Irene duduk merenung di sofa seraya menggigiti ibu jarinya. Lututnya bergerak naik turun, pertanda bahwa ia tengah mencemaskan sesuatu.
“Semalam aku minum lalu mengobrol sebentar dengannya, dan setelah itu…” Irene masih mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi tadi malam. Tapi sekeras apapun usahanya, tetap saja hal terakhir yang diingat hanya saat ia mabuk.
Irene tak merasa ada keanehan ditubuhnya—sedikit. Hanya agak pengar dan mual. Tentu saja karena efek alkohol, tapi kenapa Suho mengatakan seolah-olah mereka telah melakukan ‘itu’ semalam?
Heol… itu pasti omong kosong. Irene yakin dirinya masih perawan—ralat—semi perawan. Mengingat ia dulu pernah cinta satu malam dengan Jackson. Oke cukup. Irene tak ingin flashback mengenai masa lalu tahi babi itu.
Yang paling penting adalah mencari tahu kesalahan apa yang ia lakukan sewaktu mabuk, sebelum si gila Kim itu menyebarkan rumor aneh tentang dirinya. Meskipun kekhawatiran tak berdasar ini kemungkinan kecil terjadi, namun apa salahnya jika mengantisipasi?
Tampang sedingin bongkahan balok es dan sekaku emas batangan itu bisa saja punya hobi bergosip di kantor. Maybe. Menilai sesuatu tak hanya dilihat dari fisik luarnya bukan?
“Sarapannya sudah siap Nyonya.” Suara lembut Bibi Hwang mengalihkan perhatian Irene. Atensinya menoleh lalu kemudian bangkit. Terlalu lama berpikir ternyata membuatya lapar. Irene berjalan ke arah meja makan, berharap bakal muncul keajaiban usai mengisi ulang energinya. Setidaknya ada satu hal yang bisa diingat.
Aroma Haejangguk menguar masuk indera penciuman. Membuat rasa pengarnya sedikit mereda. Irene sudah tak sabar untuk segera menyicip sup hangat itu.
“Nyonya tidak menunggu Tuan Muda Suho terlebih dahulu?”
Pertanyaan itu membuat Irene terpaksa menghentikan sesendok Haejangguk yang hendak masuk ke mulutnya. Ayolah… cacing-cacing diperutnya sudah meronta-ronta. Tidak ada peraturan tertulis jika istri wajib menunggu suaminya saat sarapan. Itu hanya sekedar etika yang menjadi mata pelajaran khusus bagi wanita yang berniat untuk berbakti pada suami. Dan itu tak berlaku buatnya.
“Aku sudah lapar,” balas Irene acuh tak acuh. Dengan segera melahap sarapannya sebelum nafsu makannya hilang karena terlalu lama menunggu kehadiran Suho.
“Kau tak menungguku?”
Irene tak mengindahkan pertanyaan itu dan terus menyantap makanan yang tersisa beberapa suap lagi.
“Apa kau sangat lapar, Nona Bae? Makanmu lahap sekali,” kekeh Suho da dibalas tatapan sinis dari sang istri.
“Diamlah dan cepat habiskan sarapanmu. Kau masih punya hutang penjelasan padaku, Tuan Muda Suho.” Ujar Irene penuh penekanan.
“Masih belum ingat apa yang telah kau lakukan padaku tadi malam?”
Irene mengernyit heran. pertanyaan itu terdengar ambigu. Memangnya apa yang telah ia lakukan sampai-sampai membuat Suho memasang raut wajah kesal? Apapun itu asalkan tidak mempermalukan martabatnya, itu tak menjadi masalah. Dengan kata lain Irene bakal lebih senang jika sang suami tersiksa karena kebiasaan buruknya saat mabuk.
“Aah… pasti aku muntah dibajumu dan kau kesulitan membawaku naik ke kamar. Begitu?”
Melihat Suho mengangguk tak berekspresi, wanita ini langsung tersenyum lebar berseri-seri. Seakan hal itu menjadi berita baik baginya.
“Tidak hanya itu,” ucap Suho dan membuat senyum di bibir Irene perlahan sirna. Diletakkannya alat makan dan beralih fokus menatap Irene yang nampak sangat menantikan penjelasan darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 DAY'S || SURENE FAN-FICTION ||
FanfictionIni kisah Romeo yang tak menginginkan kehadiran Julietnya. Bukan cerita romantis seorang Pangeran yang jatuh cinta dengan Cinderella pada pandangan pertama. Hanyalah sepenggal kisah lika-liku perjalanan rumit Kim Suho dan Bae Irene dalam skenario...