Bakso Urat Malu

109 14 1
                                    

"Selamat pagi. Mama papa,"

Aidar mengambil sepotong roti yang tersaji rapi dimeja makan. Duduk tenang memperhatikan kedua orang tuanya saling meyuapi satu sama lain. Ia hanya melengos, mengambil selai coklat. Lantas mengusapnya ditengah tengah roti tawar. Melahapnya cepat tanpa memperdulikan mereka yang sedang bermesraan.

Mama Rini seketika menghentikan kegiatan ketika Aidar berdehem kencang seakan menyindir keduanya. Wirama pun hanya menatap sang anak dengan raut tak suka. Sudah dapet feel mesra bersama Rini, mendadak dihancurkan oleh aidar. "Asa dimana Dar?" tanya wanita paruh baya sembari celingak celinguk mencari keberadaan Asa.

"Nggak tau tuh Ma, si Asa mual mual. Katanya kurang enak badan," jawab sekilas Aidar tanpa memberi embel embel lainnya. Firasat Aidar memang tidak nyaman, entah apa. Tiba tiba saja, ada getaran aneh yang menjalar hingga ujung kepala.

"Oh, ya udah. Makan dulu aja nanti biar Asa nyusul,"

Rini memotong sebuah apel dan ia berikan pada Wirama. Suasana dimeja makan kembali hening. Mereka sama sama menikmati sarapannya kali ini. Segelas susu hangat tersampir dimasing masing orang. Beberapa menit berlalu, namun Asa tak kunjung turun. Entah apa yang terjadi diatas sana. Aidar berkata jika istrinya mual mual. Seketika pikiran Wirama berkelana hingga ujung dunia. Tersenyum tipis menahan rasa gembira.

"Samperin istri kamu gih, kasian dari tadi belum makan. Habis itu kalian jalan jalan keluar. Mumpung hari ini Asa libur," ujarnya memerintahkan sang anak menghampiri Asa.

"Hmm,"

❤❤❤

ASA POV

Huekk huekk huekkk

Sehabis sikat gigi tadi pagi, perutku serasa dililit. Pening sekujur kepala ditambah lagi badanku terasa remuk. Aku langsung berlari ke kamar mandi, menghiraukan teriakan kak Aidar yang mengajakku sarapan. Beneran! Ini semua tidak bisa ditahan. Mencium aroma tubuh kak Aidar juga membuat aku menutup hidung rapat rapat.

"Perut gue napa sih? Kemarin perasaan cuma makan mie ayam sama-"

"Huekk huekkk,"

Air mata ku tiba tiba saja jatuh mengenai ubin putih. Sungguh, rasanya sakit sekali! Aku mencoba menegakkan tubuh. Menatap pantulan cermin. Wajahku pucat pasi, bibir pink  seketika menjadi putih. Rambutku acak acakan karena sedari tadi aku jambak.

"Sa, Asa. Lo belum selesai?" bahkan panggilan dari kak Aidar aku tak bisa membalas. Tubuhku lemas dan mulut tak bisa memberikan suara. Aku meluruh didinding kamar mandi. Merosot duduk terdampar disini.

Beberapa kali panggilan itu memekik gendang telingaku. Aku kembali menangis, menggapai pintu rasanya sulit sekali. Ada apa dengan diriku?

BRAKK

"ASA!" kak Aidar dengan sigap mendekap tubuhku yang lemas. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir, entah perasaanku saja ataukah nyata. Namun itu cukup meyakinkan diriku, bahwa secuilpun kak Aidar sudah hanyut dalam cintaku.

"Lo gakpapa Sa? Kok bisa jadi gini?" hanya gelengan kepala yang aku berikan. Menepuk pelan lengan kak Aidar yang menyangga tubuhku. Bibirku bergerak membentuk sebuah kalimat tanpa suara. Kak Aidar pun mengeryitkan dahi bingung.

"Mau apa Sa? Lo ngomong apa?" pertanyaan menuntut kak Aidar membuat kepalaku semakin pening. Aku coba menggerakkan bibirku kembali, dengan sedikit memaksa pita suara.

"Pengen bakso urat,"

"Ha?" kurasa perkataanku terlampau lirih untuk masuk pada telinganya. Buktinya saja, kak Aidar masih bertanya.

"Tapi pake urat malu,"

❤❤❤

"Sa, gue udah bilang dari tadi. Bakso urat malu tuh gak ada,"

Lontaran kata Aidar sedari tadi hanya diabaikan oleh Asa. Perempuan itu tetap berjalan memperhatikan sekeliling komplek. Mencari keberadaan sang bakso urat malu. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan bakso itu. Air liurnya seakan ingin menetes membayangkan betapa nikmatnya makanan itu.

Tadi, setelah Asa mengutarakan keinginan. Awalnya Aidar menolak mentah mentah. Logika saja, mana ada bakso urat. Tapi pake urat malu. Mereka pergi berkeliling disekitar rumah demi melacak keberadaan bakso itu. Bersandingan berdua memakai pakaian sederhana ditambah sandal jepit.

"Pasti ada kak. Ayo kita cari lagi,"

"Lo lagi ngidam Sa?"

Pertanyaan Aidar menghentikan langkah Asa. Diam membeku seolah mencerna perkataan Aidar. Kenangan tanpa busana tempo lalu menampar ingatan Asa. Apakah Tuhan benar benar mempercayainya?. Asa menatap dalam perut datarnya, membelai perlahan tanpa diketahui oleh Aidar.

"Sa," panggil Aidar membuyarkan lamunan Asa. Lantas laki laki berjambul cetar itu menarik pergelangan tangan Asa. Membawanya disebuah tenda makan bernamakan 'Bakso Urat Bang Ojis'.

Mata Asa berbinar terang saat berhenti ditenda makan. Menyeret Aidar agar segera memesannya. "Ayo kak, langsung bilang sama abangnya,"

"Bang, bakso urat malu ada?" tanya Aidar pada sang penjual. Ia memberanikan diri menanyakan hal itu. Membuang seluruh kegengsian dari dirinya. Yang padahal Aidar sendiri tau jawaban atas pertanyaannya.

"Bakso urat malu?"

Penjual itu malah bertanya balik pada mereka. Menghentikan aktivitas nya sejenak menyimak pesanan suami istri. Keheranannya dibalas kerlingan mata oleh Aidar. Mengangguk mantap dengan kode agar langsung di iyakan.

"Ohh, ada kok mbak. Bakso urat malu ada disini," jelas abang penjual direspon senyuman lebar Asa.

"Pake urat malu kan bang?" Asa mendekat kearah sang penjual, melihat bahan bahannya cermat. Abang Ojis, sang penjual terkekeh lucu. Melanjutkan kegiatannya kembali.

"Ah iya neng, pakai urat malu. Saking malunya nih, ini urat berubah jadi urat sapi,"

Aidar yang ada dibelakang Asa hanya memijat pelipisnya. Iya bener pakai urat malu, ingin mengutarakan pesananpun juga harus memutus urat malunya. "Ya udah bang, pesan lima porsi ya," ucap Asa pada bang Ojis. Ujaran itu membuat Aidar melototkan mata.

"Lo yang makan semuanya?"

Asa melengos, mencari tempat duduk. Setelah dapat ia langsung menyambarnya. Berhenti sejenak menjawab pertanyaan suami. "Iyalah, kalau kak Aidar mau. Pesen aja sendiri,"

Menghiraukan ucapan Asa, Aidar menghentakkan kaki kesal. Habis sudah uang yang ada didompetnya kali ini. Niat hati ingin berhura hura dengan pasukan cogan. Sekarang pupus sudah.

"Istrinya lagi hamil ya mas?" tanya bang Ojis meletakkan sebuah bakso besar pada mangkok. Semenjak tadi, ia hanya tertawa dalam diam memperhatikan mereka.

"Ha?"

"Biasanya mas, disini itu banyak banget yang minta pesenan aneh aneh. Kalau ditanya pasti alasannya si istri lagi hamil. Ngidam, jadi saya ya disuruh nurut aja,"

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang