Terbongkar...

131 11 1
                                    

Ceklek

Kemunculan sang istri tak urung membuat Aidar membuka mata. Ia seakan menikmati tidur pulasnya. Ditemani selang infus dan monitor disamping kiri, Aidar diam dengan wajah pucat pasi. Asa datang membawa air serta lap bersih. Bersiap untuk membantu Aidar mandi. Selama berada di rumah sakit, sama sekali Aidar belum tersentuh air.

Asa menempatkan wadah itu hati hati. Mengamati setiap jengkal tubuh Aidar yang lemas tak berdaya. Rambutnya berantakan juga kuku mulai memanjang. Lagi lagi, Asa menyalahkan diri sendiri. Kata 'andai' terus terucap pada bibir mungilnya. Semalaman tidak tidur karena berjaga jaga jika Aidar bisa sadar. Namun rasanya angan itu ialah harap belaka.

"Mandi dulu yuk kak, habis itu kita ngobrol. Si kecil udah kangen banget sama suara papanya,"

Perlahan ia mengusap lembut tangan Aidar. Membersihkan lekukan jari dengan telaten. Tersenyum tulus membayangkan betapa bahagianya ketika Aidar sudi menyapa nama Asa. Merambat keatas, ia menyingkirkan anak rambut yang mengganggu ketampanan suami. Kembali membelai seolah menghapus kegetiran keduanya. Asa tidak berani membenahi semua, memang mereka pernah begitu. Namun, wanita berbadan dua itu sedikit sungkan.

"Asa selalu berdoa agar kita segera bersama kembali kak," ia mengusap peluh. Mengusap sayang pada sang jabang bayi. Seraya mengangguk semangat memperhatikan tubuh kurus Aidar yang sudah tersapu oleh air.

"Kak Aidar tau? Jika ucapan kakak dulu adalah doa untuk hari ini. Disini, didalam rahim Asa. Ada kehidupan kak! Seseorang yang dinanti nantikan sepasang suami istri. Apakah kak Aidar juga merasakan itu disana?" lanjut Asa terkekeh geli. Bodoh sekali, Aidar belum mau menemui bayi mereka. Hanya Asa yang antusias dengan kedatangannya.

"Papa, dedek bayi juga selalu berdoa untuk papa. Semoga Tuhan mendengarkan lalu mengabulkannya ya pa," kegilaan Asa mulai meronta. Ia berbicara dengan nada anak kecil. Berambisi atas kesadaran Aidar. Namun apa diperlihatkan oleh sang suami? Ia hanya diam dengan suara monitor disamping.

Asa yang tidak bisa menahan akhirnya luluh. Tangis nya menggelegar seakan tidak menghiraukan hiruk pikuk dunia. Asa menyendiri pada sebuah kotak hitam yang penuh penyesalan. Ribuan doa telah tersematkan. Lantas kapan harapan itu bisa menjadi kenyataan?.

Menegakkan tubuh, ia segera menjarah tubuh Aidar. Menangis sesegukan dalam dekapan. Ia tidak peduli seberapa kotor tubuhnya sekarang. Bahkan, Asa nyaris tidak pernah mandi selama Aidar dirawat.

"A-Asa?"

❤❤❤

Kafe Sivima seakan menjadi bukti menangih kasih sayang oleh Nevan. Kalung liontin dan secarik kertas usang itu sudah ia siapkan matang matang. Jika memang, beliau tidak juga percaya. Entahlah. Nevan pasrah. Kaos hijau gelap dipadukan dengan celana jeans abu abu terkesan santai baginya. Mengetuk pelan meja kaca seraya raut tak sabar.

"Hari ini mungkin gue akan bahagia. Bisa bersatu pada keinginan yang gue idam idamkan sedari dulu. Kasih sayang Mama Papa barangkali akan meleburkan luka. Tapi, rasanya tak sama,"

Nevan menghela nafas berat. Memperhatikan satu persatu orang masuk kedalam. Tubuhnya bergetar sembari memandang setitik insan. Dua orang paruh baya yang sebentar lagi menjadi keluarga.

"Nevan," panggil Wirama tersenyum tegas. Ia mendaratkan tubuh dan melepaskan kaitan tangan pada sang istri. Rini pun ikut duduk disampingnya. Nevan yang terhimpit oleh keduanya berdehem sejenak.

"Ini semua bukti. Jika kalian percaya, saya akan bersyukur. Jika tidak, entahlah,"  ia menyodorkan kedua benda itu diatas meja. Membuang muka tak ingin mendapat kekecewaan lagi.

Wirama dan Rini tersentak, ia maju mendekati benda itu. Kalung liontin berwarna emas diraih oleh Rini. Menatap tak percaya atas kenyataan tak terduga. Perlahan ia mengusap lembut setiap jengkal kalung itu. Seraya menahan isakan yang sebentar lagi akan keluar. Kedua alisnya menyatu, pertanyaan dari Wirama seakan tuli ditelinga Rini. Ia hanya fokus pada benda tersebut.

"I-ini?" menutup mulut tak percaya. Bahkan Rini memastikan pada Nevan terbata bata. Wirama yang tak paham, hanya bisa mematung ditempat.

"Dahulu saya bertengkar hebat dengan diri saya sendiri. Dosa apa yang tertanam, hingga kedua orang tua saya sendiri tidak sudi mengakui saya sebagai anaknya? Seiring bertambah usia. Bukannya menyurutkan tanda tanya, malah menambah luka. Ketika saya telusuri bahwasannya orang tua saya masih hidup. Namun pergerakannya terhenti, seakan tidak peduli jika saya masih hidup sekalipun,"

Nevan menatap kosong gelas berisikan kopi hitam didepan. Bermonolog tentang dirinya yang malang. Tertatih meraih sebuah pengakuan. Menghela nafas kasar, hati Nevan teriris melihat pelupuk mata Rini dipenuhi air mata.

"Nevan anakku, iya ini anakku. Maafin mama sayang. Ini bukan seperti yang kamu duga," Rini semakin gelagapan memecahkan masalah ini. Buah hati yang ia kira sudah hilang ditelan bumi. Seketika hadir mewarnai kehidupan kelamnya. Ibu macam apa dia, bahkan ketika anaknya berjuang menahan hidup kejam. Rini sama sekali tidak menyadarinya.

Drtt drttt

Suara handphone Wirama menghentikan kesedihan mereka. Menyeka mata dengan desisan parau. Yang sakit bukan raga, namun hatinya. Ia membuka hp itu, lantas menjawab temang.

"Halo?"

"Papa segera kerumah sakit sekarang pa," perintah tegas dari ujung sana.

"Ada apa?"

"SEKARANG PA!!"

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang