Keluarga Pendusta

134 19 1
                                    

---
Bismillah, semoga feel nya dapettt
Jangan lupa pencet bintangnya kawand:)
____





"Aidar punya abang pah, mah?" Aidar mengulangi pertanyaannya berulang kali. Mereka tetap tak bergeming. Menatap dalam sang anak.

Rini tersentak, ia spontan berdiri hingga camilan berjatuhan. Menekan dada menahan keterkejutan. Ia mendekat ke Aidar. Lain hal dengan papa Wirama. Beliau ikut berdiri dengan tenang. Bersidekap seolah tak ada apa apa. Mama Rini meraih lembut tangan Aidar. Menjawabnya seraya menetralkan mimik wajah.

"Bukan begitu nak, kamu salah dengar," Aidar membuang muka, melepas genggaman mama. Ia tidak salah dengar, perkataan itu jelas menusuk gendang telinga. Menyisir rambut kebelakang, Aidar menatap nyalang. "Aidar nggak tuli mah,"

Menghela nafas sebentar, Aidar kembali melanjutkan. Pikirannya melayang, menuding orang tua. Selama ini, ia tidak tahu menahu soal abangnya. Yang Aidar mengerti, hanyalah ia yang menjadi anak tunggal dan satu satunya dikeluarga ini.

"Aidar nggak habis pikir, apakah belum cukup kalian membohongi Asa?"

Mama Rini diam seribu bahasa, menundukkan kepala dalam. Mengaitkan satu persatu jemari. Diam diam juga, ibu dari Aidar menitikkan air mata. Air bening itu meluncur bebas hingga kelantai. Papa Wirama mulai kehabisan sabar, raut tegas kembali beliau perlihatkan. Otot otot tangan mengepal.

"Asa dibohongi apa?" Beo Asa dari atas tangga.

Mereka terjirat, Rini menegakkan tubuh dan menyapu air mata kasar. Tersenyum tulus pada menantunya. Papa Wirama menghembuskan nafas panjang, mengusap dada pelan. Senyum miring ditampilkan oleh Aidar. Ia menuding orang tua, kembali bersua.

"Aidar baru sadar, seharusnya Aidar tidak dilahirkan dalam keluarga pendusta ini!"

PLAKK

"JAGA BICARA KAMU AIDAR!!!"

Apa yang ditahan Wirama, akhirnya keluar. Tamparan keras beliau layangkan langsung pada Aidar. Wirama sudah berupaya mengontrol amarah. Namun, agaknya Aidar main main dengan amarahnya. Ia memperhatikan bekas tamparan, tangannya merah. Apa sekeras itu tamparan Wirama?. Aidar tertawa sumbang, memegang pipi. Wajah bagian kanan serasa berdenyut nyeri. Panas merambah hingga kehati.

"Kak Aidar nggakpapa?" Asa berlari mendatangi sang suami. Membantu mengusap pipi merah Aidar. Suaminya itu malah menekan kuat tangan hingga pipi sedikit mengelupas. Aidar menoleh, menjauhkan jangkauan Asa.

"Sekarang, Aidar tanya sekali lagi. Kalau memang benar Aidar punya abang. Dimana dia?" lirih Aidar.

Rini tetap diam, memandang wajah lebam Aidar. Tak ada niatan untuk menjawab. Terlebih Wirama yang terus melihat tangannya sehabis menampar Aidar. Merasa jengah, Aidar memutuskan untuk pergi tanpa mengetahui jawaban pasti. Hatinya mencelos kala mama Rini membicarakan abang. Baru sadar, jika memang abangnya sudah tiada. Aidar tidak pernah diajak untuk ziarah dimakamnya. Lalu, bagaimana ini?.

"Maksudnya kak Aidar tadi apa mah, pah?" Asa mengerutkan dahi, tadi ia mendengar teriakan Aidar. Maka dari itu, Asa turun kebawah memastikan. Suasana rumah mencekam, diintrogasi oleh Aidar. "Tolong percaya sama kami Asa, Aidar belum mendengar obrolan kami secara utuh. Dia salah paham,"

Keringat dingin membasahi kening mama Rini. Suaranya terdengar parau seperti habis menangis. Papa Wirama mendekat ke Rini. Memeluknya erat, namun tangisan Rini semakin menggelegar. Asa semakin menautkan alis bingung.

"Kami membicarakan abangnya Aidar tadi, dia sudah tiada," jelas Wirama.

"Loh, abangnya kak Aidar kan masih hidup?" Pekik Asa.

Rini melepas pelukan Wirama. Memandang manik mata Asa penuh harap. "Abangnya kak Aidar itukan adalah..."

TOK TOK TOKK

Asa menghentikan bicara, pamit undur diri membukakan pintu. Meraih gagang pintu hati hati. "Nevan?!" ucap Asa.

Lelaki itu tak mengidahkan ucapan Asa. Ia langsung menarik tangannya. Menyeret Asa dengan cepat. Sampai gadis berhidung pesek merintih kesakitan. Genggaman Nevan sangat kuat, sudah bisa Asa pastikan. Tangannya kali ini, memar dan merah. Nevan menghempas Asa dibawah pohon mangga. Tepat samping rumah Aidar. Asa mengusap pelan pergelangan tangan. Bergumam menyalahkan Nevan.

"Apa yang barusan lo lakuin Sa?"

Nevan menatap tajam Asa. Kecewa dengan tingkahnya hari ini. Untung saja, ia cepat menyadarinya. Asa menautkan alis bingung. Lebih dekat ke Nevan, ia mempertanyakan maksudnya.

"Lo mau bocorin identitas gue? Sumpah Sa, jantung gue serasa mau copot. Untung, gue gercep. Kalo nggak? Abis riwayat gue. Kok lo sampek ember banget sih, Sa?" tanya Nevan tanpa jeda.

Mulut Asa menganga mendengar penuturan Nevan. Bibir Nevan yang tipis bergerak dengan sempurna dan lihai. Bahkan, Asa tidak mengerti apa yang ia bicarakan.

"Lo ternyata cerewet juga ya Van," lontarnya.

"Lo yang ember! Udah gue bilangin, jangan diumbar. Ngeyel banget jadi bocah!" sentak Nevan.

Asa mencoba meresapi kata kata Nevan. Merangkai didalam otaknya. Memaknai maksud perkataan Nevan. Ia tipikal gadis yang kadang sulit peka.

"EH, YA AMPUN. MAAF NEVAN, GUE BARU PAHAM!" teriaknya membuat Nevan terlonjak kaget.

Laki laki bertubuh atletis memalingkan wajah. Bersandar pada pohon mangga yang kokoh. Mata Nevan mendongak keatas. Melihat awan yang berjajar rapi membentuk gambar love. Sungguh indah, Nevan membayangkan betapa bahagianya jikalau dia berkumpul bersama keluarnya. Bermain kejar kejaran bersama adik nakal itu. Bergurau sampai tak ingat waktu.

"Van, gue minta maaf ya. Mulut gue asal nyeplos. Mau ya maafin gue?"

Gadis berlesung pipi meraih tangan Nevan. Sedari tadi ia hanya diam menatap langit. Asa menggeram kesal. Meremat kencang jari jari Nevan. Lelaki itu terpekik, sorot matanya menajam disertai pupilnya yang tak bergerak.

BUGHH

"NEVAN?!" teriak Asa keras.

Tubuh Nevan terhuyung kebelakang. Ia menyangga tubuhnya dengan menempelkan tangan ke badan pohon. Perut Nevan nyeri, ia menengadah ke atas, melihat pelaku. "Aidar?" batinnya.

Nevan memegang perut. Nafas Aidar memburu berusaha menetralkan pacu jantung. Mata Aidar menggelap melihat Asa dengan berani menyentuh tangan sang musuh. Apalagi raut Asa yang manja, membuat Aidar jijik. "Oh, udah berani ya, lo kesini. Samperin bini gue dirumahnya?"

"Gue mau tagih jaket gue," jawab Nevan tenang.

"HEBAT YA SEKARANG, BERANI MINJEMIN ASA JAKET! JAKET GUE DI LEMARI ADA BANYAK KOK. NGAPAIN LO PAKE ACARA MINJEMIN JAKET LO ITU?!,"

"Kak Aidar, udah! Ya ampun. Kakak nggak tau kejadiannya gimana. Jangan simpulin dulu," tawar Asa.

Ia mengusap bahu Aidar lembut. Menenangkan sang suami. Jiwa cemburu Aidar sudah keluar. Berdasarkan hasil riset Asa, ia harus berhati hati dalam berucap ketika suaminya cemburuan. Jika tidak, maka siap siap saja. Asa akan dibantai!

"Aidar, gue mohon sama lo. Sikap kekanak kanak an lo itu, hempas aja!" ucap Nevan menegakkan tubuh.

"Apa maksud lo? Hah?!"

Rini mendengar teriakan maut Aidar. Berlari mendekati sang anak. Alangkah sangat terkejutnya Rini, ia melihat Aidar dan Asa bersama Nevan. Salah satu orang yang Papa Wirama curigai tentang tanda lahir Alvaro.

"Aidar, udah sayang. Jangan diterusin, nanti didenger sama tetangga,"

"Mama gak usah ikut campur!" sentak Aidar pada Rini.

Perempuan paruh baya itu berlingsut mundur. Nada tinggi Aidar agaknya menjadi tanda bahwa anak itu sedang dalam mode harimau. Rini kembali menatap dalam netra biru Nevan. Pandangannya bergerak turun, hingga Rini terpaku dengan tangan Nevan. Tanda lahir itu...

Benar apa yang dikatakan Papa Wirama. Sama persis dengan Alvaro. Tapi, mungkinkah jika itu dia? Bukankah tanda lahir seperti itu banyak diluar sana?

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang