Senyuman Itu

107 14 2
                                    

Sepertinya indah, jika senyuman itu terus terukir cantik dibibir manismu.

-Anisa.

'Yayasan Panti Asuhan Bunda'

Tepat pada gerbang masuk aku terpana akan papan nama disamping. Teryata Anisa membawaku kesini. Kesedihan masih membekas dalam kepahitan. Mungkin dia ingin aku kembali tersenyum. Satu persatu masalah datang menghampiri, aku belum siap secara fisik dan mental. Namun Tuhan mempercayaiku untuk melewati. Yayasan ini mengingatkan pada secuil kisah Nevan. Bagaimana hidup ditemani kegelapan dan kesunyian. Harusnya aku bisa bersyukur. Walau orang tua telah dipanggil sang kuasa.

Menghela nafas sebentar, leherku memutar 90 derajat kearah Anisa. Perempuan itu tersenyum padaku. Memberikan aba aba akan hal indah disini. Perlahan tapi pasti bibirku tertarik membentuk cekungan. Menangguk pada Anisa bahwasannya aku siap memasuki tempat. Jangkahan kaki kami menapaki rerumputan kecil yang menyebar disetiap halaman. Riuh canda tawa mulai terdengar sampai sini. Hatiku menghangat kala mengetahui betapa mengagungkannya yayasan ini. Beberapa pondok kecil berjajar rapi mengikuti huruf U. Pohon pohon menjulang tinggi disamping pondok itu. Warna warni, hingga aku merasa tentram. Yayasan ini agaknya menjunjung tema keceriaan.

"Ayo Sa," ajakan Anisa membuyarkan lamunanku. Menggait tangan lantas menuntun untuk masuk.

Sekelebat kenangan tadi kembali menggentarkan jiwaku. Satu pertanyaan, ketika semua orang ogah ogahan berbicara denganku. Mengapa Anisa sudi menemaniku sekarang? Terlebih ia masih mau menggandengku saat ini. Senyuman bersih tetap memanggilku. "Lo kok mau sih Sa temenan sama gue?"

"Ha? Pertanyaan lo aneh,"

Ia menghentikan langkahannya disertai denganku yang ikut berhenti. Kawasan terlihat sepi, maklum saja. Aku dan Anisa masih tepat dibelakang gerbang. Termagu atas perkataan Anisa. Aku coba menatap lekat manik mata dia. Kata orang, bagian mata adalah organ yang sulit untuk berbohong. Tapi nihil! Tak kutemukan kedustaan didalamnya.

"Nggak, nggakpapa kok Sa. Makasih udah mau nemenin," tepat didepan, tiba tiba aku disuguhkan pemandangan anak kecil yang sedang berlari kearahku. Aku tersenyum simpul, mendekat kearahnya lantas mensejajarkan tubuh.

"Ada apa sayang?" pertanyaanku agaknya dihiraukan oleh bocah itu. Tanpa izin dia menarik pergelangan tanganku dan membawa kedalam.

"Wahh! Aku tidak tau kalau hari ini kita kedatangan bidadari cantik,"

Aku mengeryitkan dahi heran, perkataan anak itu seketika membuat hatiku menghangat. Bersamaan dengan itu Anisa menatap dalam iris mataku dengan senyuman indahnya. Setidaknya ketika semua orang menjauhiku dan meninggalkanku, Tuhan masih menyisakan orang orang baik disekitarku. Memotivasiku tanpa mengungkit kekuranganku lalu. Hingga aku memincingkan mata ketika ada salah satu anak panti laki laki yang tengah terdiam dibawah pohon mangga sembari memandang lurus kedepan. Aku pamit pada Anisa lantas mendekat kearah anak itu. Ya, aku meninggalkan Anisa yang sedang berbicara pada ibu panti.

"Hai anak manis!" sapaku dengan senyuman kaku mengusap lembut rambut anak itu. Ia tersentak atas perlakuanku melayangkan pandang. Tatapannya sendu, aku bisa melihat itu. Tangannya bergetar hebat kala dia akan meraih pergelangan tanganku. Tetap tersenyum aku mendekap tubuh mengilnya. Membiarkan tangisan itu jatuh dari pelupuk matanya.

Samar samar aku mendengar lontaran kata itu darinya. "Aku merindukan dekapan hangat seperti ini."

Aku memandang hamparan luas langit, menahan bulir bulir air mata. Oh, aku juga merindukannya. Perhatian dari mama, omelan mama ketika aku pulang larut malam, dan semua pelukan hangat dari mama. Aku mengusap pelan punggung ringkih itu, mengecup pelan dahinya. Ternyata, ketika kita hampir menyerah dengan keadaan. Kita juga perlu memperhatikan sekitar. Bahwa ada banyak sekali orang yang lebih menderita. Hanya saja mereka tahu batasan menyerah. Karna sungguh, bersyukur itu adalah cara menikmati luka dengan indah. 

"Kenapa mereka lebih memilih untuk meninggalkanku dengan kematian?" perlahan pelukan itu terlepas, aku mengusap pipiku yang basah. Sedikit terkejut atas pertanyaannya.

"Aku tidak tau. Ya, akupun sama denganmu."

Anak yang tidak kuketahui namanya. Seketika terdiam. Merenung dan menunduk dalam dalam. Aku menautkan jari jari tangan lantas mencabut rerumputan liar. "Orang tuaku meninggal ketika aku belum bisa memberikan apa apa. Aku hanya anak kecil yang masih membutuhkan perhatiannya. Tapi sepertinya Tuhan lebih menyayangi orang tuaku. Dan mempercayaiku, bahwa aku bisa." aku menoleh pada anak kecil itu. Diusianya yang menurutku masih belia. Dia sudah pintar dalam bercakap dan mengambil hikmah di setiap kejadian.

"Sepertinya begitu," sungguh aku tidak bisa memberikan saran apapun. Karena nasibku sama dengannya. Aku saja masih belum terima dengan kematian orangtuaku. 

"Kak, jangan dendam kepada siapapun. Itu semua sudah takdir. Jangan menyalahkan siapapun atas kematian seseorang. Percayalah, ketika dendam sudah mengakar kuat dalam hati. Kita tidak bisa menikmati hidup dengan tenang."

"ASAA!! KENAPA LO SENDIRIAN DISITU? AYO SINI," aku mendesah pelan karena teriakan Anisa yang luar biasa memberikan efek keterkejutan. Perlahan berdiri membersihkan seluruh pakaian seraya ingin berucap terimakasih pada anak kecil itu. Dia memberikan pesan amat berarti bagi hidupku. 

"Emm, terimakasih. Aku senang bertemu de--"

"Loh, dimana anak itu?"

Selepas itu, aku pergi menghampiri Anisa. Tak ingin mengambil pusing dengan anak itu. Mungkin dia sudah lari ketika aku berbenah diri. Yang perlu aku ingat adalah perkataannya. Aku banyak mengambil pelajaran dipanti ini. Setengah jam terlewat, aku menghabiskan waktu berlarian kesana kemari dengan anak anak panti. Tertawa lepas ketika mereka menunjukkan bakat dan lemparan canda satu sama lain. Merebahkan tubuh diluasnya taman yayasan. Aku mengatur pernapasan dan saling tatap dengan mereka. Wajah mereka yang belum mengerti apa apa harus menjadi tulang punggung bagi dirinya sendiri. Menahan kuatnya hantaman dan standart hidup dunia.

"Tetaplah tersenyum, Sa."

"Akan aku usahakan."

Kali ini saja, biarkan Asa melepas semua beban dihatinya. Tuhan! Kuatkan lagi bahunya. Karena sungguh. Didepan sana, masih banyak hal yang menunggu.

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang