Manja

125 12 0
                                    

5 bulan kemudian.

Hari berganti dengan cepat. Yang datang akan pergi, yang keras akan luluh, dan yang kaku akan lembut. Begitulah kiranya hakikat hidup. Masalah silih berganti tak kunjung temukan jawaban pasti. Ribuan doa telah mengangkasa lantas bibir tak henti henti nya memohon ampun. Ajaknya, jikalau ini adalah hubungan timbal balik antara masa lalu. Mungkin tidak heran aku mendapatkan ini semua. Ketika aku mendengar nasihat seseorang ditepi jalan dahulu "kau tak akan tenang jika hati terus saja dendam." Namun sungguh! ketika perlahan berusaha mulai menghilangkannya. Wajah tragis ayah yang berlumur darah dan bercecer diaspal itu menghantui memori.

Tak bisakah aku mendapatkan akar permasalahan ini. Lalu biarkan aku bahagia tanpa terikat pembalasan dendam. Untukmu diluar sana, tolong jangan jadi sepertiku. Biarkanlah aku sendiri yang merasakan. Sehancur apapun jangan sampai dikuasai dendam. Sungguh kau takkan mampu.

Namun kali ini aku sejenak bisa mengistirahatkan pikiran. Sifat manja yang akhir akhir ini diberikan oleh Kak Aidar. Dia sangat overprotektif kepadaku. Apa apa harus ijin, apa apa harus menuruti kekanak kanakannya itu. Aku terkekeh geli mengusap lembut perut buncitku. Rela harus memutus sekolah demi anak diperutku ini. Aku tidak apa apa, aku bahagia. Menjadi ibu diusia muda juga termasuk halu haluku dulu. Panggilan lembut itu membuyarkan lamunanku. Terhenyak dan membersihkan alat masak ditempat semula. Kata suamiku, papa mama serta Nevan ingin mengunjungi kami.

"Sayang! ih. Kan aku sudah bilang jangan capek capek," tangan kokoh itu melingkar kemudian mengelus lembut perutku. Dagu Kak Aidar ia letakkan dibahuku sembari mengendus menggelitik leher. Sudah tak heran jika suamiku bersikap begini.

"Kak, Asa nggapapa kok. Oh ya hari ini papa mama sama Nevan jadi kesini ya?"

Kak Aidar tiba tiba mencium dahiku sangat lama. Aku diam menikmatinya lantas tersentak dan hanya diberi kekehan khas darinya. Hatiku menghangat diberi perlakuan seperti ini. Aku sungguh berharap, ini akan menjadi kisah abadi yang aku kenang sampai mati. Aku harap sampai kapanpun rumah tangga ini takkan goyah.

"Hmm, aku cinta kamu Asa. Kemarin, hari ini, bahkan seterusnya sampai aku menghembuskan nafas terakhir. Percayalah suatu saat nanti kita akan terus bersama. Dan aku akan ikut menua bersamamu,"

"Asa juga cinta sama Kak Aidar. Kita lewati semuanya bersama sama yaa," aku melepaskan rengkuhannya. Berbalik menatap manik mata Kak Aidar yang penuh dengan ketulusan. Tidak menyangka aku bisa kembali pada fase ini. Dimana kasih sayangnya hanya untukku seorang, istrinya.

"Aku minta maaf atas perlakuanku yang dulu. Huh! Jelita itu memang benar benar licik sayang," aku tersenyum samar membelakangi suamiku. Kemudian membawa beberapa camilan dimeja makan yang diikuti Kak Aidar dibelakangku.

"Itu tau."

"Sepertinya Jelita harus dibawa ke RSJ," ia mengambil camilan kue yang baru saja aku taruh dimeja dan memakannya seraya mengamati diriku. Aku yang ditatap demikian bersemu malu.

"Oh ya, anak papa Aidar yang gantengnya paripurna ini ngga boleh nakal diperut mama yaa,"

Lagi lagi aku bersyukur dalam diam memperhatikan Kak Aidar yang mengecupi perutku. Aku tak sabar anakku lahiran. Maka, nikmat manakah yang engkau dustakan? "Iya papa gantengg!"

---

Disini, dimana dendam memang benar benar diperlihatkan. Siapa yang mengganggu pasti ada hukumnya. Kalian tahu apa itu? ya. kematian. Gadis itu berdiri anggun didepan jendela menjulang atas yang megah. Menatap sekeliling kota dengan lurus. Matanya menggelap ketika kejadian itu masih saja membekas. Padahal itu sudah berbulan bulan lalu. Ia benci pengkhianatan. Saat ia kecil,secara tidak sadar orang tuanya lah yang memulai. Ketika ia kecil belum mengerti apa apa harus dipaksa mengerti. Pengkhiatan itu jelas dimatanya. Bergetar ketakutan kala sang papa dengan berani membawa perempuan lain dikamar rumah. Ibunya yang dilanda amarah pun menggelap. Menampar keras papa yang masih diam menggandeng pelakor itu. Papa yang tak mau kalah mendorong mama hingga terbentur ujung meja kaca hingga darah menetes ke lantai. Lelaki bejat bersama perempuan gatal itu pergi meninggalkan mama yang berteriak menangis tersendu sendu. Dan esoknya, ketika ia membuka mata. Ia dikejutkan kabar bahwa mama papa nya telah tiada disebabkan karena kecelakaan pesawat.

Jelita trauma, ketika ia memejamkan mata. Semua yang telah tergenggam akan terlepas.

Dan semua itu memang benar. Ketika ia berhasil merebut Aidar dari Asa. Semesta kembali berlaku tidak adil menurutnya. Jelita hanya ingin ia dicintai oleh orang lain, mengerti hatinya yang sedang rapuh membutuhkan sandaran, bahkan trauma itu terus saja menghampirinya didalam mimpi. Ia menghembuskan nafas panjang. Pigura kecil diatas nakas itu ia ambil perlahan. Mangusap objek itu dengan memejamkan mata.

Dibangku taman yang terletak ditengah kota itu memberikan ketenangan tersendiri bagi Jelita. Ramai anak anak yang bermain tertawa bersama tanpa beban. Ingin rasanya dia kembali kemasa lalu dan mencegah orang tuanya pergi naik pesawat. Namun apalah daya, Jelita sudah tidak bisa berbuat apa apa. Rencananya kesini tadi untuk menemui Aidar. Lelaki itu semalam telpon untuk mengajaknya bertemu ditaman. Jelita sudah yakin Aidar bisa menyembuhkan lukanya.

"Sudah lama?" Jelita menoleh mendapati Aidar disebelahnya yang menyodorkan air mineral. Ia tersenyum lembut dan mengambilnya.

"Tidak juga. Ada apa memanggilku kesini sayang?"

Jelita merengkuh lengan candu Aidar. Tapi entah kenapa ada yang mengganjal pada raut Aidar. "Bisakah kita sampai disini saja? jangan adu domba diriku dengan istriku, Jelita. Tolong biarkanlah kami bahagia."

"M-maksudmu? ayolah sayang, mari kita bersenang senang." ada sedikit rasa gelisah pada hati Jelita. Tatapan tajam yang Aidar layangkan itu membuatnya merinding.

"KAMU PIKIR AKU TIDAK TAU KEBUSUKANMU JELITA?!! YANG MENGHALALKAN SEGALA CARA TANPA MELIHAT SEKITAR. HEII SADAR, AKU JUGA TIDAK YAKIN TUHAN AKAN BERBELAS KASIHAN PADAMU."

Jelita berdiri menghadap Aidar yang tengah duduk sambal memperlihatkan aura kemarahannya. Namun belum sempat ia membalas perkataannya. Tiba tiba saja ia dikejutkan dengan lemparan amplop coklat didepannya. "KAMU BUTUH UANG? AMBIL SAJA. JANGAN USIK HIDUPKU LAGI."

"S-sayangg."

"Jangan panggil aku dengan panggilan menjijikkan yang keluar dari mulutmu!"

"Sekali lagi, kamu berhasil membuat seseorang menderita. Menjauhkan sahabatnya, membully, menampar, mengusir. Kamu hebat Jelita."

Ia melempar keras pigura itu hingga tak berbentuk lagi. Dulu ketika Jelita berhasil menjauhkan semua orang dari Asa. Ia juga berhasil merebut suaminya. Bertukar kasih sayang dibelakang Asa. Hingga semuanya lenyap, hancur berkeping keping. Jelita kreatif. Keping keping luka itu ia kumpulkan kembali. Merancang sebuah rencana indah yang menurutnya bisa menarik kembali miliknya.

"Boss, semua sudah siap."

"Hmm."

Tunggu tanggal mainnya! Yang menurutmu jahat tidak selalu jahat. Jelita hanya butuh sandaran mendengar keluh kesahnya. Kadangkala kita terlalu pecaya diri menyimpulkan bahwa orang jahat selalu jahat.






tadaaa!!!!

Detik detik menuju ending....

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang