKHLAS, NGAPAIN LO KETEMPAT HARAM ITU? HAH?!"

Asa perlahan melepas cengkeraman. Mengerang pelan dan tertunduk dalam. "Kak?" lirih Asa.

Pandangan Aidar tertuju pada Asa. Gadis dengan geraian rambut panjang tak berani membalasnya. Rintihan lirih itu tidak menjadikan amarah Aidar turun. Kekecewaannya kali ini teramat menghujam hati.

"GUE KURANG APA SAMA LO, ASA?!"

Asa semakin menangis. Menggelengkan kepala cepat, baru mengerti apa yang dimaksud sang suami. Fitnah dari Jelita tadi pagi rupanya. Ia tidak habis pikir, Aidar benar benar termakan lisan busuk Jelita. "Kak, itu bukan gue. Tolong, percaya sama Asa kak,"

Rahang Aidar menukik intens. Ia mendekati Asa dengan gelora kemurkaan. Menarik beringas tangannya, lalu kembali berseru. Hingga Asa memejamkan mata mendengar jeritan maut.

"DIFOTO ITU UDAH JELAS SA!"

Luruh sudah kesabaran Asa, tangisan tak jua menggetarkan lubuk terdalam sang suami. Kebungkamannya ternyata hanya menambah luka. Asa memberanikan diri menyentak Aidar. Memohon maaf sebelumnya dalam hati.

"TAPI ITU BUKAN ASA KAK! SEMUA ORANG UDAH NGGAK PERCAYA SAMA ASA, KAK AIDAR SEBAGAI SUAMI. HARUSNYA PERCAYA SAMA ISTRI,"

Aidar membatu atas pekikan Asa. Lambat waktu hatinya mencelos. Tampang sang istri yang begitu letih. Ujung mata Asa kian mengalir deras air mata. Bibirnya bergetar menahan isakan. Dilihatnya lagi, Asa perlahan menurunkan tubuh. Tangannya mencapai ujung jempol kaki Aidar. Lelaki berjambul cetar tak bergeming. Terus memandangi Asa seakan tidak mau tahu dengan perbuatannya.

"Apa perlu, Asa bersujud dikaki Kak Aidar? Agar kakak bisa percaya dengan Asa,"

"JANGAN BODOH ASA! DENGAN BEGITU, SAMA AJA LO JATUHIN HARGA DIRI LO SENDIRI," jawab Aidar berteriak. Ujung tenggorokannya serasa sakit saking lama berkoar.

"KAK! SEMUA KALIMAT YANG ASA UCAP SEAKAN GAK ADA ARTINYA. KAK AIDAR NGGAK AKAN PERCAYA SAMA ASA. Bahkan semua orang menjauhi karena fitnah kejam itu," balas Asa memelankan diakhir ucapan.

"Aidar, Asa! Jangan teriak teriak. Sudah malam, bertengkarnya dilanjut besok. Malu didengerin tetangga,"

Mereka seketika bungkam. Sorakan Mama Rini ada benarnya. Aidar yang semula menatap sengit Asa, perlahan mengatupkan mata. Dan Asa yang berniat ingin berseru, kembali diam seribu bahasa. Aidar menjarah kunci motor diatas nakas, pergi dari hadapan Asa.

"Kak? Mau kemana? Kak Aidar belum belajar. Besok kan udah mulai ujian," ucap Asa.

Nyatanya, Aidar lulus sebentar lagi. Hanya hitungan hari suami Asa akan mendapatkan ijazah SMA. Terasa singkat mungkin, pernikahan keduanya pun sudah berlangsung hampir satu tahun. Dan mereka isi dengan kecemburuan satu sama lain.

"Kemana aja, otak gue mendidih liat kelakuan lo," hujam Aidar.

❤❤❤

Sesudah Aidar melenggang pergi, Asa mengamati pintu dengan sendu. Jari jarinya bergetar dengan hebat, bulir bening mulai menapaki pipi mulus Asa. Sekarang, apa yang diharapkan lagi? Satu satunya orang yang Asa jadikan tempat bersandar. Malah tidak percaya oleh ucapannya. Ia menyesal, seharusnya tadi. Kala Asa beradu mulut dengan Aidar. Ia katakan saja siapa yang memfitnah.

"Kata orang, kita tidak boleh mengeluh pada takdir. Namun, dengan adanya tragedi ini. Apakah gue juga nggak boleh ngeluh? Tuhan! Asa capek,"

Asa merebahkan tubuhnya yang penat. Hening, menikmati sejuk AC dikamar. Perhatiannya kosong, mengingat teriakan Aidar tadi. Yang sampai sekarang masih membekas ditelinga. Aidar sudah pergi lagi, meninggalkan Asa sendirian disini. Entah apa yang dilakukan Aidar diluar sana. Asa hanya bisa berdoa, semoga dia baik baik saja.

Tingg!

Ia terpekik dengan nada notifikasi Hp. Membuyarkan lamunan yang tidak pasti. Asa meraba sekitar, mencari keberadaan teman sejatinya.

Kulkas 40 pintu,
Lo pasti kuat, semangat!!

Senyum Asa mengembang, Nevan selalu bisa membuat hati Asa sedikit lega. Iya! Asa kuat, Asa bisa. Semangat untuk Asa.

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang