Ajari Aku Mencintaimu

235 43 31
                                    

Apakah masih bisa dikatakan 'sahabat' jika menatap saja enggan, berbincang tak sempat, melempar senyum tak berkenan? Ada kalanya seorang yang kita percaya. Suatu hari nanti, ia lihai dalam mempertipu daya hati. Hingga kita tidak juga mengerti. Mana yang dinamakan sahabat. Dan mana yang disebut musuh berselimut sahabat. Hati hati!

~S

Aidar menjarah bangku kusen. Bersandar tanpa menimbulkan suara. Memperhatikan Asa yang tengah terlelap diatas kasur. Ia menumpu kedua tangannya. Melekatkan dagu bersama seretan nafas. Kenangannya hanyut kala hendak menikahi Asa. Bergumam tak jelas menimang keputusannya tempo lalu. Berdosakah ia kepada Asa? Perempuan yang tak mengerti apa apa terpaksa masuk dalam dunianya.

"Aidar nggak mau ma!" ucap Aidar pada sang mama. Melengos kesamping kanan agar terlihat tak ingin melanjutkan rencana gila sang mama. Alis Aidar menyatu, hal apa yang telah tertanam dihati mama sampai kejadian ini bisa terjadi.

Rini merapat, bersimpuh bersebrangan dengan Aidar. Mendesak padanya supaya menyetujui perintah Rini. "Mama mohon Aidar. Turuti permohonan mama,"

Aidar tak sampai hati melihat mama berlutut. Meraih pergelangan tangan, lantas membimbingnya untuk bangkit. Benar apa kata orang, sekecewa apapun seorang anak pada ibu. Tak bisa menggetarkan jiwa egois dalam hati. Berapapun nominal angka tercetak pada kertas, tidak juga mampu membayar perjuangan, kasih sayang, taruhan nyawa sosok ibu.

"Maaf ma, Aidar belum bisa turutin apa kata mama," Rini terus tersenggal senggal agar Aidar mau menerima keputusannya. Membelai penuh sayang tangan Aidar yang memucat dan dingin. Wanita paruh baya itu memberikan jeda sebentar, namun nyatanya penghentian waktu itu tidak dibalas oleh Aidar.

"Kamu mau liat mama dipenjara?" tanya balik Rini. Lelaki itu hanya menggelengkan kepala tanpa merespons perkataan mama. Membuat Rini semakin merasa terpojokkan.

"Kamu mau mama ditahan dibalik jeruji besi? DIPENJARA SELAMA BERTAHUN TAHUN BAHKAN SEUMUR HIDUP?!" sentak Rini pada anaknya.

"Ma. Itu karna mama yang salah. Bukan Aidar. Aidar nggak salah apa apa. Kenapa harus Aidar yang menanggung kesalahan mama?"

Rini kembali menangis. Merintih memohon pada Aidar. "Mama tau Aidar. Mama mohon, bantu mama sayang,"

Aidar menoleh menghadap Papa. Lelaki paruh baya itu tengah asyik makan. Tanpa memerdulikan sekitar. Saat panggilan itu mengarah pada Wirama. Beliau berdehem sebentar. "Turuti apa kata mama kamu," tutur Wirama tegas.

"Huft, Aidar akan menuruti perintah mama. Aidar akan menikah dengan Asa. Tapi jangan salahkan Aidar, kalau sampai dia tau siapa sesungguhnya kita,"

Lelaki dengan kaos hitam menghentikan lamunannya. Memindai pilu Asa. Beredar mencapai sang istri. Menuju ranjang seraya membenahi rambut. Dilihatnya, Asa masih terlelap dalam tidurnya. Apakah ia tega jika suatu saat nanti kejadian diluar nalar terjadi pada Asa? Melihatnya menitikkan satu air mata pun Aidar tak tega. Bagaimana nantinya?

Aidar perlahan duduk, menarik tangan manis Asa. Terus memantau parasnya. Membelai halus tangan itu. Aidar terenyuh memandang wajah mulus Asa. Faktanya Asa menjelma kian cantik saat dia tidur. Semakin merapat menempelkan tangan ke pipi Asa. Pergerakan Aidar sepertinya tidak mampu mengusik kedamaian mimpi Asa. Ia masih terlelap nyenyak menikmati.

"Ajari aku untuk mencintaimu Asa," lirihnya. Lelaki itu memejamkan mata. Kelambu yang menyingkapi kaca mulai tersikap oleh terpaan angin malam. Hari ini cukup dingin. Pantas saja jika Asa tak mau membuka mata.

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang