SADAR?!!

128 10 1
                                    

Wajah Asa yang kusut mulai tersapu oleh air mata. Menyangga tiang infus dan menatap haru tiada henti kala Aidar sudi membuka mata. Pengharapan selama ini akhirnya tidak kecewa lagi. Merosot ke bawah sujud syukur pada yang kuasa. Sungguh, jika boleh berteriak. Sekarang juga Asa siap.

Bibir pucat Aidar perlahan bergerak seirama dengan pelafalan kata. Entah apa yang ia katakan, namun Asa benar benar lega. Tangannya terulur meraih surai rambut Asa yang hitam legam. Tersenyum tulus lantas mendekatkan tubuh Asa. Semakin dekat pada dahi Asa, lelaki itu tetap menunjukkan senyum bahagia.

Cupp

"Kak Aidar?" Asa tak beranjak satu centi pun dari posisi. Ia diam menikmati kecupan hangat yang Aidar persembahkan hanya untuknya. Bait bait doa Asa lontarkan dari lubuk terdalamnya selama ini. Hari dan detik ini, Tuhan sungguh mengabulkannya.

"Jangan pergi Sa," tangan Aidar mulai bergetar hebat pada bahu sang istri. Desahan kesakitan terdengar di indera pendengaran Asa. Dengan sigap, ia mendekap lembut tubuh Aidar. Membelai setiap pola wajah tampan itu.

"Kakak tau? Sampai kapanpun, Asa tidak akan pergi dari sisi Kak Aidar. Asa akan disini bersama kakak,"

Aidar merapatkan tubuhnya pada Asa. Diam diam meneteskan air mata. Pelupuk disamping kanan mengalir basah hingga turun ke bawah. Mengenai bantal Rumah Sakit dan jari telunjuk Asa. Perempuan berbadan dua itu tersentak dengan tetesan basah itu. Menarik pandang dan menelisik iris telaga Aidar dengan dalam.

"Jaga buah hati kita Sa. Sampai bertemu dititik terbaik menurut takdir. Jaga juga dirimu baik baik. Semoga kita dapat bersama sama di sana nanti,"

Suara berat Aidar terdengar parau. Desisan pasrah kian memekakkan Asa. Hembusan nafas cepat Aidar semakin membuat Asa ketakutan. Tangannya mengepal, bahkan guratan otot tercetak jelas. Asa kali ini sungguh terasa diambang pasrah. Mata sang suami perlahan mulai tertutup. Perempuan berbaju lusuh itu memulai tangisnya kembali. Meneriaki Aidar dengan tragis.

"KAK AIDARR?!!!!"

"JANGAN BERCANDA SAMA ASA KAK!!"

Bahkan jeritan Asa tidak dipedulikan lagi oleh Aidar. Namun anehnya, senyum khas yang sedari dulu Aidar tunjukkan. Tetap terarah pada Asa. Tak lama kemudian, tetesan infus ditangan Aidar terhenti. Decitan ranjang rawatnya perlahan tak lagi bersuara. Kemudian, monitor itu...

Titttt

Titttt Titttttt

"KAK AIDARRR!!! HIKSS,"

Tumpah sudah tangis yang Asa pendam. Kenyataan pahit kembali ia telan. Satu persatu ancaman itu muncul, lalu ditarik dan dihantam menuju Asa. Sekuat tenaga ia terima, tapi rasanya saat ini Asa ingin menyerah saja. Aidar menutup matanya dengan sempurna. Monitor terus menunjukkan suara nyaring yang tembus hingga relung hati Asa. Tubuh Aidar terbujur kaku diatas ranjang. Mulutnya sedikit terbuka dan pipi Aidar yang semakin tirus.

"KAK AIDAR! BUKA MATAMU KAK!!! ASA ADA SINI, DISAMPING KAKAK. DAN DIPERUT ASA SEKARANG, JUGA ADA SEBONGKAH KEHIDUPAN KAK!!!! JANGAN TINGGALIN ASA SENDIRIAN,"

Bunyi langkah cepat di depan ruangan makin dekat pada Asa. Menghiraukan tatapan aneh di sekitarnya. Firasat seorang Rini tetap saja mengganjal. Angannya terus saja tertuju pada Aidar. Raut Rini, Wirama, dan Nevan tidak bisa dijabarkan secara rinci. Tapi yang pasti, ikatan keluarga mereka menyatu inti.

"A-Aidar?"

Lemas sudah kaki sang ibu, Rini meluruh hingga nyaris pingsan. Nevan yang berada disamping, menopang tubuh beliau dan menuntunnya disofa dalam. Wirama seakan tak bisa berkutik lagi, Asa meronta ronta mendorong pembatas ranjang Aidar. Menarik rambut panjangnya beringas. Berkoar koar memanggil nama Aidar selalu.

"KAK AIDARRR!!!"

"KAKKKK!!!!"

❤❤❤

"Sa, Asa! Woi bangun elahh. Kebo amat lo kalau tidur,"

Aidar menepuk pipi Asa yang sudah dibanjiri dengan keringat. Roman wajah gelisah seraya kaki yang dihentakkan keras oleh Asa. Entah apa mimpi itu, namun pikiran Aidar kalang kabut. Asa berteriak lantang menyebut nama Aidar. Hingga suaranya melengking tak kuat menahan kecemasan.

"JANGAN PERGI KAK!!!"

"ASA CINTA SAMA KAK AIDARRR,"

"Heh, gue bilang bangun ya bangun! Atau mau gue siram pake air dingin? Iya? Heh Asa," teriakan Asa sungguh membuat Aidar bimbang. Oh tidak! Apa yang barusan Asa katakan? Benarkah jika dia mencintai Aidar kembali?

"KAK!!! ASA-"

"Uhukkk uhukkk, khemm,"

Terbatuk batuklah Asa karena air seember penuh ditumpahkan diatas kasur. Tepat mengenai wajah sang istri tanpa rasa bersalah. Tubuh Asa tersentak menampar spontan tangan Aidar yang menggantung bebas. Hingga dengan cepat, Asa memeluk erat tubuh Aidar. Meraba wajah suaminya sambil menangis sesegukan.

Aidarpun mematung ditempat. Dekapan bermakna dari Asa membuat dirinya merasa dilema. Tiba tiba saja ember yang ia pegang terjatuh dilantai. Menggelepar hingga terdengar suara nyaring. Perlahan tapi pasti, Aidar mengusap punggung ringkih Asa berbalut daster kotak kotak.

"Jangan tinggalin Asa sendirian kak! Hiks hiksss," ucapan itu terus saja dilontarkan oleh Asa disela sela tangisannya.

"Lo kenapa sih Sa? Gue ada disini, gue nggak kemana mana," Aidar tetap membelai ujung rambut Asa. Meyakinkan padanya bila tidak akan terjadi sesuatu apapun. Tidak ada yang bisa menggoyahkan ikatan suci Aidar dan Asa. Besok, seterusnya, bahkan sampai kapanpun itu.

"Asa tadi mimpi kak Aidar meninggal," nafas Asa tersenggal senggal mengingat kejadian tadi yang hampir sepenuhnya terasa nyata. Tangis mulai mereda, ia melepaskan dekapan dari Aidar.

"Lo mau jadi janda muda?" pekik sang suami menjarah bantal dibelakang Asa dan berniat melemparnya. Namun Aidar tahan karena mendengar balasan sang istri.

"Ya nggakpapa sih. Nanti Asa cari lagi yang lebih hot dari kak Aidar,"

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang