Hantaman Pilu

103 13 9
                                    

Sahabat itu ada dikala suka dan duka. Bukan duka nya aja.

-Asa


"Sebagus apapun peran yang dimainkan, sehebat apapun menyembunyikan ketidaktahuan. Bekasnya akan tetap mengikuti,"

Satu langkah aku masuk kedalam ruang kelas. Pekikan dan tatapan tajam itu mengarah padaku. Aku tak tau apa maksudnya, yang jelas. Perkataan menyakitkan demikian berasal dari bibir Nindi. Seketika teman teman lainnya diam tak bersuara saat melihatku tepat didepan pintu.  Bahkan bad boy kelasku yang terkenal sejagat sekolah ikut diam memperhatikan. Sehina itukah diriku?

Ketahuilah, aku juga menyalahkan diriku sendiri. Menikah dengan kak Aidar adalah permintaan sebelum mama dimakamkan. Aku tak mengelak. Melawan dan menolakpun rasanya sia sia. Pernikahan tetap berlangsung, bagaimana keputusanku. Mama tidak akan mengubahnya. Mengusir pikiran negatif aku mau tak mau masuk kedalam. Berusaha menghindar dari raut meremehkan orang orang sekitar. Hingga tiba saatnya langkah kecilku terhenti didepan tulisan besar papan tulis. Yang menunjuk dengan jelas menusuk, memekik, membinasakan ketegaran jiwa.

PENGKHIANAT TETAP JADI PENGKHIANAT!!!

"Sa, kita coba sabar sama lo. Menunggu menampung keluh kesah lo selama ini. Tapi Sa, lo paham kan. Bahwa sabar itu ada batasnya," tak sampai dengan tulisan. Risma mendekatiku dan membisikkan lantang. Mereka senantiasa menanti Asa. Karena mereka tau, dari wajah Asa ada yang tak beres.

Tubuhku menegang ditempat, bisikan dari Risma menjalar sekujur emosi hati. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan bibir untuk membalasnya. Mata terus berlari menatap satu persatu tatapan tajam tiga puluh empat orang lain. Kuku jari memutih sebab dinginya hawa yang menyeruak. Oh Tuhan! Kenapa aku merasa terpojokkan sekarang.

"PERSAHABATAN KITA BUBARRRR!!!" teriakan dari pojok kanan kelas membuatku menegakkan tubuh. Mengusap telinga memastikan jeritan. Menampakkan sosok Nindi yang tengah santai memainkan ponsel.

"Ini nggak seperti kalian kira," akhirnya setelah sekian lama mematung. Mulutku berani membantah, memang kejadian ini nyata. Tapi mereka tidak tahu hal sebenarnya. Sungguh, aku kembali menelan pil pahit kehidupan. Dari sekian lamanya pil itu hancur dan hilang. Kini orang orang berhasil mengumpulkan cecerannya. Lantas mereka berhasil juga mengguncangkan atma.

"Sa, kita nggak salah. Bukti itu benar benar nyata. Berapapun bantahan lo nggak mampu menghapus semuanya. Pernikahan lo dengan kak Aidar udah menyebar," Widya menyambung ucapanku seraya tampang menjatuhkan.

Harga diriku tumbang saat ini. Pelupuk mata sudah digenangi air. Bersiap sekali kedip mengalir dengan derasnya. Sesak!! Kepercayaanku bersama orang orang sekitar lenyap sudah. Runtuh mengenai diriku sendiri, kaki bergetar menahan beban denyut nyawa. Didepan masih ada Risma yang setia menemani. Setia mengejek atau setia membantu aku tak tahu. Namun hawa sekitarnya terasa tak bersahabat.

"Kalian gak ngerti keadaan gue,"

"Kita udah berusaha memahami keadaan lo, Sa. Ayo kita hapus persahabatan ini," desakan Risma membuatku tak bisa berkutik lagi. Persahabatan yang kita bangun sekuat tenaga. Hari ini, jam ini, detik ini, pupus juga. Dan benar, kedipan mataku menyisakan air mata. Berguguran bersama harapan menyakitkan. Aku coba meraih pergelangan tangan Risma. Namun lagi lagi tepis olehnya. Sekarang aku harus apa?

"KAWAL ASA SAMPE KELUAR DARI SEKOLAH!!!"

"MALU MALU IN MANA BAIK KELAS,"

Setelah menerima perlakuan itu, dari sudut kiri. Wajahku siap kembali menjalani ujian selanjutnya. Tiga telur mentah beringasnya menyentuh kulitku. Disertai susulan tepung dan bola bola kertas lagi. Batinku pun bergejolak, bagus juga persiapan mereka. Gelak tawa nyaring bahkan dari kelas lain mendengarnya. Miris! Aku tak sanggup menghentikan lancang mereka. Teriakan teriakan menusuk sekarang sudah teratur dihatiku. Tidak lagi menimbulkan luka. Kemudian dengan berani ku meninggalkan tempat.

❤❤❤

Asa memutuskan untuk bolos saja hari ini. Raga nya lelah mengikuti kesibukan dunia. Ejekan memilukan masih terbayang melintas setiap himpitan pikiran. Bau amis yang ada ditubuh tak lagi menjadi penghalang menghidup oksigen. Surai hitam Asa berubah menjadi putih akibat tepung satu kilo. Wajahnya berlendir amis juga akibat dari telur. Lengkap sudah penderitaan kali ini. Berjalan melewati sepanjang lorong sekolah dengan sangat malu. Bagaimana tidak? Tubuhnya sekarang sudah tak karuan. Air mata terus mengusik ketenangan telaga warna. Sekuat apapun ditahan, manusia pasti punya batas.

Ia tak bisa menyalahkan siapa siapa. Benar kata orang, penyesalan memang selalu diakhir. Melihat sudut lorong Asa bisa menemukan secuil harapan. Perempuan rambut panjang dengan bando biru mendung agaknya sedang menunggu. Bersidekap dada memberikan senyuman tulus pada Asa. Entahlah, apakah itu benar benar senyuman atau senyum terbalut kekecewaan. Tak ingin berlama lama, ia coba mendekati. Bagaimanapun respon nanti Asa siap menerima. Dengan ragu jangkahan kakinya menuju pada sebongkah harapan. Berharap, satu orang saja. Bisa memahami.

"Anisa," panggilan Asa terdengar sampai gendang telinga orang itu. Senyuman tulusnya tidak pudar sedari tadi. Lantas dia menoleh pada Asa. Berlari menggapainya diiringi tetesan air yang jatuh dari pelupuk mata.

"Nggak usah nangis Sa, jelek!" tawa renyah yang Anisa berikan membuat hati Asa sedikit menghangat. Ia membalas tawa Anisa dengan senyuman berbinar. Ia harap, ini tak sekedar mimpi.

Seterpuruk apapun seseorang, Tuhan pasti menyiapkan hal indah diluar dugaan manusia. Dan Tuhan tidak akan membiarkan hambanya sendiri. Bukankah kehidupan kita ini sudah ditulis oleh penulis terbaik? Kita hanya perlu maju, memahami setiap goresan sastra yang Tuhan karuniakan. Mundur itu pengecut, kita tak mau dikatakan seorang pengecut bukan? Menangis itu wajar. Tapi jangan sampai tangisan membuat semua semakin runyam.

Mereka menangis haru dibawah pepohonan rindang. Anisa menepuk pelan bahu Asa lantas mendekap sahabatnya erat. Sungguh, ia tak sampai hati melihat Asa sendirian menerkam kehampaan. Biar saja tubuhnya ikut amis dan kotor, Anisa tak peduli. Ia hanya peduli pada kondisi mental Asa. Dibanting oleh kenyataan, dihantam kepiluan, dan diserbu kebiadapan. Anisa ingin menjadi sahabat Asa yang setia menemani. Bukan setia menjatuhkan sahabatnya sendiri.

"Gue bodoh Anisa! Kenapa ini harus terjadi? Banyak diluar sana yang hamil diluar nikah saat masih sekolah. Dan gue ini nggak hamil duluan, pernikahan ini dilandasi wasiat mama. Gue harus apa sekarang?" tangisan disela sela pelukan hangat mereka, Asa mengadu. Memukul kepalanya sendiri dengan frustasi. Anisa berusaha melepas tangan Asa. Tapi sepertinya Asa semakin menggila.

"Manusia tidak luput dari kesalahan Sa. Gue yakin lo bisa lalui ini semua. Gue akan tetap disini nemenin lo. Ujian ujian yang Tuhan berikan itu biar lo bisa kuat. Masalah lo ini nggak seberapa, coba kalau gue?"

Anisa melepas dekapannya, mengendus bau tubuhnya yang sekarang amis tak karuan. Namun ia bahagia jika Asa bisa menorehkan senyum yang sempat hilang itu. Anisa memang bukan anak yatim piatu. Ayah dan ibunya masih ada. Namun ia rasa kehidupan dirumah bak hidup di neraka. Berbagai teriakan sudah biasa Anisa dengar. Permohonan cerai dari sang ibu bahkan kini telah lebih dari tiga kali. Ayahnya egois, ia tak mau melepas ibu. Dan sampai saat ini, Anisa malah mengalihkan emosi dengan cara balap liar. Hanya karena balap itulah permasalahan yang ada diotaknya sedikit terobati.

Asa menatap malas padanya, berdecih pelan dengan nada bercanda. "Nggak usah adu nasib,"

"Sa, bolos kuy! Gue ajak ketempat istimewa yang bisa buat lo tetap bersyukur," ajak Anisa yang membuat Asa mengangguk ragu.

"Ke tempat yang bisa buat gue bersyukur?" tanyanya mengulangi kalimat yang Anisa berikan.

"Ck! Ayo ah,"

Udah ya gaiss, draft nya udah habis wkwkw.. maap kalau luaammaa update. Padahal udah ada di draft tinggal publish. SEE YOU NEXT TIME

Aku nulis duluu...

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang