Sadina membuka pintu apartemen kala mendengar bel berbunyi. Seseorang yang sangat ia benci terlihat santai berdiri di sana, dengan senyum tipis seakan tahu bahwa kehadirannya tak diinginkan.
Belasan tahun saling kenal, baru kali ini Sadina melihat Satya dalam balutan pakaian santai, karena selama ini mereka tak pernah bertatap muka di hari libur.
Jelas ini pemandangan berbeda bagi Sadina. Dulu, ia sangat terbiasa melihat Satya dengan balutan seragam sekolah, dan kemudian jas kantor kebanggaan lelaki itu itu. Sekarang, Satya mengenakan kaus longgar, celana menyentuh bawah lutut, dan sendal jepit menghiasi kaki. Benar-benar tak bisa dikatakan sedang bertamu.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Sadina dengan nada jutek.
"Nemenin lo." Satya dengan santainya melenggang masuk ke apartemen, duduk di sofa tanpa dipersilakan, dan menaruh sekotak makanan di atas meja.
"Gue nggak butuh teman," ujar Sadina.
Memang di hari libur ia lebih sering menghabiskan waktu sendirian, dibanding berjalan dengan teman. Namun, itu jika kekasihnya tengah sibuk, lain hal jika tidak.
Sadina duduk di hadapan lelaki itu. "Ini hari libur, itu berarti kebebasan gue nggak lihat muka lo."
Satya bersandar. "Gue ke sini mau nebus kesalahan."
Sadina mengerutkan kening. "Salah yang mana?" Sangking terlalu banyak kesalahan Satya padanya, hingga tak bisa diingat lagi apa saja.
"Pernah datang ke sini, dan bikin lo berharap gue datang lagi," ujar Satya penuh percaya diri.
Sadina memutar bola mata, bosan dengan sikap tak serius lawan bicaranya itu. Saat ia bersandar, bunyi berasal dari perutnya membuat mereka berdua terkesiap.
"Tuh, nasi uduk." Satya menunjuk kotak makanan yang ada di dalam kantong plastik.
Saat itu Sadina sedikit bersyukur lelaki itu datang mengunjunginya. Tanpa rasa malu, dibukanya kotak tersebut. Wangi rempah melimpah menggugah selera, ia segera berdiri dan menuju dapur.
Sendok dan piring adalah tujuannya, setelah itu Sadina duduk di meja makan. Langkah kaki terdengar mendekat, rupanya Satya masuk ke dapur juga.
Sebenarnya Sadina ingin protes, tetapi karena terlalu lapar, dan Satya sudah membawakan makanan untuknya, maka hari ini pengecualian.
"Lo jinak kalau lagi makan, ya," ucap Satya, menarik kursi di sebelah Sadina.
Sadina mengangkat tangan, pertanda bahwa tak ingin diganggu. Biarkan ia menikmati sarapan, karena tadi tenaganya sudah terkuras habis untuk membersihkan apartemen.
Beruntung Satya datang di saat semuanya telah rapi, jika tidak, mungkin Sadina akan diledeki terus-menerus karena dinilai sebagai cewek berantakan.
"Pacar lo udah nelpon?" tanya Satya.
Topik ini sangat dihindari oleh Sadina, membuat nafsu makannya menghilang. Ia menaruh sendok di atas pirig, kemudian berdiri untuk meninggalkan Satya.
"Mau ke mana?" Satya menarik tangannya.
Sadina yang saat itu masih lemah akibat menahan lapar, malah kehilangan keseimbangannya, membuat ia jatuh ke pangkuan lelaki tersebut.
Sadina kaget, begitu pula dengan Satya. Mereka saling tatap, beberapa detik sampai suara seseorang mengalihkam perhatian mereka.
"Astaga!" pekik seorang wanita.
Sadina segera bangkit, matanya hampir keluar dari tempat kala melihat sang ibu di pintu masu. "Bu, baru datang?" Berusaha terlihat normal.
Wanita itu tidak menggubris, malah menatap Satya begitu intens. Sadina menelan ludah susah payah, tangannya menarik sang ibu untuk pergi dari ruangan tersebut.
"Oh, jadi ini alasan kamu mau tinggal sendiri?" Martha menepis tangan Sadina. "Kenapa nggak ajak ke rumah? Selama ini kita nggak masalah kalau kamu punya pacar, malahan bersyukur kamu nggak bakal jadi perawan tua."
"Bu-bukan, Bu." Sadina kembali berusaha menarik sang ibu.
"Selamat pagi, Tante," sapa Satya dengan nada ramah.
Mata Martha seketika berbinar, bak tersihir, mendekati Satya dengan senyum merekah. "Kamu cakep banget, hidung mancung, tinggi, postur atletis, kelihatan bukan anak rebahan. Siapa nama kamu, Nak?" tanyanya.
Lelaki itu tersenyum manis. "Satya, Tante."
"Ah, nama yang bagus. Kita ngopi bareng, yuk, sambil ngobrol-ngobrol." Martha menuju kitchen set, mengeluarkan cangkir dari lemari kabinet. "Kamu kerja apa, Sat?"
"General manajer di perusahaan makanan instan, Tan. Saya sekantor sama Sadina," jawab Satya apa adanya, tetapi nada sok lembut itu seakan ingin membuat Sadina muntah.
Mata Martha semakin berbinar, melihat Satya bak seorang dewa. "Kamu atasan Sadina kalau begitu?"
"Iya, Tan." Satya mengangguk.
Martha tersenyum. "Duduk dulu, Tante nggak lama, kok, bikin kopinya. Sad, bawain cemilan buat pacar kamu."
Sadina mendengkus. "Dia bukan pacar aku, Bu," timpalnya.
Martha tidak percaya, matanya malah beralih pada Satya. "Kalian berantem?"
Satya mengangguk. "Iya, dia lagi ngambek, Tan, makanya saya udah di sini dari pagi banget buat ngebujuk dia."
Wanita itu membulatkan bibir, sembari mengaduk kopi. "Makasih, ya, udah mau repot gara-gara anak Tante. Ah, panggil ibu aja."
"Bu!" protes Sadina.
Tak diindahkan, kehadirannya pun tidak dihargai. Sang ibu dan juga Satya nampak akrab menikmati kopi sembari mengobrol.
Sadina ingin sekali mengusir Satya, tetapi wajah galak ibunya membuat niat urung. Senyum miring lelaki itu bak mengejek, daripada semakin kesal, Sadina memilih untuk masuk ke kamarnya.
------
Kalau ada yang mau beli pdf, silakan ke no.WA 082290153123. Harganya 23K yaaaa 🥰 Lengkap! Dari awal sampe akhir, dapat bonus part juga!Mau nawarin juga paket PDF nih. Jadi 50K bisa dapat dua judul, yaitu MY CEO IS MY HUSBAND dan ISTRI SETAHUN SATYA.
Murah banget, kan?
Untuk KARYAKARSA, cek akun @MokaViana
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Setahun Satya
RomanceSelalu mengagumi dari jauh, itulah yang selama ini Satya lakukan terhadap Sadina. Perempuan yang tak pernah kalem saat bertemu dengannya, selalu saja ada pertengkaran yang malah membuat Satya makin jatuh cinta. Sadina tak pernah menampakan kesedihan...