Satya ingin bersantai di taman kantor, mumpung sedang mendung dan udara mendukung. Suasana kantor kali ini rasanya hambar, teman-teman terdekat satu per satu meninggalkan kantor, dan perempuan yang selalu diganggu olehnya kini seakan berada di dunia lain.
Ya, meski tak mampu mengajukan kenaikan gaji, nyatanya Sadina masih berkeinginan untuk melunasi utang dengan cara melakukan yang terbaik untuk kantor.
Seperti tadi, di saat rapat, Sadina menggantikan posisi Claritta untuk presentasi desain produk terbaru. Di situ Satya dibuat terkesan akan keseriusan perempuan itu, rasa percaya diri dan bersikap tanpa keraguan.
Tak salah jika Pak Arman memberikan jempol pada Sadina.
"Hm? Lo di sini ternyata." Satya mempercepat langkah mendekati Sadina yang sendirian di bangku taman.
"Jangan ganggu," cegah perempuan itu, "gue lagi sakit kepala." Memijat pelipis.
Satya menarik napas dalam, dengan pelan duduk di sebelah Sadina. "Lo bisa aja egois, lagi pula bukan cuma kondisi Claritta yang butuh perhatian sekarang ini."
Bisa dilihatnya dari wajah samping, perempuan itu nampak kelelahan. Ia pun menjadi tak ingin mengganggu atau sekadar menggoda dengan lelucon aneh.
Sadina bersandar, menengadah kepala ke atas langit. "Dia temen gue, gimana caranya nggak peduli, coba? Lagian, tebakan lo salah besar, gue kecapean bukan karena nemenin Claritta yang ditinggalin Azelf."
Satya mendengkus. "Nicky lagi?" tebaknya.
"Jangan sebut dia lagi, gue berjuangnya baru sekarang. Kemarin-kemarin gue nggak tahu kalau dia punya utang sama lo." Sadina melirik sadis kepadanya.
Satya tertawa sinis, meremehkan perjuangan perempuan itu. "Yang ngutang santai banget, kenapa jadi lo yang berjuang?" Menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan keputusan Sadina.
"Karena gue peduli," timpal Sadina.
"Tapi dia enggak," Satya menyela cepat, "lo tahu? Dia dengan entengnya ngasih lo ke gue, hanya untuk nyelamatin bisnisnya."
Sadina mengerang kesal. "Gue nggak masalah soal itu, yang jadi pertanyaan, kenapa harus lo? Gue jadi curiga, lo yang jerat dia, 'kan, supaya mau ngutang sama lo?"
Mata Satya melotot, kaget dengan tuduhan itu. "Gue masih nyimpen riwayat panggilan Nicky, dia yang nelpon duluan, nggak ada cerita gue yang nelpon dia," jelasnya sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Sadina tak menghentikan Satya ketika sedang sibuk dengan ponsel, seakan memang menuntut kebenaran, bahkan tak mau menarik ucapan tadi sebelum melihat bukti.
Hei, sehina itukah Satya di mata Sadina?
"Buka mata, dia nukar lo dengan uang, dan lo malah nuduh gue yang enggak-enggak." Satya menekan amarahnya agar tidak meledak saat ini juga.
Setelah menemukan riwayat panggilan Nicky, diperlihatkannya layar ponsel tepat di depan wajah Sadina. Sungguh, Satya terluka dengan tuduhan itu, tetapi melihat mata Sadina, perlahan hatinya mulai memaafkan.
Ini juga termasuk salahnya, malah menekan perasaan dan tak mau mengungkapkan pada Sadina. Andai saja ia lebih berusaha, memotivasi diri sendiri, sudah pasti perempuan yang dicintainya ini tidak akan mencitai laki-laki yang berengsek.
"Lo nanya, kenapa Nicky minta bantuan ke gue?" tanyanya dengan menekan tiap kata, "itu karena dia tahu perasaan gue."
"Hm?" Sadina menatap tak mengerti.
Satya menghela napas berat, setelah cukup memperlihatkan bukti, ia menyimpan kembali ponsel tersebut ke saku celana. Sadina masih saja menatapnya, seakan penjelasan tadi tak cukup.
"Gue nggak suka lo berjuang demi laki-laki kayak gitu," Satya mengusap wajah, mencoba menghilangkan kemarahannya, "gue bisa ikhlasin uang itu, tanpa lo harus bayar."
Sadina bereaksi datar. "Dengan syarat?" tanyanya, seakan sudah tahu jalan pikiran Satya.
"Lo nikah sama gue." Satya berucap tanpa ragu.
Perempuan itu diam sesaat. "Oke, berapa lama?"
Kening Satya mengerut. "Maksud lo?"
"Kita nikahnya berapa lama? Gue nggak mau seumur hidup bareng lo."
Seketika Satya terkekeh. Jadi, sekarang dirinya antara diterima dan ditolak. Harusnya Satya marah atau sekadar tersinggung dengan ucapan tersebut, tetapi nyatanya ia malah terhibur.
Tak ada yang tahu tentang hari esok. Mungkin hari ini Sadina berkata tak ingin bersama dengannya seumur hidup, tetapi pasti akan berubah seiring berjalannya waktu di mana mereka sudah sah menjadi pasangan suami-istri.
Belajar dari pengalaman Azelf dan Claritta. Lihatlah, sekarang Claritta luluh, bahkan tanpa malu menangisi kepergian Azelf, seakan semua ucapan benci di masa lalu—kini ditarik tanpa disadari.
Maka Satya dengan percaya diri, merasa bahwa ia pun mampu meluluhkan hati Sadina. Cinta datang karena terbiasa, bukan?
Biasa bertemu, di kantor, di rumah, di mana pun, sudah pasti akan tumbuh kenyamanan yang berujung rasa tak ingin kehilangan. Ya, Satya meyakini itu.
"Lima tahun, mau?" tawar Satya.
Sadina berpikir sejenak. "Kelamaan, pas cerai dari lo, gue belum tentu dapat pacar, jadi perawan tua yang ada. Setahun, deh."
Satya mengangguk setuju. "Oke."
Di waktu singkat tersebut, Satya harus bisa meluluhkan hati Sadina. Ini tugas yang mudah.
"Dengan syarat, nggak boleh sentuh gue," sambung Sadina, yang malah membuat Satya merasa sangat tertantang.
_________
13.03.21
Lama juga ngetik ini. Game lebih seru. 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Setahun Satya
RomanceSelalu mengagumi dari jauh, itulah yang selama ini Satya lakukan terhadap Sadina. Perempuan yang tak pernah kalem saat bertemu dengannya, selalu saja ada pertengkaran yang malah membuat Satya makin jatuh cinta. Sadina tak pernah menampakan kesedihan...