18: Kabar Duka

5.2K 615 24
                                    

Satu minggu menjadi sepasang suami istri, nyatanya belum ada perkembangan dalam hubungan. Satya belum juga bisa membuat Sadina melihat ke arahnya, karena Nicky masih saja menjadi prioritas utama sang istri.

Namun, meski tak dilirik, Satya telah melakukan sebuah rencana. Sudah pasti Sadina akan terluka, dan di situlah kesempatan Satya masuk sebagai penenang.

Keluar dari kamar mandi, ia mengeringkan rambut menggunakan handuk. Diliriknya Sadina yang tengah memindahkan pakaian dari koper ke dalam lemari.

"Ambilin baju gue," pinta Satya.

Sadina tidak merespon, satu alis Satya terangkat. Didekati perempuan itu, mata sembab dan merah, khas orang yang baru selesai menangis. Ia penasaran, apa yang terjadi pada istrinya?

"Lo nggak suka tinggal di rumah gue?" tanyanya.

Sadina tak merespon.

"Kasur gue nggak empuk?"

Masih saja diam.

"Masakan mama nggak enak?" tanya Satya lagi.

"Bisa diam, nggak?" Sadina menatap penuh amarah.

Satya berdecak. "Gue nggak bakal bisa diam kalau lo kacau kayak gini," mendengkus kesal, "lo kenapa?"

Ia berjalan ke meja rias, mengambil sisir dan kembali mendekati Sadina yang kini tengah duduk meringkuk di lantai. Sebagian pakaian masih berada di dalam koper, Satya yakin bahwa istrinya itu sudah tidak sanggup melanjutkan pekerjaan.

Satya duduk di belakang Sadina, menyisir rambut itu yang benar-benar kusut acak-acakan. Saat menyisir, beberapa kali ia harus mengeluarkan kekuatan agar rambut tersebut lurus kembali.

"Sakit," lirih Sadina.

"Maaf." Ia berusaha lembut menyisir rambut panjang itu.

Suara ingus ditarik, menandakan bahwa perempuan itu tengah menangis. Satya benar-benar dibuat penasaran, tetapi tak ingin Sadina kesal dan malah menjauh darinya. Hei, posisi mereka ini sudah sangat lumayan.

"Masih nggak mau jawab?" tanyanya lagi, "kalau mama liat, pasti bakal dia nanya panjang. Mending gue yang nanya."

Sadina menghapus air matanya, kemudian menyandarkan punggung pada dada Satya. Mata Satya hampir keluar dari tempatnya, apalagi ketika Sadina berbalik dan menenggelamkan wajah di dadanya.

Sumpah mati, Satya tak meminta posisi ini, istrinya sendiri yang memulai. Apakah ini suatu peningkatan?

"Hidup gue ribet amet, sih?" keluh sang istri.

"Ribetnya di mana? Biar gue bikin makin ribet." Satya melepaskan sisir, dan membalas pelukan Sadina.

Ah, nyamannya, begitu pikir Satya. Ingin sekali ia berlama-lama dalam posisi ini. Namun, ketika satu pukulan mendarat di dadanya, Satya sadar bahwa Sadina tidak akan mau berlama-lama di dekatnya lagi.

"Gue serius," ucap sang istri.

Satya menunggu saat pelukan ini dilerai, tetapi Sadina masih saja menempel. Ia berharap jantungnya ini tidak melakukan hal yang memalukan, seperti memainkan drum dan alhasil didengarkan oleh Sadina.

"Gue baru dapat kabar, Nicky udah lamaran sama cewek lain," jelas sang istri, tangisan kecil terdengar, "gue mau nikah sama lo biar utang dia lunas, tapi ternyata dia ninggalin gue gitu aja."

Sebenarnya Satya tidak ingin posisi ternyaman ini ada sebab alasan laki-laki lain. Namun, sebagai dalang di balik kesedihan Sadina, Satya harus menerima.

Ya, dua hari yang lalu ia kebingungan, bagaimana cara menaikkan hubungan mereka ke tangga berikutnya. Maka Satya berpikir bahwa, ia harus melumpuhkan fokus Sadina, yaitu Nicky.

Tanpa seorang pun tahu, Satya mendatangi Nicky dan memberikan sejumlah uang untuk digunakan melamar perempuan lain.

Tadi sore lamaran itu terjadi, Satya turut hadir meski hanya sebentar. Ternyata Nicky benar-benar siap untuk melakukan hal itu, termasuk menyakiti Sadina.

Ia mengelus bahu sang istri, tangisan itu semakin menjadi. Mungkin posisi ini akan berlangsung lama, maka Satya harus rela masuk angin, karena AC berada di suhu rendah, dan ia tak memakai atasan.

"Tega banget," lirih Sadina.

Kepiluan masih menyelimuti, Satya tak bisa berbuat apa-apa selain mengelus bahu Sadina. Mau berkata-kata juga, sepertinya tidak akan berpengaruh. Dalam kondisi normal saja, Sadina tidak akan mendengarnya, apalagi di saat sedih begini. Sudah pasti Satya dianggap radio rusak.

Satu tangan sang istri mendarat memukul dadanya begitu keras. "Mesum!" teriak perempuan itu.

Satya terkejut, Sadina segera menjauh. Seharusnya bukan itu reaksi yang terjadi. Ia mengelus dada, terkejut dan merasa sakit. Bukan salah Satya bila hal ini terjadi, Sadina yang lebih dulu memeluknya.

"Lo yang peluk gue duluan!" protesnya, tidak terima dikatai mesum.

"Bukan itu!" Sadina mengusap tubuhnya, seakan pelukan itu begitu menjijikkan, "jantung lo berdebar kencang, udah kayak om-om mesum yang mau nerkam."

Satya berekspresi seperti kambing cengo, selang beberapa detik ia bangkit dan menuju lemari untuk mengambil bajunya. Sudah ia duga, jantungnya pasti akan melakukan hal yang memalukan.

"Lo mau gituan, 'kan?" tuduh Sadina.

Ia melirik sinis. "Namanya juga laki-laki."

Setelah mengenakan kaus polos, Satya melenggang santai ke luar kamar. Berlama-lama di sana hanya akan membuat dirinya kesal bukan main. Padahal tinggal sedikit lagi ia bisa membawa Sadina ke atas kasur.

Sebab hati yang sakit, membutuhkan hati yang baru, bukan?

_______

31.03.21

Kalau ada yang mau beli pdf, silakan ke no.WA 082290153123. Harganya 25K yaaaa 🥰

Mau nawarin juga paket PDF nih. Jadi 50K bisa dapat dua judul, yaitu MY CEO IS MY HUSBAND dan ISTRI SETAHUN SATYA.

 Jadi 50K bisa dapat dua judul, yaitu MY CEO IS MY HUSBAND dan ISTRI SETAHUN SATYA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Istri Setahun SatyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang