Jisoo perlahan mendorong tubuh Sehun menjauh. Seketika berubah canggung, keduanya saling melempar tatapan dalam diam.
“Ini salah paham, Jisoo. A-aku tidak bermak—“
“Jangan melakukannya lagi. Kuanggap ini yang pertama dan terakhir,” potong Jisoo penuh aksentuasi. “Jika kau bersikeras tak ingin makan di sini, kita cari tempat lain.”
Sehun membalasnya dengan anggukan. Ada secercah perasaan lega, karena setidaknya Jisoo tidak jadi bertemu dengan Suho. Segera ia melangkah menuju mobilnya dan langsung melesat pergi.
.
.
.“Kau cemburu?”
Pertanyaan itu membuat pria Kim ini menoleh. Tersadar jika sejak tadi ia menyaksikan drama Sehun-Jisoo di luar sana. Salah satu sudut bibirnya terangkat, berdecih pelan. “Aku? Cemburu? Maaf, tapi kau bertanya pada orang yang salah.”
Irene tersenyum simpul. Sangat tahu jika lelaki yang duduk di depannya ini tengah dilanda kecemburuan. Mungkin ini karma, karena beberapa waktu lalu Suho melakukan pertunjukan murahan dengannya hanya demi membuat sang mantan kekasih cemburu. Bisa jadi Jisoo ingin balas dendam dan menyuguhkan pemandangan tak menyenangkan di hadapan Suho. Atau dua orang itu sebenarnya memang punya hubungan asmara. Entahlah… Irene enggan untuk ikut campur.
“Cepat selesaikan makanmu, lalu kita pulang!”
“Melihat caramu mengubah topik pembicaraan, sudah pasti kau cemburu buta,” seloroh Irene sembari melipat kedua lengannya di depan dada. “Apa jangan-jangan Jisoo meminta putus denganmu karena dia lebih memilih Sehun? Ouh… kasihan sekali. Kau memerankan sadboy di kehidupanmu sendiri.”
Suho meletakkan sumpit dengan kasar, membuat gadis bersurai panjang itu tersentak kaget. Bahkan sekarang mereka menjadi pusat perhatian para pengunjung restoran. “Bisakah kau jangan membahasnya lagi?!” kalimat itu dilontarkan dengan intonasi sedikit meninggi.
“Kenapa kau marah? Memangnya kata-kataku salah?”
Senyum timpang terpatri pada wajah angkuh Suho. Ia menatap manik Irene dalam satu garis lurus dengan pandangan menikam, “Lalu bagaimana denganmu? Berencana menikah diam-diam namun akhirnya malah dikhianati. Jadi… siapa disini yang patut untuk dikasihani?”
Irene membalas tatapan itu dengan tak kalah sinisnya. Manusia di hadapannya ini benar-benar mengajaknya berperang. Kedua tangannya sudah gatal ingin menggampar mulut tak berakhlak itu. Namun, karena ini tempat umum dan ia harus menjaga imagenya di depan public. Mungkin niatnya itu bakal ia lakukan saat di rumah. Pasti.
“Kenapa? Perkataanku barusan juga tidak ada yang salah bukan?” cicit Suho lagi.
Well, Suho sukses membuat nafsu makan Irene menghilang detik itu juga. Ditambah mie-nya yang sudah mengembang karena terlalu lama ditinggal mengobrol.
“Okay, yang waras lebih baik diam. Sepertinya aku telah melakukan kesalahan di masa lalu, sampai-sampai Tuhan menghukumku dengan memberikan suami sombong, congkak, pahit lidah, dan mesum sepertimu.”
“Ralat. Yang benar itu suami tampan, rupawan, mapan, dermawan, jutawan, dan beriman,” nego Suho lalu bangkit dari duduknya. Merogoh saku celana—mengeluarkan beberapa lembar sepuluh ribu won—dan meletakkannya di atas meja dekat Irene. “Ongkos naik taksi.”
“What?! Maksudmu, kau menyuruhku pulang naik taksi? Kenapa?” tanya Irene bernada protes.
Suho mengangguk meng-iyakan. “Ini hukuman karena berani menjelek-jelekkan suamimu sendiri, Nona Bae. Permisi.”
Ia melenggang pergi begitu saja menuju pintu keluar. Seulas senyum tipis terukir di wajah tampannya tanpa gadis itu sadari. Sepertinya menjahili seorang Bae Irene menjadi hobi baru bagi Suho.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 DAY'S || SURENE FAN-FICTION ||
Fiksi PenggemarIni kisah Romeo yang tak menginginkan kehadiran Julietnya. Bukan cerita romantis seorang Pangeran yang jatuh cinta dengan Cinderella pada pandangan pertama. Hanyalah sepenggal kisah lika-liku perjalanan rumit Kim Suho dan Bae Irene dalam skenario...