Pasrah

197 11 0
                                    

Bau busuk yang menyerang hidungku berhasil mengusik lelapnya mata. Aku mengerjab kaget, ruang gelap nan mengerikan ini. Bagaimana bisa aku berada disini? Disudut ruangan terdapat seperti selokan khusus. Bak dihantam batu besar, aku terdiam menatapnya. Menyipitkan mata perlahan seraya mengusap perut yang terdapat calon anakku ini. Iya! Aku tidak salah lihat lagi. Selokan itu dialiri air yang berwarna merah darah. Tidak, itu mungkin darah asli. Bau anyir itu juga ikut menguap.

Ingin muntah rasanya, darah itu berbeda dengan darah sapi. Aku bisa memastikan itu. Setiap lebaran aku selalu melihat sapi yang disembelih. Tempat ini sangat asing bagiku. Seperti gudang lama? Emm, mungkin lagi. Kursi tua yang rapuh itu menjadi saksi. Segerombolan jaring laba laba juga memenuhi ruangan. Aku mendesah pelan, jujur saja diriku sangat takut. Tidak ada ikatan apapun yang menempel ditubuh. Sedikit bernafas lega, aku berusaha berdiri. Perutku ini sudah membesar, jadi wajar jika digunakan berjalan saja susah.

Namun, naas. Belum sampai aku berdiri tegak alias masih berjongkok. Seseorang mendobrak pintu dengan keras. Tiga laki laki bertubuh gempal mengamatiku disertai seringai tajam. Mereka berjalan mendekatiku, aku tak bisa berbuat apapun. Salah satu dari mereka menarik kasar daguku. Aku berusaha mengelak tapi kekuatanku tak ada apa apanya dibanding mereka.

"Hmm, sudah bangun nona?" suara gelak tawa mencuat, salah satu dari mereka menghampiriku.

"Mau pisau atau golok? Hahahaaha."

Tubuhku membeku. Ingin menangis rasanya sekarang. Raut mereka tak main main. Aku meringis kesakitan kala ujung lancip pisau itu tepat mengenai pipiku sebelah kanan. Berusaha menepis, aku berangsur mundur. Tidak ada waktu luang. Senyumku mengembang melihat sebongkah kayu besar. Kurasa itu akan berhasil mengalihkan fokus mereka.

"Gadis nakal, berani beraninya kauu!!"

Dia, lelaki dengan rahang tegas dan tubuh menjulang tingi tak lupa otot besarnya mengaduh kesakitan. Aku tersenyum lebar. "Hai Bram! Dia bukan gadis lagi bodoh."

"Ah ya! Aku lupa perempuan ini tengah hamil bukan?"

Aku menggeram kesal mendengar nadanya yang terkesan mengejek. "Tapi dia masih terlihat segar. Hmm, bagaimana kalau nanti kita bermain main sayang?"

Ia mengusap lembut pipiku yang meneteskan darah. Sontak, aku menepis kasar tangannya. Menajamkan mata mempersiapkan kalimat untuk mereka. "JANGAN MIMPI!!"

"Ahahaha. Lihat! Lucu sekali dia. Bahkan ketika kematian akan menghampirinya. Dia masih berkata mimpi?"

"HEI!! AKU TIDAK MENYURUH KALIAN UNTUK MENYIKSANYA DULU."

Aku menoleh kearah pintu kokoh itu. Siluet wanita bertubuh proporsional. Dia melangkah mendekat padaku. Dan betapa terkejutnya, dia wanita yang sangat aku kenal. Dia adalah....

Jelita.

Iya, JELITA!!

Untuk apa dia kemari? Apakah ingin membantuku terbebas dari sini? Seketika aku menyungging senyum tipis. Bak terseok seok, aku berusaha menggapainya. Aku sangat yakin jika Jelita kali ini akan membantuku.

"Jangan menyentuhku perempuan sialan!!" aku terhentak mendengar kalimat penuh ketegasan dari Jelita. Mendongak keatas yang dibalas tatapan tajam darinya.

"A-apa maksudmu Jelita? Kamu kesini untuk membantuku lepas dari sini kan?"

"Dasar, bodoh!" terlihat dari lirikan mataku. Jelita memberikan nampan berisi makanan padaku. Dengan ragu, aku menerimanya lantas berucap terimakasih.

"Makan yang kenyang, agar kau dengan mudah menemui Tuhan."

Aku menaikkan alis sebelah, seolah bertanya apa maksud dari perkataannya? Memang aku tak nyaman berada disini. Ku kira aku diculik, tapi melihat keadaan sekitar. Aku tidak yakin kalau aku tengah diculik. Biasanya penculikan itu, korban diikat tubuhnya dikursi atau meja. Tak diberi makan, lantas langsung disiksa. Lihatlah! Disini aku tidak disekap dan diikat. Masih diberi makan. Lalu aku mengenal salah satu dari mereka. Mungkin aku terlalu negatif thingking.

"Mau mati aja sok belagu lu." ucapan lelaki tubuh besar itu kembali membuatku meremang. Aku perlahan terduduk diatas lantai ubin tua. Menatap peralatan makan dengan tatapan kosong.

"Sudah sudah! Kembali ketempat masing masing." perintah dari Jelita hanya diberi anggukan oleh mereka dan berlalu pergi.

"Persiapkan dirimu baik baik. Besok kau akan bebas dari kesakitan ini."

---

"Gimana udah dapet keberadaannya?"

Ditempat yang berbeda, keluarga Wirama tengah kalut atas kepergian Asa. Mereka sudah berkeliling sekitar rumah untuk mencari keberadaanya. Namun tak ada satupun usaha yang menumbuhkan hasil. Dengan segenap ikhtiar mereka, Wirama menyewa detektif untuk mengintai keberadaan Asa saat ini. Sungguh, dia sangat menyesal ketika Wirama hanya diam. Tidak mau bersuara saat Asa tengah beradu mulut dengan mereka.

Aidar mengundang Ben, Satria, dan Farhan. Ia meminta bantuan pada mereka. Lama tak berjumpa, ternyata Satria sangat mendalami jurusan IT. Entah keberuntungan atau apa, Aidar sangat bersyukur jika Satria bisa membantunya mencari sang istri. Ia juga merasa bodoh, mengapa sewaktu kemarahan Asa meledak. Tak sejangkahpun ia mendekat padanya. Padahal jelas saja, Asa butuh tempat bersandar. Lagi lagi ia merasa bodoh menjadi suami.

"Dar, gua ga nyangka kalo ujung ujungnya bakal jadi kayak gini." setelah sekian lama mereka hanyut dalam kegiatan yang sudah dibagi masing masing. Ben membuka suara, ia sangat prihatin pada sahabatnya yang menunjukkan kekacauan ini. Penampilan tidak terurus, tubuh semakin kurus.

"Hmm, takdir."

Aidar menghela nafas seraya memandangi ketiga sahabatnya. Ia sangat paham, akibat dari keegoisannya akan memberikan dampak buruk. Sangat buruk! Bahkan ia sampai ingin mengibarkan bendera menyerah.

"Itulah menikah muda sist. Banyak godaannya, ya buat yang kuat sih mungkin bisa dapetin kebahagiaan. Yang ga kuat ya bisa keombang ambing sama kehidupan. Nikah muda tuh ga seenak apa yang dibayangin. Ada beberapa pasangan muda yang memilih mundur---

Salah satu faktornya mungkin karena belum siap mental."

Kata kata dari Farhan membuat Aidar semakin dirudung rasa bersalah. Tumben tumbenan Farhan memberikan motivasi bijak padanya. Sebelumnya Farhan itu sangat bar bar. Jangankan berkata bijak, menyusun kalimat saja dia kesusahan saat pelajaran bahasa Indonesia dulu. Sekarang sahabat sahabatnya memang benar benar sudah dewasa. Perkataan Farhan itupun hanya dibalas anggukan olehnya. Namun, siapa yang bisa mengetahui hati seseorang?

"Aidar. Cepatlah temukan Asa, perasaan mama tidak enak dari tadi. Ayo percepat pergerakan kalian." lelaki berjambul cetar itu menoleh ke sang mama yang lagi lagi tengah menangis.

"Aidar sedang usahakan ma."

"Mah, mama tenang dulu. Mereka sedang berusaha. Jangan menangis terus, tangisan mama secara tidak langsung menyulitkan mereka." Wirama melepas dekapan dari istinya. Mendekat ke Ben yang asyik mengotak atik komputer bersama detektif suruhannya.

Sial! Apa yang terjadi diluar sana. Hingga mereka tidak bisa menemukan jejak Asa. Detektif itu berkata pasti ada apa apa dengan istri Aidar. Secara, kalau seseorang hilang sendiri pasti akan mudah ditemukan oleh detektif itu. Dia sudah berpengalaman dibidang ini.

"AKU MENEMUKANNYA!!"

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang