Setelah kejadian penolakan tepat di depan mata, Satya memilih untuk menyembuhkan luka hatinya dengan fokus pada pekerjaan. Seminggu lembur, membuat lehernya kaku dan punggung sakit, meminta untuk diberikan istirahat.
Satya bersandar, melihat ke langit-langit ruang kerjanya. Dering ponsel membuatnya mendengkus kesal, sudah pasti itu Azelf yang meminta semua bahan untuk presentasi proyek baru besok harus selesai malam ini.
Ia meraih ponsel yang tak mau diam itu, seketika punggung meninggalkan sandaran kursi, melihat nama 'Papa Mertua' ada di layar ponsel. Satya buru-buru menerima telepon tersebut, tidak baik untuk membuat beliau menunggu lama.
"Halo."
"Halo, Pa," balas Satya.
"Satya, kapan resepsi kalian? Ini udah mau dua bulan kalian nikah."
Mata Satya hampir keluar dari tempatnya, ia melupakan keinginan kedua keluarga tentang resepsi pernikahan. Tangannya yang bebas terangkat mengacak rambut, bingung untuk menjawab apa.
"Jangan dilama-lamain, entar kalau Sadina udah hamil, yang ada dia jadi malas bikin resepsi," lanjut mertuanya.
"I-iya, Pa. Sebenarnya ini udah mau aku dan Sadina diskusikan, Papa tenang aja." Tentu saja itu sebuah kebohongan, Satya belum banyak bicara dengan Sadina sebab lembur seminggu ini.
"Papa tunggu info selanjutnya, pokoknya harus resepsi, nggak boleh enggak."
Tekanan lagi. Satya menghela napas berat ketika sambungan telepon telah berakhir. Ia memutar pulpen di jarinya, kepala berpikir cara agar menghilangkan satu per satu beban dalam hidup ini. Semakin dipikirkan, semakin teringat wajah penuh amarah Sadina, serta kata-kata ketus yang tak mengenakkan untuk didengar.
Satya melempar pulpen ke atas meja, mulai bersiap untuk meninggalkan kantor. Berharap saat sampai di rumah, Sadina memperlakukannya lebih baik dari kemarin. Sebab, hanya itu cara Satya untuk mengisi kembali energinya yang terkuras hari ini.
---
"Aduh!" pekik Satya yang terkejut sebab tubuhnya berbenturan dengan lantai.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan Sadina. Perempuan itu kini berada di atas kasur, menatap nyalang padanya, mengancam dan mengintimidasi. Satya menghela napas kasar, entah apa lagi salahnya di pagi ini, sehingga mendapatkan perlakuan kasar.
"Udah gue bilang, jangan berani nyari kesempatan di saat gue tidur!" ketus sang istri.
"Oh." Satya bangkit dari lantai, sekarang ia tahu apa salahnya pagi ini. "Maaf."
Malas berdebat, ia memilih untuk bersiap ke kantor. Satya melewati ranjang tanpa melirik atau menoleh pada Sadina, biasanya ia akan meminta untuk disiapkan pakaian, kali ini tidak. Satya beraktivitas seakan dirinya kembali ke masa bujang.
Rasanya sangat malas mengerjai Sadina, bukan bosan, sumpah mati Satya masih sangat ingin membuat istrinya itu kesal sampai meneriakkan namanya. Hanya saja, hari ini Satya benar-benar malas. Mungkin karena tekanan dari dua arah yang tak bisa diselesaikan olehnya.
"Lo ... kenapa?" tanya sang istri.
"Hm?" Satya menoleh sekilas, kemudian kembali memilih jas yang akan dikenakan.
Hari ini dirinya malas berekspresi lebih, seakan energi telah habis terkuras. Melihat Sadina terus memperhatikannya, membuat ia kembali menoleh. Jika dipikir-pikir, selain malas, Satya pun telah kehilangan ide untuk mengait hati Sadina. Segala cara telah dilakukan, tetapi selama menikah, belum ada tanda-tanda keberhasilan.
"Gue bakal lembur lagi," kata Satya, sembari menutup pintu lemari, "jangan tungguin gue."
Sadina mendengkus. "Siapa juga yang nungguin lo."
Ucapan yang sudah terlalu sering Satya dengar. Ia hanya membalas dengan gumaman, kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Belum juga menutup pintu, seseorang menahan pergerakannya.
"Kenapa?" tanyanya, mengernyit menatap sang istri.
"Lo yang kenapa, masih pagi muka udah kusut gitu."
"Gue mau mandi." Satya hendak menutup pintu, tetapi ditahan lagi.
"Muka lo kayak orang yang dipecat." sela Sadina, mencoba menebak masalah yang tengah dihadapi Satya.
"Kalau iya?"
Sadina melongo. "Sumpah? Lo jatuh miskin dong!"
Satya memutar bola mata, dengan sekuat tenaga menutup pintu, kemudian mengunci agar Sadina tak bisa masuk dan membuat kehebohan.
"Sat, Sat! Kalau lo jatuh miskin, ceraikan gue sekarang! Huwaah! Gue nggak mau ketularan miskin!"
Lihat, ternyata Sadina masih mencari alasan agar mereka bisa bercerai. Satya dibuat sakit kepala. Keluarga istrinya meminta untuk dibuatkan resepsi, sedangkan si perempuan malah ingin bercerai. Benar-benar menjadi beban pikiran.
Tekanan datang silih berganti, Satya ingin hidup tenang dalam berkeluarga. Namun, nyatanya keinginan itu mustahil dicapai jika perempuan yang dipilihnya tetaplah Sadina.
***
Vote dan komen
Maaf lama updateKalau ada yang mau beli pdf, silakan ke no.WA 082290153123. Harganya 25K yaaaa 🥰
Mau nawarin juga paket PDF nih. Jadi 50K bisa dapat dua judul, yaitu MY CEO IS MY HUSBAND dan ISTRI SETAHUN SATYA.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Setahun Satya
RomansaSelalu mengagumi dari jauh, itulah yang selama ini Satya lakukan terhadap Sadina. Perempuan yang tak pernah kalem saat bertemu dengannya, selalu saja ada pertengkaran yang malah membuat Satya makin jatuh cinta. Sadina tak pernah menampakan kesedihan...