Terungkap

155 10 3
                                    

Berbagai macam jamuan berjajar rapi dimeja makan. Hasil karya Asa memasak selama kurang lebih setengah hari. Aidar memang menyuruh untuk berhenti dan beristirahat. Namun, bukan Asa namanya jika tidak ngeyel. Asa tersenyum puas menatap meja makan. Suaminya itu mendelik, menggenggam tangan Asa erat. Ia menghembuskan nafas Lelah, berulang kali Aidar memperingati Asa.

"Capek sayang?" tanyanya mengecup cepat pipi Asa yang dibalas kerlingan tajam.

"Sama sekali tidak kak,"

Asa melepaskan rangkulan Aidar perlahan. Benar benar ia tak habis pikir sifat Aidar yang manja ngga ketulungan ini. Empat bulan lalu Lelaki berjambul cetar itu menangis sesegukan seraya meminta maaf pada Asa. Ia yang bingung sewaktu dulu hanya bisa pasrah dipelukan Aidar. Ternyata sehari setelahnya Aidar memberikan pengakuan padanya. Sang suami telah tergiur pada pesona Jelita dan menjalin hubungan dibelakang Asa. Mereka menjauhinya, membentaknya, yang lebih parah malah Asa dijatuhkan di kolam renang saat perayaan kenaikan kelas. Asa juga manusia, ia marah. Namun siapa yang ia jadikan pelampiasan marah? tidak ada. Satu satu nya orang yang masih mau menerima dirinya hanyalah Nevan.

"Suamiku sayang, Asa mau mandi dulu yaa."

Ia berangsung mundur ke arah tangga. Terkikik geli atas panggilan tadi. "suamiku sayang." jiakhaha baper. Namun ketika diundakan pertama langkahnya terhenti. "Mandi bareng?"

"DASAR!!"

"Dasar apa?" menaikkan alis sebelah, Aidar tersenyum menggoda istrinya.

"Dasar ganteng!"

---

Ketukan pintu itu membuat Aidar terenyak. Lamunan atas kejadian silam itu seketika bubar. Ia menghela nafas kasar. Tak mungkin peristiwa suram lalu langsung menghilang dalam ingatannya. Ada sedikit rasa khawatir, terjadi atau tidak. Suatu saat Asa dalam bahaya. Lagi lagi ia merasa gagal menjadi suami. Putus dari Jelita tak urung membuat Aidar lupa dengan ancaman wanitanya dahulu.

"Ingat ini Aidar. Jika aku tidak bisa mendapatkanmu, semua wanita dimuka bumi ini tidak boleh mendapatkanmu juga. Termasuk Asa!"

Dan entah kenapa akhir akhir perkataan itu berputar diotaknya.

"BODOH! MAU DURHAKA LO SAMA ABANG HAH?!" Nevan menatap tajam pada adiknya yang melamun. Ia menggebrak meja hingga suara nyaring terdengar. Aidar tak mau kalah, ia melempar bantal sofa tepat dimukanya.

"Hahahaha komuk lo lucu bang," ia tak henti hentinya tertawa melihat raut Nevan yang sekejab lagi menjadi harimau. Aidar mempersilakan abang Nevan duduk disampingnya. Ia memperhatikan lamat lamat.

"Dar, lo napa sih?"

Pertanyaan dari Nevan tak diidahkan olehnya. Ia mendesah pelan mengedarkan pandang mencari keberadaan sang istri. Tapi tak kunjung ia dapati batang hidungnya. "Bang, lo janji ya sama gua. Jaga istri gua, jangan sampai dia disakiti lagi."

"Lo ngomongin apa sih Dar?

"Janji dulu sama gua bang."

Nevan yang merasa tak beres pada perilaku Aidar hanya menggangguk pasrah. "Gua janji buat jagain Asa,"

Ketika siluet papa mama mereka tertampak nyata pada mata. Aidar dan Nevan saling bungkam. Menunggu kedatangan orang tua, Aidar tersenyum pada abang. Menepuk perlahan bahu kokoh itu. Ia akhirnya bisa berdamai pada musuh bubuyutannya lalu. Sesuai apa arahan dari istrinya, bahwa tidak baik memendam dendam pada orang lain. Aidar berucap lirih. Bibirnya membentuk kalimat 'terimakasih'. Nevan diam memandangi pungguh adiknya yang kian menjauh. Ada apa sebenarnya?

"Assalamualaikum Aidar, Asa."

Mama Rini langsung menaruh barangnya lantas menuju meja makan. Beberapa makanan tersaji dengana apik. Ia mengerjabkan mata takjub. Apakah Asa yang membuatkan semuanya? Sungguh masakan menantunya itu terlihat menggiurkan dimata Rini. Papa Wirama, Nevan, beserta Aidar menghampiri mama Rini. Mereka duduk tenang seraya menunggu Asa yang konon kata sang suami, Asa sedang mandi.

"Apa sekarang waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya?" tanya Rini tiba tiba pada keluarganya. Ia benar benar diambang bersalah. Menyembunyikan semua kedustaan pada Asa. Gadis itu berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Oh, mama udah siap dipenjara?"

Pertanyaan balik dari Wirama sontak mendapat gelengan kepala dari Rini. Aidar hanya terpaku diam ditempat sembari menggigit pisang yang menurutnya terasa pahit. Bukan, bukan pisangnya yang pahit. Tetapi hati dan pikirannya. Ia juga berhasil mendustai Asa. Aidar tetap dihantui oleh perkataan Asa sewaktu dimakam kala itu. Nyawa dibalas nyawa.

"Tapi pa! Kita ini sudah membohongi Asa. Iya kalau bohongnya cuma masalah sepele. Ini masalah besar papa. Gara gara kita Asa harus kehilangan ayahnya. Lalu setelah itu Nur sakit sakitan dan juga meninggal. Semua karena kita!"

"Sudahlah ma," akhirnya Aidar bersuara. Ia jengah harus membahas hal ini didepan makanan.

Nevan menggerutuki kebodohannya. Jelas ia tak tahu apa apa tentang ini. Yang ia tahu hanya ayah Asa yang meninggal karena kecelakaan. Dan pelakunya adalah keluarganya ini. "Yang lalu biarlah berlalu ma. Semua kan terlewat dan tergantikan dengan yang baru."

Kedua kaki Asa menengang. Tangannya bergetar mengepal dengan kuat. Kata kata busuk itu mengalir dengan sempurna dihadapannya sendiri. Oh, ternyata ini hal lain yang disembunyikan keluarga suaminya itu. Mengapa Asa bodoh sekali baru menyadari saat ini. Ia menunduk dalam memandang calon anaknya. Sekuat tenaga ia menepis rasa itu, Asa sudah terlanjur kecewa pada mereka.

"SEMUA YANG BERLALU MEMANG AKAN HILANG TERGANTIKAN YANG BARU. TAPI TIDAK DENGAN HATI DAN CATATAN SEJARAH HIDUP!!!"

"A-Asa?"

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang