Inikah Takdir?

97 10 1
                                    

Ucapan dokter yang terhenti membuatku geregetan. Ini mau ngajak ribut apa gimana? Orang lagi penasaran malah dibuat makin penasaran. Aku menyentak dokter itu, mendobrak meja penghalang sedikit keras.

"Bahwa apa dok?"

Sudut bibir dokter bername tag Filanbi tertarik keatas. Mencegat tanganku yang ingin kembali memukul meja. Membuka kertas hasil itu dengan hati hati.

"Hasilnya positif mbak,"

❤❤❤

Asa keluar dengan haru, terus menerus membelai perutnya. Bagaimana tidak? Ia akan menjadi seorang ibu. Setibanya diruangan Aidar, Asa harus mengabari sang suami. Kebahagiaan mana lagi jika kedua insan disatukan dalam pernikahan. Toh, setiap pasangan pasti menginginkan anak kan?.

Niat hati ingin langsung masuk. Kaki Asa membeku, memperhatikan siluet laki laki yang tengah menunduk dalam. Duduk didepan ruang Aidar. Diamati lagi, punggungnya bergetar menahan tangisan. Asa masih diam, tak beranjak sedikitpun dari posisi. Samping kanan kiri yang sesak dipenuhi oleh lalu lalang orang. Asa menyempil satu disana. Siapa dia? Sesaat ia yakin atas pernyataan, Asa menghampirinya lantas menepuk pelan bahu. Lelaki itu menoleh ke Asa, menyeka air mata kasar.

"Nevan," panggil Asa terpekik hebat. Ia menonyor kepala Nevan saking kagetnya. Mengusap cepat dada melihat raut Nevan yang menyeramkan.

"Sa, g- gue. Adik gue hampir sekarat didalam sana," ia langsung menyambar tubuh Asa. Mendekap erat sesegukan, wanita itu hanya menepuk punggung Nevan.

Bukan Nevan saja yang merasa sedih, Asa pun juga lebih dari sedih. Tidak ada seorang istri yang bahagia ketika sang suami bertaruh nyawa. Asa melirik sekitar, tak ada siapapun. Sekadar dia dan Nevan disini.

"Gue juga sedih Van. Sesabar sabarnya orang sabar, pasti ada batas wajar. Dan gue sampai didepan batas itu Van. Kita sama sama kehilangan dia," melepas perlahan dekapan Nevan, ia kemudian berdiri mendekati pintu ruangan. Berbalut kaca besar sedikit buram. Asa mengintipnya, menutup mulut tak percaya.

"Kak Aidar harus kuat! Asa dan dedek bayi selalu berdoa untuk kakak. Biarkan lantunan ayat kami mengudara hingga Tuhan mendengarnya,"

Asa tak berani berucap itu, sudah ia patri dalam diri. Bahwa tidak ada satupun yang boleh tahu tentang kehamilannya. Sebelum Aidar yang mengetahui terlebih dahulu. Berdiri depan ruangan, Asa bersandar didinding. Merosot kebawah dan membelai kasar kaca itu.

"Sa," Asa menoleh mendapati Nevan yang tengah berjalan mencapainya. Duduk berjongkok disamping Asa.

"Gue habis donorin darah buat Aidar,"

"Lo beneran? Sampe segitunya rasa sakit Kak Aidar?" Ia tersentak atas pelafal an Nevan, menoleh samping kanan menatapnya terheran heran. Pertanyaan Asa pun dibalas anggukan kepala.

"Mama sama papa udah dateng?" lanjut Asa. Tarikan nafas Nevan terdengar, kembali memandang Asa pasrah.

"Bahkan mereka yang minta gue buat donor darah," jawab Nevan berlalu menuju kursi tunggu.

Perempuan dengan pakaian lusuh itu membelalakkan mata. Bertatih menghampiri Nevan. Lantas duduk disamping, menjarah tangannya. Asa berujar kembali. "Kok bisa?" Nevan melayangkan pandang tertuju poster didepannya. Membalas genggaman tangan Asa.

"Mama Rini punya riwayat penyakit diabetes, sedangkan Papa Wirama golongan darahnya nggak sama,"

"Khem! Bisa kita bicara sebentar Nevan?"

❤❤❤

Disinilah Wirama dan Nevan berada. Taman belakang rumah sakit yang sepi dari pengunjung. Wirama menggeretnya ingin mengajak bicara. Sudah tak ada alasan lagi, semua karakter Alvaro ada didalam diri Nevan. Beliau berdehem sejenak untuk mencairkan suasana. Hawa sejuk disini hanya membuat Nevan buncah. Apakah ini waktu yang tepat?.

"Duduklah disini. Saya ingin bicara serius dengan kamu," ucap Wirama membimbingnya bersandar pada kursi taman. Lalu ia ikut duduk disampingnya, membenahi jaket merah yang sedikit berantakan.

Nevan menegakkan badan, meniup tangan yang terus gemetar tanpa kendali. Menoleh pada Wirama, namun beliau malah melemaskan otot otot kaku seraya menatap kosong hamparan taman. "Ada perlu apa dengan saya?" tutur Nevan memecah keheningan antara mereka. Ia tidak mau membuang waktu sekadar mengungkit masa lalu.

"Siapa kamu sebenarnya? Ke-kenapa setiap berada didekatmu, hati saya terlalu yakin. Bahwa kamu adalah anak saya yang dihilang," Wirama menatap dalam iris mata Nevan. Menempatkan kedua tangan pada bahu lelaki berpostur sempurna. Pandangan mereka bertemu, saling membalas rindu.

"Pukul 14.59, tepatkah jika kenyataan besar itu gue bongkar? Namun kita tidak tahu kejadian satu menit kemudian bukan? Sekiranya diteruskan, apakah hati sanggup diterkam luka berulang?"

Dua menit beradu pandang, Nevan akhirnya melepas. Menghembuskan nafas pasrah, memantabkan diri ingin berujar jujur. Mencoba mengatakan hal sebenarnya pada Wirama. Sungguh! Ia rindu dengan keluarga besar. Apalagi sang adik yang dibalut peralatan medis.

"Jika benar saya anak yang hilang itu, ada masalah apa?" bukan nada jengkel, tapi entah kenapa Nevan sedikit teriris. Seharusnya sedari kecil ia mendapat kasih sayang itu. Sampai saat ini, Nevan merangkak menggapai semuanya.

"J-jadi?"

Bibir Wirama kelu ingin melanjutkan lontaran kata. Pertanyaan itu? Secara tidak sengaja membenarkan ucapan nya. Jadi benar, jika Nevan ialah anaknya?

"Saya tidak ada banyak waktu, apabila ingin menagih bukti. Mari kita bertemu di kafe Sivima. Besok sore pukul lima," Nevan berdiri lantas melenggang pergi. Menahan gemuruh dada seolah memaksa keluar dari zona nyaman.

"Akh, kamu anak papa? Mengapa aku bodoh sekali! Baru mengetahuinya ketika Aidar berjuang melawan sakit," pelan lelaki paruh baya dengan mendesah kencang. Meraup rambut kasar, menariknya tanpa merasakan pilu.

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang