Talak Satu

199 11 5
                                    

"A-Asa?"

Aidar mengangkat dagunya menatap Asa yang tengah mengepal menahan guratan amarah. Ia meringis kala istrinya itu hendak melayangkan tamparan yang dituju kepada Mama Rini. Ditengah meja makan kebesaran keluarga ini menjadi momen mengejutkan baginya. Tak habis pikir, bisa bisanya ia melupakan hal bahwa disini masih ada Asa. Seharusnya tadi ia langsung potong ucapan mama agar kejadian ini tidak terjadi. Sepuluh centi lagi tamparan itu akan mengenai mama Rini. Aidar seketika menahan pergelangan tangan Asa. Biarpun Asa adalah istrinya, mama tetaplah orang tua Aidar.

"KALIAN BRENGSEKK!!" teriakan melengking yang Asa berikan membuat seluruh orang disana memejamkan mata pelan. Asa menghembuskan nafas kasar berusaha memadamkan marah. Tapi tetap saja apa yang menjadi kenyataan ini benar benar melukai hati.

"Asa ini tidak seperti yang kamu kira, Nak."

Oh, tidak seperti yang Asa kira ya? lalu bagaiamana yang harus Asa kira? ucapan mama Rini yang lembut itu tak menggoyahkan prinsip nya. Bertahun tahun sedari kecil gadis itu menahan kecewa, membiarkan luka menganga tertutup lagi. Ia terima saat dikatakan tidak punya ayah yang berarti tidak boleh ditemani. Ia terima saat yang lain diantar ayahnya sekolah, mendatangi rapat, diberi hadiah sederahana. Tapi Asa tidak.

Hari hari berlalu, Mama Nur sakit sakitan. Asa melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika mama batuk batuk dan mengeluarkan darah ditangan. Sampai akhirnya Tuhan mengambil mama tanpa suatu kepastian. Tak terjawab satupun apa penyebab ayah meninggal. Dan Asa diwasiatkan untuk dinikahkan oleh Aidar yang konon katanya Lelaki itu bisa menjaga Asa.

"Kenapa kalian tega melakukannya?" lelah berteriak, Asa memilih memelankan suara. Memperhatikan raut pucat pasi mereka.

"Kami bisa jelaskan Asa. Tenanglah!"

Asa meraup wajah, menghela nafas panjang. Ia harus ingat sebentar lagi Asa harus melahirkan. Jadi, tidak boleh down. "CERAIKAN ASA SEKARANG KAK AIDAR!"

Lelaki berjambul cetar menggenggam gelas kaca sampai menimbulkan retakan hebat. Menoleh memperhatikan istrinya yang basah karena air mata. Kejadian ini sudah ia duga jauh jauh hari. "Tidak."

"Kenapa tidak? Kak Aidar ingin menyiksa Asa disini? Asa tidak habis pikir dimana otak kalian. Mau tidak mau. Asa ingin cerai dengan Kak Aidar!"

"Cerai bukan solusi."

Dari tadi Nevan hanya diam memperhatikan kericuhan ini. Hingga saat Asa ingin diceraikan oleh Aidar. Ia merasa gagal menjadi abang dan ipar Asa. Mama Rini hanya bisa menangis dipelukan papa. Aidar jelas menunjukkan ekspresi keterkejutan. Seharusnya Nevan senang ketika mereka sebentar lagi akan pisah. Ia mencintai Asa. Ia mencintai adik iparnya sendiri. Rasa itu tiba tiba muncul saat pertama kali Nevan bertemu Asa ditoilet. Wanita itu menangis sejadi jadinya disana, lalu Nevan memberikan sebuah seragam olahraga.

Perasaan itu semakin membuncah ketika hari ke hari Asa akrab dengannya. Senyumnya, tawanya, lalu tangisnya. Nevan menyukainya, tapi ia harus sadar Asa siapa. Wanita itu adalah istri dari adiknya sendiri dan iparnya. Lafal talak yang ditujuan pada Aidar memang ada secuil bahagia. Tapi apakah Asa tidak berfikir dahulu? Dia sedang mengandung.

"KALIAN JAHAT! KALIAN SAMA SAJA DENGAN IBLIS BERMUKA MALAIKAT."

Setelahnya Asa berlalu menuju kamarnya. Meninggalkan Aidar yang termenung menatap gelas retak didepan. Hati siapa yang tidak patah ketika istri minta ditalak? Semua kenangan tersimpan rapi dalam benak Aidar. Impian impian mereka menua Bersama. Membesarkan buah hati mereka, saling melindungi suka maupun duka.

PRANGGG

"AIDARR!"

Gelas itu berceceran tak terbentuk.

---

Tatanan baju baju itu telah kubereskan semua. Tas jinjing besar siap untuk aku bawa malam ini. Sungguh, aku tidak akan kuat jika dikelilingi oleh orang yang penuh dusta seperti ini. Maka dari itu malam ini aku memutuskan keluar dari sini. Tidak, aku tidak kembali dirumah mama. Aku akan hidup sendiri dibawah keinginanku. Membesarkan anakku seorang diri. Masa bodo dengan talak, aku sangat paham ketika perempuan sedang hamil tidak baik meminta cerai.

Sampai sekarang Kak Aidar tidak menghampiriku disini. Memeluk tubuhku sendiri aku meyakinkan diri menjauh dari mereka. Sebenarnya, apa tujuan mereka menikahkanku dengan Kak Aidar? apa ada hubungannya dengan ini semua? Aku sudah berusaha menghiraukan rasa dendamku pada pelaku kecelakaan ayah. Berusaha menikmati hidupku sendiri tanpa bayang bayang pembalasan. Namun takdir lagi lagi membalikkan semuanya.

Tepat pada waktu menunjuk angka 10 malam. Aku segera mengambil kedua tas itu. Membuka jendela lantas menghela nafas sebentar. Tidak ada yang tahu mengenai kepergianku. Bahkan satu orangpun tidak menjengukku dikamar. Termasuk suamiku sendiri, yang aku kira dia kan datang menyesali perbuatan dan meminta maaf. Memelukku penuh kasih dan aku akan berusaha lagi untuk memaafkan mereka.

"Maafkan Asa, Kak Aidar. Asa pamit jaga dirimu baik baik. Terimakasih atas pengkhianatan kalian."

Gelap! aku menunduk ketakutan. Dari kecil aku tak biasa pergi malam malam. Tapi kali ini aku harus berani. Aku berjalan pelan disetiap tapakan halaman. Sepi juga, aku tidak tau kemana perginya mereka. Apakah mereka bersenang senang saat rahasia itu terbongkar, atau justru dirudung rasa bersalah.

"Asa." langkahku tiba tiba berhenti. Suara alunan merdu itu membuatku ingin meneteskan air mata kembali. Aku sama sekali tidak menoleh kearahnya. Nevan pasti memintaku agar tidak pergi dari sini.

Tak dapati jawaban apapun, aku mendengar decakan Nevan. Grasak grusuk rerumputan kering semakin dekat. "Pergilah."

"Maksud lo?" aku tak mengerti apa yang barusan dikatakan Nevan. Dia dengan mudahnya membiarkanku pergi. Aku menoleh menyamping, Nevan terlihat pasrah atas diriku. Tangannya terlipat kebelakang. Apakah Nevan merasakan kesedihanku?

"Pergilah jika itu buat lo tenang. Gua minta maaf atas perlakuan orang tua gua. Tapi seberapun lo dendam, mau suara lo sampe habis marahin kita. Itu ga bakal balikin keadaan. Ayah sama mama lo udah tenang disana. Ada calon anak diperut lo, ingat baik baik."

Aku terperangah mendengar tiap perkataan Nevan. Menunduk dalam menggenggam ujung tas dengan erat. Memang semuanya tidak bisa membalikkan, tapi tak bolehkah jika aku kecewa dengan mereka. Kulirik Nevan yang mengusap bahuku pelan. Menganggukan kepala disertai hembusan nafas pasrah.

"Aku akan tetap mencintaimu. Meskipun semesta tidak merestui." bisikan itu menjadikan tubuhku meremang.

---

Agaknya Tuhan tahu jika aku sedang bersedih. Aku mengusap air mata, mendongak kelangit yang memberikan aku setitik rintik air. Tersenyum menatap awan bergerumbul hitam. Aku melangkah maju, entah dimana tujuanku saat ini. Tidak tahu, aku berjalan tanpa arah. Yang aku inginkan hanya pergi jauh hingga aku tidak lagi menemukan mereka. Setidaknya satu misiku dulu berhasil, yakni menyatukan Nevan dengan orangtuanya. Itu sudah cukup untukku menjadi merasa berguna disini. Nevan sudah bahagia disana. Sebelum itu, dahulu Nevan sempat menagih janjiku. Hmm, mengigatkannya agar tidak jatuh hati padaku.

Aku sungguh tidak paham apa maksud Nevan. Masa iya dia mencintaiku? Lelaki es macam dia mana sempat bermain cinta. Aku terkekeh geli, membelai indah perut buncitku. Gara gara Kak Aidar mabuk waktu itu, aku harus kenyang sembilan bulan. Dulu aku berpikir melakukan satu kali apa bisa langsung jadi?

Terasa sangat letih, aku duduk ditrotoar jalan. Memegangi perut yang dibuat duduk sekarang agak susah. Menyampirkan tas lantas meletakkannya disamping. Aku kembali melamun, membenahi rambutku yang berkibas terkena sapuan angin. Melayangkan pandang lurus kedepan. Pikirku berputar saat pertemuan pertama kalinya aku dan Kak Aidar bertemu. Hingga tanpa sadar--

"Eughh! L-lepaskan. AH S-SA-KIT GOB-LOKKK."

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang