Sadina ditelepon oleh sang ibu, yang mengajak makan siang di taman kantor. Ini kali pertama Martha datang ke kantor, setelah sekian lama Sadina bekerja di tempat tersebut.
Saat tiba di taman, mata Sadina memicinhg ketika melihat seorang laki-laki duduk berduaan dengan sang ibu. Sadina mempercepat langkah, ditatapnya Martha penuh keganasan.
"Ibu ngapain di sini?" tanyanya menuntut penjelasan. "Kalau cuma mau ketemu Satya, mending nggak usah ke kantor sampai bilang mau ngajak aku makan bareng." Mendengkus kesal.
Martha memangku kaki dengan santai. "Ini balasan buat kamu karena nyembunyiin tentang Satya ke keluarga. Makanya, Ibu datang buat mempererat tali kekeluargaan," jelasnya.
Sadina melongo, mana bisa diterima alasan seperti itu. Diliriknya Satya yang dengan semangat menikmati makanan dari Martha. Ia merebut kotak makan dari tangan lelaki itu, jika dibiarkan malah akan semakin ngelunjak.
"Seneng banget lo makan sendiri!" ketus Sadina.
Martha berdeham. "Kamu mau makan sepiring sama Satya?" Tersenyum menggoda. "Kalau gitu, Ibu nggak perlu bawa dua kotak."
"Nggak, bukan itu," timpal Sadina, "aku nggak mau dia makan masakan Ibu."
Ibunya masih tersenyum menggoda. "Nggak usah cemburu, bagi Satya masakan kamu masih tetap juara."
Satya mengangguk cepat. "Iya, Bu, emang paling juara." Mengacungkan jempol.
Kesal, Sadina mendorong kepala lelaki itu. Entah apa motif dari cari muka ini, tentu ia sangat curiga. Setiap perlakuan pasti punya alasan, jika hanya sekadar bercanda, rasanya Satya sudah sangat keterlaluan karena membohongi orang tua Sadina.
"Galak banget lo," ucap seseorang dari arah punggung Sadina, "pantesan cowok-cowok pada kabur."
Ia menoleh, Shintya tersenyum tipis, seakan tengah meledek. Itu adalah adik perempuan Sadina, umur mereka terpaut tiga tahun. Adiknya yang satu ini memang tak ada rasa segan padanya.
"Lo ngapain ke sini?" tanya Sadina penasaran.
"Mau lamar kerja." Shintya menjawab santai, kemudian mengambil duduk di sebelah sang ibu.
"Perasaan, lagi nggak buka lowongan," timpalnya.
"Mumpung punya kakak ipar yang jabatannya tinggi, jadi harus dipergunakan. Iya, 'kan, Bang?" Shintya beralih pada Satya.
"Iya." Yang bersangkutan menjawab santai.
Emosi Sadina sudah di ubun-ubun. Satya benar-benar gila, memberikan harapan angin pada keluarganya. Ia hendak ingin memukul, tetapi lelaki itu lebih dulu meraih tangannya.
"Gue mau jadiin dia asisten, tapi dia maunya jadi sekertaris. Nggak apa, ya?" Satya tersenyum lembut.
Merasa jijik, Sadina menepis genggaman itu. Selama ini Satya tak ingin memiliki asisten, mengapa sekarang malah ingin menjadikan adiknya bagian dari perusahaan ini? Apa motifnya?
"Selama ini gue nggak mau punya asisten karena takut lo cemburu."
Sadina ingin muntah. "Sumpah, gue nggak suka akting lo yang sok manis itu. Pergi, nggak!" usirnya.
Shintya menghantam meja. "Kak! Ini yang bikin Kakak dijauhi cowok, sekalinya marah udah kayak singa garang," mendengkus kesal, "gara-gara Kakak nggak nikah, jadinya gue harus cari kerja buat menyambung hidup. Kalau udah punya laki, toh, bisa nyantai di rumah."
Sadina mengerutkan kening, mengapa jadi kesalahannya? Kalau ingin menikah, ya, silakan. Ia tak pernah melarang adik-adiknya untuk menikah.
"Gue nggak mau ngelangkahi Kakak. Kalau pun nggak mikirin perasaan Kakak, udah dari lama gue dipanggil Nyonya Adipati," lanjut Shintya.
Memutar bola mata, Sadina berkacak pinggang seakan tak terganggu dengan kekesalan sang adik. "Cewek itu harus mandiri, jangan mentang-mentang punya pacar kaya, malah nggak mau cari kerja."
"Gue setuju dengan itu, Kak. Tapi soal lo nunda pernikahan, itu malah berimbas di gue."
Sadina mendengkus. "Nikah aja, sana! Ngapain lo nikah harus nungguin gue?"
Shintya mengeram kesal. "Terus lo mau sampai kapan jadi kayak gini? Lihat Bang Satya, kelihatan tulus banget, dan lo malah galak ke dia. Setidaknya hargai perasaan dan usaha dia."
"Dia itu bo—"
Satya bangkit dan membungkam bibir Sadina dengan kecupan. "Jangan marah-marah, malu dilihatin orang kantor," bujuknya.
Mata Sadina membulat sempurna, tangan terangkat memukul lelaki itu berkali-kali. "Bangsat, lo!" makinya kesal.
Beberapa kali ia mengelap bibir menggunakan tangan, tetapi bekas kelembutan bibir Satya masih terasa. Sial, Sadina kesal bukan main, sangking kesalnya air mata berembes jatuh tanpa disadari.
Satya gila! Seharusnya lebih berpikir panjang untuk melakukan hal itu di depan ibu dan adiknya. Benar-benar tidak sopan. Meskipun Martha terlihat sangat mengagumi Satya, bukan berarti mengecup bibir sang putri harus dilakukan di depan beliau.
Terdengar tawa dari Shintya. "Astaga, sweet banget." Terkagum dengan mata berbinar.
Sadina menoleh, adik dan ibunya tersenyum cerah. Ternyata, apa yang ia pikirkan sungguh berbanding terbalik dengan kenyataan. Terlihat jelas bahwa dua orang keluarganya tersebut terlihat senang tanpa mengkhawatirkan perasaan Sadina yang seperti sedang dilecehkan oleh Satya.
Ah, masih dengan kekesalan Sadina meninggalkan taman tersebut. Biarkan dirinya menenangkan diri, jika sudah tenang, akan ia hajar Satya dengan kekuatan penuh.
_________
Kalau ada yang mau beli pdf, silakan ke no.WA 082290153123. Harganya 30K yaaaa 🥰 Lengkap! Dari awal sampe akhir, dapat bonus part juga!
Mau nawarin juga paket PDF nih. Jadi 50K bisa dapat dua judul, yaitu MY CEO IS MY HUSBAND dan ISTRI SETAHUN SATYA.
Murah banget, kan?
Untuk KARYAKARSA, cek akun @MokaViana
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Setahun Satya
RomanceSelalu mengagumi dari jauh, itulah yang selama ini Satya lakukan terhadap Sadina. Perempuan yang tak pernah kalem saat bertemu dengannya, selalu saja ada pertengkaran yang malah membuat Satya makin jatuh cinta. Sadina tak pernah menampakan kesedihan...