Pamit.

621 19 6
                                    

"BANGUN BODOH!!"

Teriakan demi teriakan itu benar benar mengusik tidurku. Mau tidak mau aku membuka mata. Menggeliat pelan menutup mulut yang tidak tau malu ini. Mereka, tiga lelaki kekar berotot panas menendang kakiku. Aku yang tak terima langsung menegakkan badan. Dari ventilasi udara terlihat jelas jika sudah pagi. Semalam aku memikirkan untuk keluar dari sini. Tapi aku tidak bisa menemukan jalan keluarnya.

Lagipun aku tidak mau mengambil resiko. Aku tak ingin jika calon bayiku dalam bahaya. Cukup segini saja aku bergetar ketakutan. Membenarkan tatanan rambut yang tak karuan, aku berusaha bangun. Tempat tidurku memang dikatakan layak. Kasur empuk dan bantal. Seperti orang orang pada umumnya. Tapi bedanya, berada ditempat yang kumuh.

"Iya iya. Aku bangun."

"Lama sekali kauuu!!!" salah satu dari mereka menarik paksa pergelangan tanganku. Aku yang belum siap, sedikit terhuyung kebelakang kalau saja aku tidak bisa mengimbanginya.

"PEREMPUAN SIALAN. IKUT KEMARI KAU!" hatiku meringis mendengar teriakan itu. Heran sekali, dari kemarin malam mereka terus saja berteriak teriak begitu.

Brakk

Remuk sudah tubuhku, aku terlonjak kaget ketika mereka tanpa perasaan mendorong paksa diriku duduk disebuah kursi. Entah aku dibawa kemana ini, aku tidak tau. Yang pasti disini terlihat agak sedikit bersih dari tempat sebelumnya. Semua barang tertata rapi. Aku mengusap bokongku yang berdenyut nyeri. Sekuat tenaga aku menahan sakit. Salah satu nya demi anak yang tengah aku kandung saat ini. Aku tidak mau dia kenapa kenapa.

Datang lagi dari arah berlawanan. Perempuan dengan pakaian serba hitam, tak lupa kacamata hitam yang tersemat. Aku sudah menduga dia itu Jelita, hatiku menghangat. Kali ini aku akan bebas. Sesuai perkataan Jelita kemarin, aku akan terbebas dari kesakitan ini. Jelita mendekat kearahku. Menurunkan kacamatanya dan menatap tajam iris mataku.

"Kau tau. Aku sangat bersyukur kali ini kau sudah ada pada genggamanku." Jelita menunjukkan senyum devilnya. Menarik daguku keatas. Aku terlonjak kaget dengan perlakuannya. Bukannya dia ingin membebaskanku?

"J-Jelita?"

"Bagaimana tadi malam? Sudah kenyang?"

Perkataanku agaknya tak direspon oleh Jelita. Aku mengangguk pelan, ia malah tertawa terbahak bahak tepat didepan wajahku. Sebenarnya aku bertanya tanya pada batinku, apakah Jelita sudah tidak waras? Ia kemudian mengambil sebuah benda yang berada pada saku kirinya. Aku tetap diam namun diam diam juga aku mengamati setiap pergerakan Jelita. Tiga lelaki bertubuh kekar itu disamping kanan kiriku. Mereka nampak tenang menikmati semuanya. Jelita perlahan mengeluarkan benda itu.

Aku kembali membeku, itu sebuah gunting. Iya gunting! Alat yang biasanya untuk memotong sesuatu. Perasaanku tidak enak sekarang. Hingga tiba tiba saja--

"AKHH!!!" aku berteriak dengan kencang ketika Jelita menarik kepalaku. Ia menggenggam rambut panjangku lantas dengan teganya ia mengguntingnya. Rambutku yang panjang dan lurus kini menjadi sangat pendek. Mendekati botak!

"Apa yang kau lakukan Jelita?!!"

Ia menyeringai tipis. Membuang asal gunting yang ia gunakan tadi. "Apa yang aku lakukan??? Tentu saja memberimu sebuah pelajaran berharga, Asa."

Aku tak bergerak barang sedikitpun, tetap berusaha tenang menetralkan deru nafas dan pacu jantung yang terus menggila. Juga diam tak menanggapi apa yang barusan Jelita katakan.

Mungkin karena tak ada jawaban, Jelita kembali buka suara. "Sedari kecil, aku tak pernah merasakan apa itu kasih sayang. Hidupku abu abu, hingga Aidar datang dikehidupanku. Memberikan ku secuil harapan untuk kembali hidup."

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang