Part 22~Love is Gone

990 156 52
                                    

"Don't tell me that your love is gone"
.
.
.

Sendu, suram, dingin. Irene bangun menapakkan kaki jenjangnya di atas lantai. Pandangannya menyapu ke penjuru kamar, dengan mata sembab tentunya. Satu hal yang ia tangkap, pria itu tak ada di kamar. Bukan karena sudah bangun lebih awal, tapi memang Suho tak tidur di kamar tadi malam.

Sangat menyedihkan. Rambut acak-acakan, mata sembab, dan wajah pucat. Perbaduan yang cukup sempurna untuk meyakinkan banyak orang, tentang keadaan rumah tangganya yang tengah berada di tepi jurang. Dan mungkin sebentar lagi jatuh, hancur berantakan.

Ia melangkah menuju pintu keluar, berjalan ke arah dapur-mengambil sebotol air mineral dari kulkas-melegakan tenggorokan yang terasa kering setelah menangis semalaman. Tak lama netranya beralih menatap nanar selembar kertas putih yang tergeletak di atas meja makan.

"Pria brengsek!" umpat Irene geram. Ia mendudukkan tubuhnya lantas merogoh ponsel dari saku bajunya. Jarinya bersiap hendak menekan tombol panggilan di sana. Namun, ia urungkan niatnya.

Kau sangat bodoh Bae Irene.

Mungkin itu kalimat yang paling tepat guna menggambarkan dirinya saat ini. Setelah semua kekecewaan dan rasa sakit itu, bisa-bisanya Irene masih sempat memikirkan keadaan Suho.

"Sadarlah Irene. Untuk apa kau mengkhawatirkan orang yang belum tentu mengkhawatirkanmu juga?" ujarnya pada diri sendiri. Ia meletakkan benda pipih itu di atas meja lalu kembali menegak air putihnya.

Suara deru mobil mengalihkan perhatian. Dan benar saja, tak lama kemudian muncul sosok yang Irene tunggu sejak tadi.

Kau darimana?

Semalam tidur di tempat siapa?

Sudah makan?

Ingin sekali rasanya, Irene menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu. Namun sayangnya tidak bisa. Mulutnya seakan terkunci rapat serta lidah yang mendadak kelu.

Melihat Suho yang hanya melenggang begitu saja, tanpa berucap sepatah katapun. Bahkan seperti enggan untuk melihatnya, membuat Irene seketika menciut. Ia juga salah bersikap kemarin.
.
.

Seminggu berlalu, setelah perdebatan itu. Dan mereka berdua seperti orang yang tak saling kenal. Irene dengan sikap dinginnya, dan Suho yang masih bisu untuk berkata. Tidak seharusnya dan tak pernah terpikirkan jika keadaannya bakal seperti ini. Lalu Irene harus bagaimana?

Pergi meninggalkan Suho dan kisah percintaannya sebentar. Berlama-lama di tempat ini juga bukan hal baik. Ketahuilah Irene sedang patah hati. Dan satu-satunya cara terbaik ialah, ia harus pergi. Menuju tempat dimana Suho dan bayangannya tidak ada.

"Hai, Nona cantik. Sepertinya kau butuh teman," sapa seseorang.

Irene pura-pura tuli, mencoba acuh tak acuh. Dalam keadaan seperti ini, ia tidak butuh siapa-siapa, barang suami-oh ralat-calon mantan suaminya. Tak mau lagi berharap lebih. Ia hafal betul, Suho bukan tipikal orang yang mengejar wanita dalam keadaan sulit. Jangan bermimpi lelaki itu bakal menyusulnya kemari, penasaran dengan keberadaan dirinya di bar ini sendirian. Suho tak akan melakukan hal konyol itu.

Sialan. Lelaki asing itu sekarang malah duduk tepat di sampingnya. Irene tak ingin berbagi kursi. Termasuk menjadi salah satu yang Suho bagi cintanya.

"Ku tebak, kau pasti sedang patah hati. Antara putus hubungan, cinta tak terbalas, atau diduakan. Mana yang paling tepat, Nona?" tanya pria itu tanpa dosa.

Irene hanya bisa mengumpat dalam hati. Karena semua options itu ia mengalaminya. Dan mungkin lebih parah.

"Bukan urusanmu!" ketus Irene sebelum memutuskan untuk beranjak dari tempatnya. Namun, tiba-tiba saja pergelangan tangannya dicekal oleh pria asing itu. Sontak Irene langsung menghempaskan tangan itu dengan kasar.

180 DAY'S || SURENE FAN-FICTION ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang