Kapan

4.8K 698 31
                                    

Mark membuka matanya perlahan saat merasakan kekosongan di kasur miliknya, tidak mendapati adanya Haechan tertidur di sampingnya. Mengedarkan pandangannya, Mark mendapati ada sosok di samping tempat tidurnya, berjongkok dengan tubuh yang gemetaran. Mark lalu beranjak dari kasur, mendekati sosok yang diyakininya merupakan mama dari anak-anaknya lalu menggenggam tangan Haechan yang terasa dingin dan sedikit bergetar, ikut berjongkok di hadapan sosok yang menangis diam-diam. Membuatnya merasa bersalah karena melewatkan begitu banyak kesempatan menyadari bahwa pasangannya memendam seluruh emosinya tanpa membagi sedikitpun dengannya.

"Sejak kapan kamu kayak gini?"

"Gak tau." jawaban singkat diterima Mark setelah keraguan Haechan selama beberapa detik. Suaranya terdengar serak, membuat Mark bertanya-tanya sudah berapa lama waktu yang dihabiskan pria itu untuk menangis seorang diri. Juga berapa malam yang dihabiskannya tenggelam dalam pemikirannya sendiri, malam ketika dirinya tidak berada di samping pria itu untuk ikut mengurus kedua bayinya.

"Kenapa gak bilang?"

"Kamu capek, aku gak mau kamu kepikiran." suara bergetar Haechan membuat hati Mark teriris perlahan. Bahkan di titik kelelahannya, Haechan masih berusaha memprioritaskan orang lain, bukan dirinya sendiri.

"Hyuck. Sayang." Sesenggukan Haechan semakin terdengar kencang karena panggilan yang dilontarkan Mark diiringi oleh usapan lembut di punggung yang lebih muda. Juga perasaan bersalah yang menggerogoti seluruh tubuh Mark, membuatnya ikut gemetaran. Perasaan bersalah karena sempat merasa lelah menghadapi kehidupannya, melupakan eksistensi Haechan yang ternyata sama lelahnya, tapi memilih memendam semuanya dalam diam karena takut merepotkannya. "Jangan gini ya sayang. You can talk to me. Anything. Bener-bener apapun."

"Anakku nangis." potongnya cepat saat mendengar suara bayi yang menangis, padahal derai air matanya sendiri belum berhenti. Haechan berusaha untuk melepaskan pelukan Mark yang langsung semakin mengetatkan pelukannya, tidak memberi ruang kepada suaminya untuk beranjak, membuat Haechan berdecak kesal.

"Kamu. Tidur. Aku yang pegang anak-anak. Ya?" bujuk Mark pelan saat melihat Haechan sudah akan mengeluarkan kalimat bantahannya. Tangan Mark bergerak mengusap punggung sosok di pelukannya, posisi mereka masih terduduk di samping ranjang tapi Mark tidak berusaha memindahkan tubuh mereka. Tidak nyaman karena dirinya harus menahan berat tubuh mereka berdua tapi Mark harus membiarkan Haechan merilekskan tubuhnya terlebih dahulu. "Sayang?"

"Iya." jawaban Haechan juga posisi tubuhnya yang tidak sekaku sebelumnya, membuat Mark lebih mudah untuk memindahkan tubuh mereka berdua. Mark lalu menarik paksa tubuh Haechan berdiri dan berpindah untuk berbaring di ranjang, menahan segala upaya pria yang sudah ingin berlari ke arah putranya yang menangis. Juga menyelimuti tubuh gemetar pria yang lebih muda sebelum pergi untuk menenangkan putranya.

"Maaf ya Kak." ucapan lirih Haechan yang diarahkan kepadanya kembali membuat hati Mark semakin teriris. Karena ternyata Haechan masih merasa bersalah karena membuatnya terbangun di malam mereka untuk meredakan tangis sang bayi.

"Iya, gapapa. Sekarang Mama tidur ya, adek Ji biar sama Papa dulu." bujuknya ke arah Haechan yang tidak segera memejamkan matanya. Perhatian Mark beralih ke Jisung yang masih merengek setelah digantikan popoknya oleh Mark. "Adek tidur sama papa dulu ya, biar mamanya bisa istirahat. Kasian mamanya sudah capek. Ya?" Haechan tersenyum sebelum memutuskan untuk memejamkan matanya dan mengistirahatkan tubuhnya tanpa banyak berpikir mengenai hal lain.

***

Memang masalah paling besar dalam hubungan itu adalah komunikasi.

Close to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang