Sadina tak bisa untuk tidak terkejut saat melihat sang adik kini berdiri di depan pintu apartemennya. Ia segera meminta Satya berhenti melangkah, padahal lelaki itu baru saja keluar dari lift.
Bukannya takut pada Zaki, tetapi mereka berdua harus menyiapkan diri terlebih dahulu untuk menghadapi si sosok cerdik tersebut. Kesempatan hanya sekali untuk membuat kepercayaan Zaki kembali lagi. Namun, untuk banyak hari yang ada, mengapa harus hari ini juga bertemu dengan sang adik? Sadina bahkan belum belajar mesra dengan Satya di depan orang. Tadi saja, ia sangat kaku saat tak sengaja bertemu sang suami di ruangan Azelf.
"Nggak apa-apa, lagian gue udah ada di sini," kata Satya meyakinkannya, lalu menautkan jari mereka. "Entar bilang aja, kemarin malam gue mutusin buat kerja ekstra, kerjaan gue terhambat karna nyiapin resepsi. Satu lagi, pake aku kamu, jangan lo gue. Oke?"
Sadina mengangguk setuju. Meskipun tak tahu nantinya akan seperti apa akting mereka, tetapi ia harus menuruti apa yang terpenting dari akting ini. Dua hal kecil itu adalah inti dari segalanya.
"Ayo," ajak Satya untuk melangkah.
Tanpa diminta, Zaki menoleh pada mereka berdua. Sadina seketika memberi senyum terbaiknya pada sang adik. Awal yang baik, Zaki kini tengah menatap tangannya dan Satya yang saling bergandengan.
"Dari tadi, Dek?" tanya Sadina, yang kini sedang menekan kode untuk membuka pintu.
Zaki mengangguk. "Iya. Sandinya ganti lagi?"
"Iya, kakakmu sering ganti sandi," sahut Satya.
"Biar kalian nggak ketahuan, nggak tinggal bareng."
Sadina berdecak. "Apa, sih, kamu! Dek, jangan asal ngomong gitu, ayah sama ibu entar khawatir."
"Siapa yang asal ngomong?" sindir Zaki, lalu lebih dulu masuk, "dahlah, lagian juga udah empat bulan, aktingnya diudahin aja."
Sadina menatap adiknya kesal, sedang Satya dengan enteng meletakkan makanan yang tadi mereka beli ke atas meja. Lelaki itu terlihat tak terganggu sama sekali dengan apa yang diucapkan Zaki. Sadina sadar, ini cara sang suami kabur dari tuduhan-tudahan Zaki. Daripada membantah, lebih baik diam.
"Makan," ajak Satya yang kini sudah menata makanan di atas meja.
Sadina mendekat. "Aku ikannya, kamu ayam aja."
"Loh, tadi katanya ayam, jadinya aku pesan ayam. Kalau ikan itu dari tadi pilihan—yah, Din." Satya pasrah karena Sadina tanpa aba-aba mencuri start mengangkat ikan goreng yang ada di sana. "Maklum, lagi ngidam," kata Satya pada Zaki.
Zaki malah merespons dengan decakan. Adik lelaki Sadina itu terlihat kesal pada Satya yang sejak tadi tak memberikan tanggapan atau bantahan dengan tuduhan-tuduhan tadi. Satya hebat, Sadina mengakui itu.
"Makan, sini, bisa-bisa dihabisin kakakmu loh." Satya kembali mengajak Zaki.
"Aku mau ayamnya juga," kata Sadina.
Satya seketika melengos. "Astaga. Kalau kamu makan ayamnya, terus buat Zaki apa?"
"Udah kenyang," sahut Zaki.
"Yakin?" tanya Sadina meminta persetujuan. Saat sang adik mengangguk, ia segera mengangkat ayam dari piring, sedang Satya kini hanya berlaukkan sayur.
Zaki terlihat uring-uringan di sofa, sambil menunggu Sadina dan Satya selesai makan. Lelaki itu tak mengatakan apa pun lagi, dan malah menatap kosong ke arah jendela.
Satya kemudian berdiri dari duduk, lalu mencuci tangan. "Nginap, Ki?"
"Hmmm," jawab Zaki ogah-ogahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Setahun Satya
RomanceSelalu mengagumi dari jauh, itulah yang selama ini Satya lakukan terhadap Sadina. Perempuan yang tak pernah kalem saat bertemu dengannya, selalu saja ada pertengkaran yang malah membuat Satya makin jatuh cinta. Sadina tak pernah menampakan kesedihan...